Reni adalah pemuda pekerja keras yang merantau ke kota, dia mengalami insiden pencopetan, saat dia mengejar pencopetan, dia tertabrak truk. Saat dia membuka mata ia melihat dua orang asing dan dia menyadari, dia Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidelse, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Invasi - 3
Lyra berlari. Di mata Lyra, dunia melambat hingga ke titik yang menyakitkan. Lyra mengaktifkan potensi penuh dari Mana Ruang-Waktu-nya, tetapi bahkan kecepatan Archmage Ruang-Waktu pun tidak cukup cepat untuk menghentikan ratusan proyektil yang sudah melesat.
Detik ke-0.1:
Lyra melihat Kepala Sekolah Solosa Mercury yang masih berpidato, gesturnya lambat seperti patung. Murid-murid di kerumunan hanya melihat ke depan, tidak menyadari bahwa ajal mereka sudah meluncur dari langit.
Detik ke-0.5:
Di sisi lapangan, Aen Pendragon dan Emi Altera bereaksi lebih cepat. Lyra melihat mulut mereka terbuka, berteriak memperingatkan kerumunan. Mana Angin Aen meledak, mencoba menciptakan perisai, tetapi itu akan terlalu lambat.
Lyra menoleh ke belakang. Di sana, Gilgamesh berdiri tegak, di atas benteng yang seharusnya menjadi dirinya. Senyum yang dingin, licik, dan penuh kemenangan terukir di wajahnya. Itu bukan senyuman Gilga. Itu adalah senyuman kekalahan yang disempurnakan.
Detik ke-0.8:
Dalam sepersekian detik yang diperlambat oleh waktu, pikiran Lyra yang didominasi oleh memori Reni dan ambisi Lyra dipenuhi dengan kilasan masa depan yang mengerikan, sebuah ramalan yang dipicu oleh trauma dari Mana Darah Gilgamesh.
Lyra melihat kepalanya sendiri tergantung, dipertontonkan di sebuah gudang yang suram.
Dia melihat ayahnya, Racel Astrea, dan ibunya, Erin Von Elemendorf, ditimbun ke dalam tanah hingga hanya menyisakan kepala mereka yang meratap, dikelilingi oleh puluhan sosok yang tampak bersujud kepada kekejaman itu.
Dia melihat Merbrit dan Mia, pelayannya yang setia, dimutilasi dan ditinggalkan.
Di kejauhan, hutan-hutan Kerajaan terbakar, dan yang paling menyakitkan, dia melihat ibunya, Erin, memegang erat tangan neneknya, Marlina Von Elemendorf, mata mereka dipenuhi air mata dan keputusasaan.
Semua pengorbanan, semua pelatihan, semua cinta yang dia rasakan untuk Gilga semuanya hanya mengarah pada kehancuran yang total.
"TIDAK!"
Teriakan Lyra merobek Mana Ruang-Waktu yang melambat. Itu adalah teriakan yang datang dari jiwa Lyra, Archmage yang gagal melindungi orang-orang yang ia cintai.
Detik ke-1.0:
Proyektil Darah Gilgamesh mencapai ketinggian maksimumnya.
Dalam sepersekian detik berikutnya...
Proyektil itu menghujam ke bawah, menuju kerumunan, menuju Solosa, menuju Akademi.
Semuanya...
Senja telah tiba di Kastil Astrea. Lyra dan Gilga, yang baru saja menyelesaikan latihan pedang dan Mana mereka, duduk di bangku batu di bawah pohon besar yang rindang. Mereka sering menghabiskan waktu di sini, berbagi pikiran yang tidak mereka sampaikan kepada siapa pun.
Gilga, yang sudah terlihat lebih tegap dan Mana Darahnya semakin stabil, menoleh ke arah Lyra.
"Cousin,"
panggil Gilga, menggunakan sebutan yang penuh keakraban masa kecil mereka.
"Bagaimana kalau kita tidak pernah pergi ke akademi itu?"
Lyra sedang memainkan pedang kayu kecil di tangannya, mempraktikkan gerakan Silent Step tanpa bergerak. Dia tahu Gilga merujuk pada ketegangan antara Racel dan Marlina mengenai masa depan mereka di Sincorta.
"Aku tidak sepenuhnya peduli, Gilga,"
jawab Lyra, nadanya jujur.
