"Syukurlah kau sudah bangun,"
"K-ka-kamu siapa? Ini… di mana?"
"Tenang dulu, oke? Aku nggak akan menyakitimu.”
Ellisa memeluk erat jas yang tadi diselimuti ke tubuhnya, menarik kain itu lebih rapat untuk menutupi tubuhnya yang menggigil.
"Ha-- Hachiiih!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sosok Ellisa
Saat Sam kembali ke kamar tamu, pandangannya langsung tertuju pada sosok Ellisa yang tertidur pulas di atas ranjang.
Napas gadis itu teratur, tetapi raut wajahnya tampak tidak sepenuhnya tenang, seolah sedang dibayangi mimpi yang mengganggu.
Sam melangkah perlahan, berhenti di tepi ranjang. Matanya sempat tertuju pada perut Ellisa yang rata, yang tampak sedikit ditekan oleh tangan gadis itu sendiri, seolah mencari kenyamanan.
Sekilas ia melirik troli makanan yang belum disentuh sama sekali. “Dia bahkan belum makan...” gumamnya pelan.
Matanya kembali ke arah Ellisa, dan saat itu dia menyadari sesuatu yang membuatnya tertegun.
Bekas tanda basah terlihat jelas di kaos kebesaran yang dikenakan gadis itu, tepat di area dada. Sam langsung merasa canggung, wajahnya memanas karena malu.
Dia buru-buru memalingkan pandangannya, mencoba mengabaikan apa yang baru saja dilihatnya.
Namun, rasa bersalah mulai menyusup ke pikirannya. Dengan hati-hati, dia menarik selimut lebih tinggi, menutupi tubuh Ellisa agar lebih hangat.
Sambil menghela napas berat, Sam bergumam pelan, “Kenapa gue sampai membawa istri orang ke rumah sih? Apa ini dosa baru buat gue?”
Dia mengusap wajahnya dengan satu tangan, pikirannya berkecamuk. Tidak ada penjelasan apa pun yang dia dapat dari Ellisa. "Katanya mau jelasin, tapi malah tidur. Hfff!!"
Sam memutuskan untuk meninggalkan kamar, tetapi langkahnya terhenti di ambang pintu. Dia menoleh sekali lagi, memperhatikan Ellisa yang terlihat begitu rapuh.
Setelah dia meninggalkan ruangan, bayangan Ellisa masih melekat di benaknya, “Siapa sebenarnya dia?” tanyanya dalam hati.
Pagi hari, Ellisa menggeliat bangun dengan malas, merasakan perutnya yang keroncongan. Tangannya memegangi perut sambil menghela napas panjang.
"Bahkan lapar pun, dada ini masih terasa berat," keluhnya sambil melirik kaos yang mulai menunjukkan tanda basah. "Apalagi kalau kenyang, pasti tambah berantakan ini baju."
Matanya kemudian tertuju pada troli makanan di sudut ruangan. Dengan langkah lesu, ia mendekati troli dan membuka tutup makanan yang tersaji di dalamnya.
Seketika aroma lezat memenuhi ruangan. "Hmm... aromanya harum banget," gumamnya sambil mencoba sedikit dengan garpu.
Rasanya membuatnya langsung tersenyum kecil. Tanpa pikir panjang, ia mengangkat nampan makanan itu ke meja dan mulai makan perlahan.
Sambil mengunyah, pikirannya melayang ke sosok Sam. "Kalau dipikir-pikir... pria itu baik juga ya, perhatian banget. Tapi, dia pasti pengen tahu tentang aku. Mana bisa aku ceritain semuanya. Kira-kira kalau aku langsung minta dia nganterin pulang, dia bakal setuju nggak ya? Aku nggak mau terlalu banyak berhutang budi padanya."
Setelah selesai makan, Ellisa menatap ruangan kamar tamu dengan lebih teliti. Ruangan itu tampak luas, lengkap dengan meja kursi, rak buku, dan kamar mandi pribadi di dalamnya.
"Ruangan ini kayak kamar hotel mewah," gumamnya pelan. Namun, sesuatu di ujung kasur menarik perhatiannya. Sebuah set pakaian terlipat rapi.
Ellisa mendekat dan mengambil pakaian itu. Sebuah dress lengan panjang berwarna pastel dengan kancing di bagian depan dan panjang selutut. Modelnya sederhana tapi elegan, persis seperti yang biasa ia kenakan.
"Dia bahkan tahu jenis pakaian yang biasa aku pakai," ucapnya lirih, merasa sedikit terkejut. Senyumnya tipis, namun penuh dengan berbagai emosi yang bercampur aduk.
Setelah beberapa saat, Ellisa masuk ke kamar mandi sambil membawa pakaian tersebut. Di dalam, ia menatap cermin besar yang memantulkan bayangannya.
Wajahnya terlihat sedikit lebih segar meskipun matanya masih menyiratkan kelelahan.
Sambil melepas kaos kebesaran yang dikenakan, ia bergumam pada dirinya sendiri, "Aku harus segera pergi dari sini. Aku nggak boleh bikin masalah lebih lama lagi."
