Olivia Xera Hilson, gadis cantik dan berwibawa yang tumbuh dalam bayang-bayang kekuasaan, terpaksa menerima tawaran pernikahan dari Vincent Lucashe Verhaag seorang pria karismatik sekaligus pewaris tunggal keluarga bisnis paling berpengaruh di Amerika.
Namun di balik cincin dan janji suci itu, tersembunyi dua rahasia kelam yang sama-sama mereka lindungi.
Olivia bukan wanita biasa ia menyimpan identitas berbahaya yang dia simpan sendiri, sementara Vincent pun menutupi sisi gelap nya yang sangat berpengaruh di dunia bawah.
Ketika cinta dan tipu daya mulai saling bertabrakan, keduanya harus memutuskan. apakah pernikahan ini akan menjadi awal kebahagiaan, atau perang paling mematikan yang pernah mereka hadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Handayani Sr., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Hari ini Olivia dan Zoe berencana bertemu di pusat perbelanjaan. Olivia ingin membeli beberapa barang untuk Valerie kecil, sekaligus menikmati hari liburnya karena masih weekend.
“Setelah aku menyelesaikannya, aku menyusul kamu,” ucap Vincent sambil merapikan jam tangannya.
“Apa kamu tidak sibuk? Aku bisa pergi sendiri, tahu,” sahut Olivia.
“Tidak. Hanya ada beberapa urusan saja. Setelah selesai, aku ke sana.”
“Baiklah… kalau begitu, aku pergi dulu.”
Olivia lalu mendekat ke stroller Valerie dan mengecup kening bayi itu.
“Sayang, mama pergi dulu ya. Nanti mama beliin baju baru.”
“Hati-hati, Olivia.” Suara Vincent terdengar datar tapi cukup membuat Olivia tersenyum kecil.
Olivia berangkat ditemani sopir pribadinya. Setelah ia pergi, Vincent bersiap menuju markas. Amarahnya sudah menumpuk; hari ini ia benar-benar ingin menghabisi Mark.
“Valerie, papa pergi ya,” ucapnya pada bayi kecil itu, lalu meninggalkan mansion.
* * * *
Begitu tiba, Vincent langsung mengumpulkan ketiga sahabatnya.
“Apa kau tahu? Stave akan datang mengunjungi Mark,” ucap Louis.
“Dan plot twist-nya… Mark dan Stave sepupuan,” tambah Domanic.
Vincent menghela napas pendek. “Ck. Sudah kuduga.”
“Apa rencana mu?” tanya Max penasaran.
Vincent menyandarkan punggungnya pada meja, menatap mereka dengan dingin.
“Louis, putuskan kerja sama kita dengan perusahaan Mark. Tarik semua investornya.”
Ia menatap Max.
“Dan untuk Stave… saat dia tiba di sini, jarah semua asetnya. Hancurkan pabrik ganja miliknya.”
“Baik,” jawab Max.
“Terus, apa yang kita lakukan pada Mark dan Stave?” tanya Domanic.
“Stave itu sudah ada di daftar hitam agent intelijen,” jawab Vincent sambil menyesap vapor-nya. “Dia datang ke sini sama saja mengantarkan nyawanya.”
“Jadi dia sudah diintai oleh mereka?” tanya Max.
“Ya. Kita hanya perlu mengurus Mark, dan cari orang yang menembak kakek. Aku yakin dia seorang agent.”
Max mengangguk.
“Baik. Aku juga berpikir begitu.”
Mereka pun melanjutkan analisis dan rencana.
* * * *
“Ahhh! Lama sekali tidak bertemu, Nyonya Verhaag!” goda Zoe.
“Kamu ini bisa aja. Ayo, hari ini aku traktir kamu belanja sepuasnya.”
“Masa? Begini rasanya jadi Nyonya Verhaag?” Zoe meledek lagi.
“Hey! Bukan begitu. Aku yang ngajak, jadi aku yang traktir.”
Mereka pun tertawa dan mulai masuk ke berbagai butik. Dress, gaun malam, tas, kacamata, high heels apa pun yang mereka suka, mereka pilih.
Setelah beberapa jam, mereka sudah menenteng banyak tas belanjaan.
“Sekarang tujuan terakhir… store bayi,” ucap Olivia.
“Hah? Anak?? Kamu hamil?” Zoe spontan berseru.
“Tidak! Nanti aku jelasin. Pokoknya bantu aku pilih baju untuk bayiku. Usianya sekitar dua bulan.”
Zoe masih terkejut, tapi Olivia langsung menarik tangannya masuk.
“Hey! Nyonya Verhaag, kau berutang penjelasan besar!” Zoe memperingatkan.
“Baiklah, Nona Zoe yang paling cantik,” Olivia terkekeh.
Mereka mulai memilih pakaian lucu untuk Valerie: jumper, dress kecil, kaus kaki imut, bando dengan pita mini. Zoe bahkan ikut kalap memilihkan banyak pita dan aksesoris bayi.
“Aku yakin Valerie bakal cantik banget pakai ini,” ucap Olivia terpukau.
“Aku sudah kebayang! Putrimu pasti super manis,” Zoe ikut bersemangat.
Mereka memilih begitu banyak sampai lupa jumlahnya. Setelah itu, akhirnya mereka keluar dari toko dengan banyak sekali kantong.
“Aku lapar,” keluh Olivia.
“Aku juga. Ayo makan siang,” jawab Zoe.
* * * *
Setelah memesan makanan, Zoe menatap Olivia dengan serius.
“Sekarang jelaskan. Bagaimana caranya kamu punya anak? Apa suamimu itu duda?”
Olivia tertawa keras.
“Bukan. Jadi begini ceritanya…”
Ia pun menjelaskan semuanya dari awal tanpa ada yang ditutupi. Zoe mendengarkan dengan mulut terbuka, sesekali menahan napas.
“Ya Tuhan… itu seperti cerita film,” Zoe akhirnya berkata pelan. “Nasib Valerie malang sekali.”
“Aku juga tidak tega membiarkan dia di panti. Beruntung Vincent mau menerimanya.”
Zoe tersenyum lembut.
“Kau tahu… mungkin Tuhan mengirim Valerie untuk membuka hati kalian. Kalian kan menikah bukan karena cinta.”
Olivia mengangguk pelan.
“Sejak ada Valerie… Vincent berubah banyak. Dia mau bantu aku merawatnya.”
“Aku harap kamu bahagia, Olivia. Dan semoga suamimu yang dingin kayak kulkas dua pintu itu bisa hangat untuk keluargamu.”
“Terima kasih, Zoe. Aku juga berharap kamu menemukan pria baik.”
“Belum mau, sayang. Aku masih mau menikmati hidup,” Zoe terkekeh.
“Kapan-kapan mainlah ke mansion. Bertemu Valerie.”
“Huh? Aku takut sama suamimu! Kamu harus bilang dulu ke dia!”
Mereka tertawa, lalu makanan pun datang.
* * * *
Sesuai janji, Vincent menjemput Olivia di mall. Ia menunggu di depan, dan Olivia turun sambil setengah berlari dengan banyak kantong belanja.
“Maaf, lama menunggu!” seru Olivia.
“Tidak apa. Aku juga baru datang,” jawab Vincent.
Ia mengambil tas-tas belanja itu dan menaruhnya di mobil. Zoe memberi anggukan sopan pada Vincent, dan Vincent membalas singkat.
Saat Zoe berpamitan, Olivia menelan ludah kecil gugup.
“Vincent… aku ingin bilang sesuatu.”
“Ada apa?”
“Sahabatku Zoe ingin bertemu Valerie. Boleh… dia main ke mansion?”