Diaz, CEO yang menjual bunga dan coklat setiap hari Sabtu. Dia mencari wanita yang cocok dengan sepatu kaca biru milik ibunya. Apa sebenarnya tujuan mencari wanita itu? Memangnya tidak ada wanita lain? Bukankah bagi seorang CEO sangat mudah mencari wanita mana pun yang diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi Leri Menghantui
Bab 4
Terlihat salah satu penjahat mendekati Leri, dia memegang pisau di tangannya. “Kau pikir kami akan melepaskanmu begitu saja, anak manja? Kau terlalu bodoh untuk menyerahkan diri seperti ini.”
Namun Leri tidak mundur. Wajahnya tetap tenang, meskipun tubuhnya sedikit gemetar. “Kalau kalian ingin uang, kalian tidak akan mendapatkannya dengan membunuhku,” katanya. “Kalau aku mati, Papa tidak akan pernah memberi kalian apa yang kalian mau.”
Ucapan itu membuat para penjahat berhenti sejenak. Pemimpin mereka, seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka di wajahnya, melangkah maju. “Kau bicara seolah-olah kami peduli. Kami hanya ingin menyampaikan pesan kepada ayahmu.”
Leri tetap berdiri tegak. Dia tahu risiko yang dia ambil, tapi dia juga tahu bahwa menyerah dengan damai adalah satu-satunya cara untuk melindungi Diaz dan ayahnya.
Hanavi, dari balik persembunyian, melihat situasi semakin genting. Dia menatap Diaz yang masih ingin bergerak, namun dia menahan anak itu dengan kekuatan penuh. “Kita akan menunggu waktu yang tepat,” katanya pelan.
“Waktu yang tepat?” Diaz memandangnya dengan air mata di wajahnya. “Bagaimana kalau mereka menyakiti Leri?”
Hanavi menunduk, hatinya hancur melihat putrinya yang berani berdiri di hadapan bahaya. Namun, dia tahu bahwa sebuah langkah ceroboh bisa merenggut nyawa mereka semua.
Leri, sementara itu, menatap tajam ke arah pemimpin penjahat. “Kalau kalian ingin menyampaikan pesan, katakan pada Papaku bahwa aku tidak takut. Tapi aku meminta kalian tidak melibatkan orang lain.”
Pemimpin penjahat tertawa kecil, lalu mengangkat tangannya sebagai isyarat kepada anak buahnya. “Bawa dia,” katanya.
Dua pria bertubuh kekar mendekati Leri. Gadis kecil itu tetap berdiri tegak, meskipun air matanya mulai menggenang.
Dari balik reruntuhan, Diaz tidak bisa lagi menahan diri. Dia berontak, berusaha keluar dari cengkeraman Hanavi. Tapi Hanavi memeluknya erat, dengan air mata mengalir di pipinya.
“Maafkan aku, Tuan muda,” bisik Paman Hanavi. “Aku tidak bisa kehilangan kalian berdua.”
Salah satu penjahat memerintahkan temannya untuk merekam apa yang mereka lakukan. Niatnya akan dikirim pada Tuan Gunawan sebagai peringatan bahwa kekuatannya sudah di tangan Giant Corp.
Ya, para penjahat itu utusan dari Giant Corp, milik saingan bisnis Mahendra Corp ( Papanya Diaz)
Para penjahat itu menyeringai penuh kemenangan. Seorang dari mereka memegang ponsel, merekam kejadian saat ini dengan rapi. Leri yang berada dalam dekapan salah satu penjahat. Ujung pisau tajam menempel di leher mungilnya, cukup dalam hingga darah segar mulai mengalir.
"Rekam ini dengan jelas,” suara pemimpin mereka tegas. la berdiri dengan tubuh besar dan bekas luka yang melintang di pipinya. "Kirimkan video ini pada Gunawan Mahendra. Katakan padanya, Mahendra Corp. harus menyerahkan hak distribusi proyek internasionalnya kepada Giant Corp. Kalau tidak, kami pastikan dia akan kehilangan segalanya.”
Anak buahnya mengangguk dan terus merekam, memastikan setiap detik tertangkap dengan jelas.
Di balik reruntuhan, Hanavi berjuang keras menahan Diaz kecil yang menggeliat liar dalam pelukannya. Anak itu tidak peduli pada bahaya, hanya ingin menyelamatkan Leri. Tubuh kecil Diaz dipenuhi amarah dan kesedihan yang bercampur aduk.
“Paman, tolong lepaskan aku! Leri butuh kita!” teriak Diaz dengan suara yang tertahan. Keringatnya bercucuran karena menahan amarah dan tangis.
Namun Hanavi menekan Diaz lebih kuat. Giginya terkatup rapat, matanya basah oleh air mata yang tidak bisa ia keluarkan.
