Dibawah langit kerajaan yang berlumur cahaya mentari dan darah pengkhianatan, kisah mereka terukir antara cinta yang tak seharusnya tumbuh dan dendam masa lalu yang tak pernah padam.
Ju Jingnan, putri sulung keluarga Ju, memegang pedang dengan tangan dingin dan hati yang berdarah, bersumpah melindungi takhta, meski harus menukar hatinya dengan pengorbanan. Saudari kembarnya, Ju Jingyan, lahir dalam cahaya bulan, membawa kelembutan yang menenangkan, namun senyumannya menyimpan rahasia yang mampu menghancurkan segalanya.
Pertemuan takdir dengan dua saudari itu perlahan membuka pintu masa lalu yang seharusnya tetap terkunci. Ling An, tabib dari selatan, dengan bara dendam yang tersembunyi, ikut menenun nasib mereka dalam benang takdir yang tak bisa dihindari.
Dan ketika bunga plum mekar, satu per satu hati luluh di bawah takdir. Dan ketika darah kembali membasuh singgasana, hanya satu pertanyaan yang tersisa: siapa yang berani memberi cinta di atas pengorbanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurfadilaRiska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehangatan Yang Tak Seharusnya Ada
Embun pagi menetes perlahan di atas dedaunan hutan Longfeng, membiaskan sinar matahari yang baru menampakkan diri di ufuk timur. Udara masih basah oleh hujan semalam, namun aromanya segar, menenangkan, dan sedikit manis. Angin lembut membawa suara gemericik daun, seakan menyapa siapapun yang bangun lebih awal, memberi janji tentang hari baru yang penuh kemungkinan.
Di gua kecil yang mereka tinggali semalam, Jingyan dan Jingnan perlahan membuka mata. Jingnan terkejut melihat hanfu milik Ling an yang ia tolak kemarin kini tersandar rapi di tubuhnya. Matanya membesar sebentar, namun ia menahan diri agar tidak membuat kebingungan pagi itu semakin rumit.
"Kalian sudah bangun?" suara Ling an terdengar hangat, lembut, namun bagi Jingyan, senyum itu terasa lebih dari sekadar sapaan biasa—hangat, menenangkan, dan penuh perhatian.
"Ling an, kau bangun pagi sekali," ucap Jingyan sambil duduk dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena tidur.
"Aku bangun pagi untuk menangkap ikan-ikan ini," jawab Ling an sambil menenteng beberapa ikan bakar di tangannya, yang tampak hangat dan mengeluarkan aroma segar. Ia meletakkan ikan itu di hadapan Jingnan dan Jingyan.
"Wah… ikan bakar!" Jingyan tersenyum manis, matanya berbinar-binar.
"Aku akan mencuci tangan dulu!" Ketika Jingyan hendak bangkit untuk mencuci tangan, tangannya ditahan oleh Jingnan.
"Tidak perlu, kita kembali saja ke tempat latihan. Di sana kau bisa makan banyak," ucap Jingnan dengan nada lembut namun tegas.
"Tapi jie… aku butuh tenaga untuk jalan kembali ke sana," protes Jingyan, wajahnya memerah karena lapar.
Ling an tersenyum, matanya menatap Jingnan seolah tahu persis apa yang sedang ia pikirkan.
"Tenang saja, ikannya tidak aku apa-apaiin," ucap Ling an. Kalimatnya sederhana, namun penuh makna—seakan menenangkan Jingnan sekaligus menunjukkan perhatian.
Jingyan segera bangkit dan pergi untuk mencuci tangan, meninggalkan Jingnan dan Ling an dalam keheningan yang hangat.
Ling an menatap Jingnan, sedikit tersenyum.
"Aku tahu kau bukan sekadar tabib biasa," ucap Jingnan sambil berdiri, menyerahkan hanfu Ling an kembali.
"Terima kasih," ujar Jingnan lembut namun terasa menekan kata-katanya, Ling an menerima hanfu itu dengan sopan.
Jingnan membalik badan, hendak pergi, namun tiba-tiba tangannya digenggam Ling an. Jantung mereka berdua seakan berhenti sejenak, sensasi kehangatan yang muncul membuat keduanya tersadar akan sesuatu yang jarang mereka rasakan.
Namun tak lama, kedatangan Jingyan memecah momen itu. Jingnan dengan cepat melepas genggaman Ling an, sementara Jingyan heran:
"Kalian kenapa??"
"Tidak apa-apa" Ling an dengan cepat menjawab pertanyaan jingyan.
"Ayo makan, jie," ucap Jingyan sambil menarik tangan Jingnan untuk duduk kembali.
"Tidak, aku tidak mau…" namun sebelum Jingnan selesai bicara, Jingyan sudah menyuapkan ikan bakar ke mulutnya.
"Yanyan…" Jingnan menatap Jingyan, setengah kesal, setengah tak tega. Namun Jingyan hanya tersenyum manis, penuh kepolosan yang membuat hati Jingnan terasa hangat.
Ling an yang menyaksikan itu ikut tersenyum kecil. Ia merasakan dua kehangatan berbeda dari dua gadis itu: saat melihat senyum Jingyan, dunia seakan baik-baik saja; saat melihat mata Jingnan, seakan kehangatan itu tidak akan pernah pergi darinya. Hatinya bingung—ia seharusnya melihat mereka sebagai musuh, bukan sebagai dua gadis yang menenangkan hatinya dengan cara yang tak ia duga.
