Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.
Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Saat dosen Umar menutup presentasinya, langkahnya santai menuntun dia kembali ke ruang dosen. Ruangan yang hening seketika menyambutnya, memberi jeda untuk duduk dan menarik napas panjang. Dari saku, ponsel keluar, matanya terpaku pada notifikasi yang menyala di layar. Nama-nama pengirim berkilat: Nay dan Citra.
Jantungnya sedikit berdegup cepat saat menyentuh nama Nay, orang yang selalu bisa menghadirkan rasa tenang di hatinya. Tanpa ragu, ia menyentuh chat dari Nay lebih dulu, menolak sejenak pesan dari Citra yang selalu meninggalkan rasa aneh tiap muncul. Ia sengaja menjauh dari keruwetan pikiran yang mungkin datang dari pesan itu.
Umar menatap layar ponselnya dengan kerut di dahi, matanya berpindah dari satu notifikasi ke notifikasi lain.
"Apa lagi yang dia mau?" gumamnya pelan, sebuah ragu menyelinap di sudut pikirannya.
Tapi ia cepat mengusirnya, mengalihkan fokus pada pesan dari Nay yang baru masuk. Senyum hangat merekah di bibirnya saat membaca setiap kata yang tertulis.
“Mas Umar sayang, jangan lupa jemput aku lebih awal di sekolah, ya. Aku pulang cepat hari ini. Ada kejutan untuk Mas. Selamat ulang tahun, Mas! Semoga Mas Umar tetap sayang sama aku dan jadi suamiku yang setia,” bunyi pesan itu mengalir lembut di hati Umar, mengusir lelah yang menumpuk usai seharian mengajar.
Ia menarik napas panjang, wajahnya kembali bercahaya. "Kau memang tahu caranya membuat hariku sempurna, Nay," batinnya dengan penuh haru. Namun, di balik senyum itu, sejumput kegelisahan masih tersisa saat pikirannya teringat pada notifikasi pesan dari Citra yang belum terbuka.
“Haruskah aku biarkan begitu saja? Apa yang dia inginkan kali ini?” Umar menatap layar ponsel sejenak, hatinya sedikit bergejolak, menimbang apa langkah terbaik untuknya.
Umar mengerjap pelan, mencoba menepis keruwetan pikiran yang datang mengganggu. Ia menghela napas dalam-dalam, membayangkan Nay, cinta dan harapan yang selama ini jadi pegangan hidupnya. Namun tiba-tiba ponselnya bergetar. Pesan dari Citra muncul di layar, sederhana tapi entah kenapa menusuk hati seperti serpihan kaca.
“Selamat ulang tahun, Mas. Malam ini, Mas harus pulang ke rumahku. Ini kesepakatan kita, kalau hari kerja, Mas Umar pulang ke rumahku. Oh iya, Mas, aku ada kado spesial untuk Mas. Jangan telat pulang ya, Mas.”
Jari Umar berhenti di tombol layar, matanya menatap pesan itu berulang kali seolah ingin menyerap segala maknanya. Sebuah rasa getir merayap perlahan di dada, membuatnya sulit menelan.
“Kesepakatan, ya?” gumamnya dengan suara serak, seolah kata itu berubah menjadi beban yang menghimpit hatinya.
Kata itu terus berputar di kepala Umar, seperti bisikan samar yang tak mau hilang: hubungan mereka sudah jauh dari cinta. Wajahnya mendadak menegang, tangan menggenggam meja seolah ingin mencengkeram sesuatu agar perasaannya tidak ikut lepas kendali.
"Apa arti semua ini?" gumamnya pelan dalam hati. Janji yang dulu terasa manis kini berubah jadi beban yang mengganjal dada. Napasnya tersengal, ludah menelan keringat gugup yang mulai mengalir di tenggorokannya. Setiap kali dia membuka mulut, seakan ada angin dingin yang menusuk dari dalam, membuat arah pikirannya kabur tak tentu.