Dalam hatinya, Hanavi berteriak, Maafkan aku, Leri... Maafkan aku... Aku ayah yang tidak berguna.
Di sisi lain, tugas sebagai abdi setia keluarga Mahendra membebaninya. Ia tidak bisa membiarkan putra mahkota keluarga itu jatuh ke tangan musuh. Dia harus melindungi Diaz, meski itu berarti harus menyaksikan putri kandungnya menjadi korban.
Tawa para penjahat meledak lagi. "Tuan Gunawan harus sadar," salah satu dari mereka menambahkan. “Giant Corp. sekarang berada di puncak. Jangan mimpi Mahendra Corp. bisa bersaing dengan kami!”
Pemimpin mereka memberi isyarat dengan anggukan. “Kita pergi. Bawa bocah ini!” katanya, menunjuk Leri yang masih digenggam erat oleh salah satu anak buahnya.
Leri tidak memberontak. Wajahnya pucat, tapi matanya tetap memandang lurus ke depan, penuh keberanian meski tubuhnya semakin lemah akibat luka di lehernya.
Di balik reruntuhan, Diaz tidak tahan lagi. Dengan sekuat tenaga, dia berhasil keluar dari pelukan Paman Hanavi. "Leri!” teriaknya, suara itu menggetarkan sore yang kelabu.
Para penjahat menoleh. Salah satu dari mereka hampir melangkah mendekati sumber suara, tetapi pemimpin mereka mengangkat tangan. “Lupakan! Fokus pada bocah ini,” katanya, menunjuk Leri. Hanavi segera menyusul Diaz, menarik anak itu dan membungkam mulutnya dengan tangannya. “Diam, Tuan Muda! Kita akan mati kalau ketahuan!" bisiknya, setengah memohon.
Diaz memberontak, menggigit tangan Hanavi dengan keras, membuat darah merembes dari luka gigitan. Namun Hanavi tidak peduli. Dia menekan Diaz ke tubuhnya dengan erat, menyeretnya pergi dari sana.
Ketika para penjahat sampai di mobil, mereka menaruh Leri yang hampir pingsan di lantai mobil. Pemimpin mereka mengirim video rekaman ke atasannya. Beberapa saat kemudian, ponselnya berdering.
“Siapa yang kalian tangkap?! Anak dari Gunawan Mahendra adalah seorang anak laki-laki, bukan perempuan, bodoh!" Suara marah dari bos mereka terdengar jelas.
Ketua penjahat membelalak. “Apa?! Bos yakin bukan ini anaknya?” tanyanya dengan panik.
"Kau meragukanku?" hardik Bos Giant.
"B-baik Bos. Kami akan cari target yang sebenarnya, segera."
Pemimpin penjahat menutup panggilan. Dia kesal misinya gagal.
“Aku tahu siapa yang kita cari! Bocah ini bukan target kita. Hentikan misi ini sekarang juga sebelum semuanya hancur!”
Pemimpin penjahat menggeram frustrasi. Dia menatap Leri yang terkulai lemah, lalu memerintahkan anak buahnya. “Keluarkan dari sini dan tinggalkan bocah ini. Kita tidak bisa ambil risiko lebih besar.”
Dengan kasar, mereka menyeret tubuh Leri keluar dari mobil, menaruhnya di dekat pagar rumah Gunawan. Darah masih mengalir dari lehernya, membasahi gaunnya yang kotor.
Dari kejauhan, Diaz yang sedang ditarik pergi oleh Hanavi melihat sosok kecil itu tergelak tak berdaya di tanah.
“L eri!" teriaknya lagi, suaranya penuh dengan putus asa.
Namun Hanavi terus menyeretnya, matanya memandang lurus ke depan. “Tuan muda, kau harus hidup! Ini perintah papamu! Jangan lihat ke belakang!" katanya dengan suara serak.
“Dia akan mati kalau kita meninggalkannya!" jerit Diaz, air mata bercucuran di wajahnya.
Namun Hanavi tetap tidak berhenti. Hatinya hancur berkeping-keping melihat putrinya yang ditinggalkan, tapi dia tidak bisa mengambil risiko lebih besar.
Sore itu, keberanian seorang gadis kecil meninggalkan bekas luka yang dalam, baik di hati ayahnya maupun di hati seorang teman kecil yang harus hidup dengan penyesalan.
###
'Leri...'
'Leri...'
Joan yang sedang menikmati makanannya, di sofa dekat Diaz tidur, melihat temannya yang mengigau. Itu sudah biasa, jadi Joan tidak panik dan tidak membangunkan Diaz.
Ini bukan kali pertama Diaz mengigau memanggil nama Leri.
Bersambung