"Akademi, politik, pernikahan strategis, aku tidak mempedulikannya. Aku hanya mempedulikan satu hal, keselamatanku dan keselamatan keluargaku."
Lyra meletakkan pedang kayunya.
"Jika aku harus pergi ke Akademi untuk mendapatkan kekuatan agar bisa melindungi mereka, aku akan pergi. Jika aku harus menolak Akademi agar mereka aman, aku akan menolaknya. Semua tindakanku, semua ambisiku, bermuara pada satu tujuan, melindungi keluarga Astrea dan Elemendorf."
Gilga, matanya yang merah memandang dalam-dalam ke mata Lyra yang hijau zamrud, tersenyum lembut. Dia merasakan ketulusan yang murni dari Archmage Ruang-Waktu di depannya.
"Jadi... kau akan melindungi orang tersayangmu?"
tanya Gilga.
"Begitulah, Gilga,"
jawab Lyra.
Gilga berdiri. Dia adalah anak laki-laki yang polos saat itu, Archmage Darah yang belum ternodai. Dia meraih tangan Lyra dan menggenggamnya erat, mengalirkan Mana Darah yang hangat.
"Baiklah, Cousin,"
kata Gilga dengan tekad yang tulus, janji yang didorong oleh kesetiaan murni.
"Jika memang ada yang berani membuatmu menderita, maka itu akan berbalik kepadanya! Aku janji. Aku akan menjadi bentengmu, dan aku akan melindungi orang-orang yang kau cintai, bahkan jika kau tidak bisa melakukannya sendiri."
Lyra membalas genggaman Gilga, perasaan hangat memenuhi hatinya. Dia tahu, Gilga akan selalu ada di sisinya.
Hancur.
Suara ratusan proyektil darah yang menghantam, jeritan panik yang sesungguhnya, dan ledakan Mana yang kacau, memenuhi Lapangan Utama Akademi Elorick.
"Janji..."
bisik Lyra, suaranya tercekat oleh kengerian dan keputusasaan.
Dia tidak sempat menyelesaikan mantera Ruang-Waktunya. Proyektil Darah yang dilepaskan Gilgamesh menghujam ke Lapangan Utama.
Lyra merasakan gelombang kejut yang brutal, bau tembaga pekat dari darah, dan hawa dingin yang mematikan dari Mana Primal Darah yang terkonsentrasi.
Lyra, yang berhasil menghindari serangan langsung karena Temporal Leap naluriah yang terlambat, terhuyung mundur. Dia melihat pemandangan yang tak terlukiskan.
Di depan podium, tubuh Solosa Mercury telah hancur. Proyektil darah Gilgamesh menembus dan merobek tubuhnya, Mana Darah yang kejam memastikan tidak ada sisa. Kepala Sekolah itu tewas seketika, tubuhnya menjadi simbol kekejaman Archmage Darah.
"Aku akan menjadi bentengmu."
Suara Gilgamesh... suara Gilga yang terkorupsi menggema di benak Lyra, bergema bersamaan dengan jeritan yang merobek udara.
Di sekeliling Lyra, puluhan orang-orang dan murid, staf, dan penjaga, terjatuh. Mereka mati dalam sekejap. Proyektil Darah Gilgamesh menembus tanpa ampun, mengakhiri hidup puluhan orang dalam sekejap mata.
Kini, yang tersisa hanyalah keheningan yang mematikan di Lapangan Utama Akademi Elorick. Lantai batu dipenuhi darah. Kekacauan sempurna telah tercipta.
Lyra berdiri sendirian di tengah kehancuran. Jubah putihnya kini berlumuran darah yang bukan miliknya. Matanya yang hijau zamrud menatap pemandangan itu, lalu perlahan beralih ke sosok Archmage Darah yang berdiri tegak di kejauhan.
Gilgamesh. Benteng yang telah berbalik menjadi penghancur.
Aen Pendragon berdiri, seluruh tubuhnya diselimuti Mana Angin yang berputar-putar dengan kemarahan. Dia telah menggunakan Temporal Leap yang baru ia pelajari untuk melompat keluar dari zona serangan terakhir, tetapi melihat darah teman-teman dan gurunya yang bertebaran membuat seluruh disiplin militernya runtuh.