Tiba-tiba, suara ceria Bu Airin memecah keheningan. “Pak Umar, ayo kita jalan! Saya mau ketemu dengan Nay nih,” katanya sambil tersenyum ramah, seolah beban yang membebani Umar tak pernah ada. Umar mencoba membalas senyum itu, meski bibirnya terasa kaku.
“Oh, mari, Bu Airin.”
“Tapi saya jemput Nay dulu di yayasan.”
“Ya sudah, kita barengan saja, Pak,” jawab Bu Airin dengan nada formal yang biasa dia pakai saat berbicara dengan Umar di kampus, membuat suasana terasa hangat meski hati Umar masih berat..
Umar menatap Bu Airin dengan rasa hormat yang tak pernah surut, meski tahu perempuan itu biasanya lebih santai di luar kampus. Namun malam ini, aura tegang terasa makin pekat, seolah awan gelap menekan pikirannya tanpa ampun. Dengan enggan, dia menyimpan ponselnya ke dalam saku, lalu menghela napas dalam-dalam.
“Ini bukan untuk aku,” gumamnya lirih, “tapi untuk janji yang sudah kita buat...” Pertanyaannya menggantung berat di kepala, sampai kapan dia bisa terus bertahan menjalani semua ini?
Tak lama kemudian, di depan gerbang sekolah tempat Nay mengajar, mobil Umar sudah terparkir rapi seperti biasa. Nay melangkah mendekat dengan langkah ringan, membuka pintu dan masuk ke dalam kendaraan mewah itu yang sudah menyimpan sejuta kenangan. Senyum tulus merekah di wajahnya, lalu tanpa ragu dia mendaratkan kecupan lembut di pipi kanan dan kiri Umar, memberikan kehangatan di tengah beban yang menghimpit.
Nay menggenggam bungkusan kecil itu dengan hati-hati, napasnya bergetar halus saat menyodorkannya ke Umar.
"Selamat ulang tahun, Mas," suaranya lembut, harapnya sederhana, hanya ingin melihat senyum mengembang di wajah suaminya hari ini. Umar menatap kado itu, matanya menyiratkan tanda tanya yang samar.
"Apa ini, Sayang?" tanyanya, suara pelan tapi penuh rasa penasaran. Mata Nay berbinar, ada secercah harapan yang membuncah di dada.
"Buka saja, Mas," katanya, nada penuh semangat meski jantungnya berdegup cepat. Namun tiba-tiba gerak tangan Umar berhenti, ia tak membuka bungkusan itu. Dengan santai, kado itu diletakkannya di dashboard mobil.
Nay menghela napas pelan, tangannya mengelus kenop stir dengan perlahan.
"Nanti saja di rumah," katanya datar sambil menyalakan mesin. Mobil melaju perlahan di jalan yang sudah sangat akrab baginya. Sebuah senyum tipis terlukis di bibir Nay, tapi rasanya hambar, seperti ada yang hilang di baliknya.
Dalam diam, tanya itu kembali menusuk hati, apakah kado sederhana ini terlalu biasa untuk Umar? Ia menggigit bibir bawah, berusaha meredam gelombang kegelisahan. Mungkin cukup untuk hari ini, ia hanya ingin memberi momen kecil yang bisa dikenang tanpa harapan berlebihan.
Mata Nay sempat menoleh ke kaca spion. Dari sana, mobil Bu Airin tampak mengikuti mereka dengan jarak yang tak berubah. Perasaan tidak nyaman mengendap, tapi Nay memilih membiarkannya saja, menunda rasa penasaran demi ketenangan sesaat.
"Sayang, kamu sadar nggak sih? Mobil Bu Airin sejak tadi ngikutin kita," suara Umar mengalir santai, sambil menunjuk ke arah kaca spion. Nay menatap ke belakang lagi, dadanya sesaat berdegup lebih cepat.
Refleks Nay menoleh ke belakang, matanya langsung menangkap mobil merah yang sudah sangat dikenalnya, mengikuti rapat di belakang mobil mewah milik Umar. Nafas panjang tersengal keluar dari bibirnya, seperti ada beban yang tiba-tiba menghimpit dada.