Air hangat mengalir dari pancuran, menghapus dan bercampuran bersama ASI yang terus keluar dari ujung dadanya.
Ellisa memegang kedua dadanya yang mengucur deras mengeluarkan ASI. "Aku sedih, ASI ini terbuang sia-sia..." keluhnya sembari menghujani wajahnya dengan air pancuran.
Ellisa selesai mandi setelah cukup lama membiarkan pikirannya melayang-layang. Ia meraih handuk untuk mengeringkan tubuhnya.
Lalu, mengenakan dress yang telah disiapkan sebelumnya. Dress itu terasa pas di tubuhnya, memberikan kesan nyaman namun tetap sopan.
Ia melilitkan handuk di rambutnya untuk mengeringkannya, lalu duduk di tepi ranjang sambil menghela napas panjang.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Dari luar kamar, terdengar suara tinggi seorang perempuan, diiringi suara bass rendah seorang pria yang sama-sama terdengar penuh emosi.
"Sam! Kamu tuh nggak pernah dengar apa yang aku mau! Selalu aja kamu mikirin dirimu sendiri!"
"Alana, kamu nggak paham situasinya sekarang! Aku sibuk karena kerjaan, bukan karena aku nggak peduli sama kamu!"
Ellisa terpaku mendengar pertengkaran itu. Suaranya terdengar begitu intens, seperti pertengkaran pasangan suami istri.
"Oh, sibuk? Itu alasanmu? Ngaku aja kalau kamu lebih suka ngurus orang lain daripada keluarga sendiri!" suara perempuan itu semakin meninggi.
"Bukan begitu, Alana! Kamu selalu melebih-lebihkan semuanya!" balas suara pria, yang jelas-jelas adalah Sam.
"Aku cuma mau diperhatiin, Sam! Kamu nggak pernah dengerin aku! Coba, kapan terakhir kali kamu ada buat aku? Selalu aja kerja, kerja, kerja!"
"Alana, aku kerja buat masa depan kita semua! Kamu harus ngerti itu! " Sam membela diri, tapi nada suaranya jelas menahan kesabaran.
"Tapi apa gunanya kalau aku ngerasa nggak dihargai?! Kamu nggak pernah dengerin aku, nggak pernah mau ngerti apa yang aku rasain!"
Pertengkaran itu semakin memanas, membuat Ellisa bergidik. Dari caranya berbicara, gadis itu jelas sekali menyiratkan rasa kecewa yang dalam terhadap Sam.
"Aku bener-bener berada di situasi yang salah. Aku takut kalo istrinya tahu aku ada di sini, bakalan makin berantakan." Lirih Ellisa.
Pertengkaran itu berlanjut, "Lalu, kamu ingin aku harus apa? Aku udah urus Elmira sendirian dan kamu gak peduli."
"Jelas aja aku gak peduli. Aku punya duniaku sendiri, Sam! Kalo aku tega, aku bisa bawa Elmira ke panti." Sahut Alana.
"Alana! Kau ini---" Sam hampir saja menampar wanita yang ada di hadapannya.
Namun, tangisan keras Elmira tiba-tiba memecah ketegangan. Bayi kecil itu, yang sedari tadi duduk di baby walker di sudut ruangan, mulai menangis kencang, seolah ikut merasakan ketegangan yang terjadi di antara kedua orang dewasa itu.
"Bagus! Lihat tuh, bayi kamu nangis! Urusin aja dia. Jangan urusin aku!" lalu berbalik dan pergi begitu saja tanpa menoleh ke belakang.
Sam menghela napas berat, tubuhnya tegang seakan menahan amarah yang memuncak. Ia berjalan menuju Elmira, mengangkat bayi itu dari baby walker dengan hati-hati.
"Shh, Elmira... Papa di sini. Jangan nangis, ya..." katanya pelan, mencoba menenangkan bayinya meskipun suaranya terdengar gemetar.
Dari dalam kamar, Ellisa bingung harus apa. "Mereka bertengkar seperti ini, dan aku hanya bisa diam di sini. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi di antara mereka?"
Beberapa saat kemudian, Sam mengetuk pintu kamar Ellisa. Lalu, membuka pintu itu sendiri.
Ellisa melihat Sam yang sedang menggendong Elmira. Matanya menatap Sam dengan sedikit ragu.
"Maaf, aku nggak tahu apa yang terjadi tadi. Tapi, kenapa kamu nggak menahan istrimu pergi? Aku nggak mau jadi penyebab pertengkaran kalian," kata Ellisa pelan.
Sam menghela napas, menggoyang pelan tubuh Elmira yang mulai tenang di pelukannya. "Itu adikku, Alana. Dia bukan istriku."
Ellisa tertegun mendengar penjelasan itu, tapi ia tak ingin bertanya lebih jauh. "Aku minta maaf kalau keberadaanku di sini membuat situasi jadi lebih rumit..."
Sam menatapnya, matanya sejenak melunak. "Kamu nggak salah. Ini hanya masalah keluarga. Aku akan jelaskan nanti. Untuk sekarang, aku harus fokus pada Elmira."
BTW gantian ke cerita ku ya Thor. Poppen. Like dn komen kalo bs. /Grin/