"Kau!"
raung Aen. Suaranya tidak lagi tenang dan berwibawa, melainkan penuh amarah seorang prajurit yang dikhianati.
Aen melihat Lyra yang berdiri terpaku di antara mayat-mayat. Aen tahu ini bukan ulah Lyra. Dia melihat sosok Archmage Darah yang berdiri tegak dan dingin di kejauhan, Gilgamesh, dengan tato sihir jiwa yang bersinar.
"Kau pengkhianat!"
teriak Aen. Dia tidak peduli dengan taktik. Dia hanya ingin menghancurkan Gilgamesh.
Aen mengeluarkan pedangnya, Ae-calibur, pedang panjang dengan ukiran bangsawan. Mana Anginnya menyelimuti bilah pedang, mengubahnya menjadi bilah turbin yang mematikan.
WHOOSH!
Aen melancarkan Temporal Leap terpanjang dan terkuat yang pernah ia lakukan, melipat jarak antara dirinya dan Gilgamesh. Dia bergerak seperti peluru yang diselimuti badai angin.
"Mati!"
Aen mengayunkan Ae-calibur dalam serangan horizontal mematikan yang didorong oleh Mana Angin.
Gilgamesh tidak bergerak. Dia hanya berdiri dengan tenang, memancarkan Mana Darah yang dingin dan efisien. Saat Ae-calibur tiba, Gilgamesh merapal Mana Darah.
CLANK!
Pedang Aen tidak menghantam tubuh. Gilgamesh telah menciptakan Perisai Darah Keras di depannya, padat seperti baja dan sehitam malam, diresapi dengan Mana Primal yang terkorupsi. Perisai Darah itu menahan pedang Ae-calibur.
Aen terkejut. Kekuatan Gilgamesh jauh melebihi Archmage Darah yang ia kenal.
"Archmage yang tidak efisien. Kau membuang-buang Mana pada amarahmu. Kau adalah kelemahan."
Gilgamesh menyerang balik. Perisai Darah itu menghilang. Gilgamesh mengayunkan Sabit Merahnya yang besar. Sabit itu kini bergerak dengan presisi brutal, bukan lagi gaya menyapu yang Gilga gunakan.
SREK!
Aen berhasil menangkis serangan sabit itu dengan Ae-calibur, tetapi benturan itu mengirimkan getaran Mana Darah yang kuat, nyaris membuat pedang Aen terlepas. Aen dipaksa mundur, kakinya menggores tanah.
Lyra, yang tersentak dari kengeriannya oleh duel itu, berteriak.
"Aen! Jangan bertarung jarak dekat! Dia sudah disempurnakan! Mana-nya terlalu efisien!"
Aen mengabaikan Lyra. Dia adalah prajurit. Dia hanya tahu cara bertarung jarak dekat.
Aen melompat mundur, lalu mengayunkan pedangnya di atas kepalanya. Mana Anginnya berpusat di bilah, menciptakan Tebasan Angin Topan serangan vertikal Mana Angin murni yang memotong udara.
Gilgamesh menyambut serangan itu. Dia tidak menghindar. Dia merapal Mana Darah dan mengubah Sabit Merahnya. Ujung Sabit itu kini memancarkan aura merah gelap.
ZING!
Gilgamesh mengayunkan sabitnya, Mana Darah yang terkonsentrasi di ujung sabit berubah menjadi Lash Darah Spiral yang kejam, beradu dengan Tebasan Angin Aen.
BOOM!
Ledakan Mana itu mengguncang sisa-sisa bangunan di sekitar mereka.
Lash Darah Gilgamesh memotong Tebasan Angin Aen menjadi dua, dan sisanya terus maju, menargetkan bahu Aen.
Aen berhasil menghindar di detik terakhir, tetapi Lash Darah itu menyerempet bahu kirinya. Baju putih lembut Aen terkoyak, dan darah segera merembes keluar. Aen menjerit kesakitan, bukan hanya karena luka fisik, tetapi karena Mana Darah Gilgamesh merembes ke dalam lukanya, membakar Mana Anginnya.
Gilgamesh mengambil langkah maju yang santai. Dia kini berdiri tepat di atas genangan darah Solosa Mercury.