"Ya ampun, Mas! Kok kamu tadi nggak bilang kalau Bu Airin ikut?" suara Nay melembut, tapi jelas ada nada kesal yang sulit ia sembunyikan. Matanya menatap tajam ke arah Umar, menuntut kejelasan.
Umar hanya terkekeh kecil, senyumnya santai seperti tak ada masalah.
"Santai aja, nanti juga kita ketemu di rumah, kan?" jawabnya ringan, tanpa beban yang berarti.
Tapi di kepala Nay, seribu tanya terus berputar. Rasa curiga itu menggerogoti ketenangannya. Dadanya berdenyut, berusaha menahan amarah yang merambat perlahan.
"Oh iya, Mas, malam ini kamu nggak ada acara, kan? Jadi kamu tidur di rumah, iya?" suara Nay terdengar mendesak, setengah memaksa, meski sebenarnya dia tahu, dia sangat butuh kepastian itu.
Nay menatap tajam wajah Umar yang sedang fokus mengemudikan mobil. Matanya tak lepas, mencoba menangkap sekilas ekspresi yang tersembunyi di balik alis yang berkerut. Umar terdiam lama, seolah sedang menimbang-nimbang kata yang tepat. Naluri Nay langsung berontak, hatinya berdegup kencang.
“Kenapa dia harus berbohong lagi?” pikir Nay dalam hati, rasa sabar yang sudah lama ia pendam mulai terkikis.
Pikiran Nay berputar liar, membayangkan ke mana lagi suaminya pergi malam ini. Badannya menegang, seolah harus mempersiapkan diri untuk pura-pura tak tahu seperti biasanya.
“Ya Tuhan, sampai kapan aku harus terus begini? Berusaha tegar, padahal setiap kata dari bibirnya makin menusuk hati?” gumamnya dalam hati.
“Tapi, Nay, maaf ya! Maaf banget! Malam ini aku nggak bisa tidur di rumah. Setelah magrib aku harus pergi. Kamu nggak apa-apa kan, sayang?” Umar akhirnya memecah keheningan dengan suara berat penuh kebohongan.
Nay menahan napas, kecewa jelas tergambar di wajahnya, tatapan yang tak bisa ia sembunyikan. Pandangannya yang redup menempel pada suaminya, bisu tapi penuh luka.
Nay menatap Umar dengan mata yang hampir berkaca-kaca. "Padahal, aku kangen banget sama kamu, Mas," suaranya tercekat, mencoba menahan rasa kecewa yang bersembunyi di balik senyum tipisnya. Tapi dia buru-buru menambahkan,
"Tapi nggak apa-apa, kalau Mas lagi sibuk." Tangannya meraba-raba ujung baju, berusaha mengalihkan perhatiannya.
Seketika, wajahnya berubah cerah. "Tapi, sebelum kamu pergi, kita rayakan ulang tahun Mas bareng Bu Airin, ya! Gimana kalau kita berhenti di Saung, rumah makan depan itu? Masakannya enak, lho, Mas!" ujar Nay dengan semangat yang dibuat-buat.
Umar menatapnya lama, mengenal betul sikap Nay yang selalu menyembunyikan rasa kecewanya. Ia tahu betapa hatinya terluka saat rencana mereka tak berjalan sesuai harapan.
"Nanti aku bisa pulang diantar kak Airin saja. Kamu lebih baik langsung berangkat dari sini. Lebih efisien, biar nggak bolak-balik," Nay menambahkan dengan suara pelan, wajahnya tampak lelah menyembunyikan kekecewaan itu.
Di balik kata-kata Nay, Umar merasakan sesak di dada yang semakin membelit. Diam-diam, ia menyimpan dilema besar. Sampai kapan ia harus terus membohongi Nay? Apakah Nay sudah mulai mencium adanya kebohongan yang baru-baru ini ia sembunyikan? Pergulatan itu membuat Umar termenung dalam keheningan yang menggantung.