Setelah sarapan selesai, ketiganya berjalan menikmati pagi di hutan. Embun masih menempel di dedaunan, cahaya matahari menembus sela-sela ranting pohon, menciptakan permainan cahaya yang memukau. Jingnan berhenti sejenak di bawah pohon, untuk mengambil beberapa buah seperti yang ia bawa kemarin dan kali ini untuk Mei Yin. Walau terkadang ia mengeluh dengan tingkah adiknya itu, cinta dan perhatiannya tak pernah berkurang.
"Wah… jadi ini tempatnya," ucap Jingyan sambil melirik sekeliling.
"Tunggu di sini ya, aku akan mengambil beberapa," kata Jingnan, bersiap memanjat pohon. Namun dengan cepat Ling an menahan tangannya.
"Biar aku saja," ucap Ling an.
"Aku bisa sendiri. Lagipula lenganmu belum pulih," Jingnan menoleh sebentar, dan melirik Ling an sekilas, lalu mulai memanjat pohon.
"Benar kata Nannan jiejie, lenganmu masih belum sembuh, Ling an," ucap Jingyan sambil tersenyum manis.
Jingyan dan Ling an menunggu di bawah. Jingnan yang berada di atas pohon menikmati pemandangan hutan Longfeng, dedaunan yang bergoyang diterpa angin, dan sinar matahari yang hangat menembus sela-sela ranting. Namun saat ia menoleh untuk meraih buah yang agak jauh, kakinya tergelincir.
"Nannan jiejie!" teriak Jingyan.
Tanpa ragu, Ling an bergerak cepat, menangkap tubuh Jingnan sebelum jatuh. Tatapan mereka bertemu—hangat, nyaman, dan terasa aneh. Sesuatu yang jarang dirasakan Jingnan muncul saat dekat Ling an. Kedua mata mereka saling menahan, seakan menyampaikan perasaan yang belum mereka mengerti sepenuhnya.
"Haah… untungnya ada Ling an," Jingyan tersenyum manis tanpa rasa curiga, seakan tak menyadari momen hangat yang terjadi di antara mereka.
Ling an perlahan menurunkan Jingnan ke tanah.
"Terima kasih sekali lagi," ucap Jingnan, suaranya hangat namun penuh rasa kagum.
"Sama-sama," jawab Ling an singkat, namun matanya memancarkan sesuatu yang lebih dalam.
Mereka pun mengumpulkan buah-buahan yang jatuh berserakan akibat tergelincirnya Jingnan. Setelah semuanya terkumpul, ketiganya kembali berjalan ke tempat latihan. Suasana menjadi sedikit canggung dan sunyi. Jingyan berjalan di tengah-tengah Jingnan dan Ling an, hatinya penuh pertanyaan.
Kenapa Nannan jiejie tidak menyukai Ling an? batinnya.
"Sebenarnya kalian berdua musuh atau apa?" tanya Jingyan, kemudian melirik kakaknya dan Ling an dengan penasaran.
"Tidak, Yanyan. Aku dan Tabib Ling An baru bertemu. dan kau tahu aku, saat baru kenal orang kan?" ucap Jingnan, mencoba menjelaskan dengan tenang.
"Eh iya… kenapa aku lupa bagian ini ya?" Jingyan tersenyum lega, akhirnya pertanyaannya terjawab.
......................
Sesampainya di kamp militer, mata ketiganya tertuju pada sosok yang hanya terlihat dari punggungnya dan hal itu membuat ketiganya penasaran dengan siapa sosok itu sebenarnya.
"Eh… ada jenderal wanita lain di sini, ya jie?" tanya Jingyan.
"Tidak ada," Jingnan menjawab singkat.
Ling an memicingkan mata, rasa penasaran muncul. Apa itu dia…? batinnya.
Jingnan kemudian melihat Qingshan yang berada tak jauh darinya dan langsung memanggilnya.
"Qingshan!"
"Jenderal… kau semalam tidak pulang, ya?" tanya Qingshan.
"Tidak perlu tahu, intinya… siapa dia?" Jingnan menunjuk seseorang dengan pakaian jenderal wanita itu.
"Bagaimana ya… sebaiknya jenderal lihat langsung saja," ucap Qingshan sambil menunduk hormat.
Mereka berjalan mendekati sosok itu. Jingnan menarik tangan wanita itu agar berbalik, dan ternyata yang mereka temui adalah Mei Yin.
"Jiejie… apakah ini cocok untukku?" Mei Yin tersenyum bangga.
"Mulai hari ini, aku akan tinggal di sini dan menjadi jenderal wanita seperti Nannan jiejie," tambahnya, matanya berbinar.
"Mei Yin, aku sampai tak bisa mengenalimu," ucap Jingyan, kaget namun tak bisa menahan senyum.
"Berarti aku jauh lebih cantik, ya jie?" Mei Yin tersenyum penuh percaya diri.
"Mei Yin, pakaian ini kau dapatkan dari mana?" tanya Jingnan serius.
"Jelas… di kamar Nannan jiejie," jawab Mei Yin manis, seakan tak pernah melakukan kesalahan apapun.
Embun pagi, sinar matahari, dan senyum bangga Mei Yin menutup pagi itu dengan suasana hangat, penuh tawa dan keakraban. Namun bagi Ling an, rasa hangat yang ia rasakan pada Jingnan dan Jingyan membuat hatinya semakin bingung—antara dendam yang seharusnya ia pertahankan dan perasaan lembut yang mulai menyelinap tanpa ia sadari.
semangat teruslah aku dukung🔥❤️