"Kau gagal melindunginya,"
kata Gilgamesh, suaranya mengejek.
"Kau adalah kelemahan Lyra. Dan sekarang, kau adalah musuh tuanku."
Gilgamesh mengangkat Sabit Merahnya. Dia tidak lagi berniat bermain.
Lyra tahu Aen akan dibunuh. Dia harus bertindak.
Lyra berteriak, Mana Ruang-Waktunya akhirnya lepas dari belenggu trauma.
"Gilgamesh! Aku adalah Archmage-mu! Aku adalah tuanmu yang sebenarnya! Hentikan ini!"
Gilgamesh menoleh ke arah Lyra, matanya yang merah dingin menatap tajam.
"Perintah Tuanku Valerius lebih tinggi daripada klaim emosionalmu, Elara,"
jawab Gilgamesh.
Gilgamesh mengabaikan Lyra dan kembali mengayunkan Sabit Merahnya ke bawah, menargetkan Aen yang terluka.
Aen mengangkat Ae-calibur untuk menangkis. Duel itu sudah berakhir. Gilgamesh terlalu efisien, terlalu kuat.
CLANG!
Tiba-tiba, sebuah pedang perak dengan bilah yang sangat lebar menghantam Sabit Merah Gilgamesh. Bukan pedang Aen.
Sosok lain telah melompat ke antara Gilgamesh dan Aen.
Sosok itu adalah Emi Altera.
Emi, Archmage Angin/Es, berdiri di sana, Mana Anginnya kini berputar melindungi Aen. Dia telah menyelamatkan Aen.
"Permainan selesai, Archmage Darah,"
desis Emi, matanya menyala.
"Kau mungkin memiliki Gulungan Jiwa, tetapi kau harus menghadapi seluruh faksi Altera sekarang."
Emi Altera berdiri tegak di depan Aen yang terluka, pedang peraknya menahan Sabit Merah Gilgamesh. Lyra yang terhuyung-huyung berdiri di antara mayat-mayat, Mana Ruang-Waktunya mendidih.
Gilgamesh menarik Sabit Merahnya dari pedang Emi. Dia tidak terkejut dengan intervensi Archmage Altera. Di matanya yang dingin, ini semua hanyalah detail yang direncanakan.
"Kau pikir, ini hanya duel sederhana, Archmage Altera?"
tanya Gilgamesh. Suaranya datar, tetapi mengandung arogansi yang mengerikan.
Gilgamesh menyapu pandangannya ke Lyra, Aen, dan Emi.
"Kalian terlambat,"
katanya, nadanya meremehkan.
"Semua tindakan yang akan kalian lakukan selanjutnya, sia-sia."
Gilgamesh mengangkat Sabit Merahnya ke arah langit, di mana sisa-sisa Mana Darah masih melayang.
"Kekacauan telah sempurna. Pintu telah terbuka. Selamat datang, di Pertempuran Sona!"
Emi membeku. Sebagai rival Elemendorf, dia tahu betul arti historis dari nama tempat itu lokasi strategis yang dulunya merupakan gerbang menuju Middle Grail, gerbang menuju Ibu Kota. Pertempuran Sona pertama adalah tentang mempertahankan tanah. Jika Gilgamesh mengumumkannya sekarang, berarti...
TRUMPET!
Tiba-tiba, suara terompet perang kuno terdengar dari kejauhan, datang dari arah Fall Olympus, tempat Distrik Sona berada. Bunyi terompet itu bukan sinyal peringatan Akademi, melainkan sinyal serangan militer yang terorganisir.
Aen Pendragon, meskipun terluka parah, memanjat atap Akademi dengan bantuan sisa Mana Anginnya. Sebagai seorang perwira militer, ia harus memverifikasi ancaman itu.
Aen berdiri di puncak atap, matanya menyapu cakrawala menuju gerbang Sincorta di Distrik Sona.
Aen tak bisa berkata-kata.
Ratusan, bahkan ribuan prajurit Valerius, yang disamarkan sebagai tentara bayaran, telah bersiap di gerbang Sincorta. Mereka bukan hanya terdiri dari prajurit bayaran, tetapi juga Archmage dan Adept dari faksi-faksi tersembunyi yang kini tunduk pada Valerius. Mereka berdiri dalam formasi pertempuran yang padat, siap untuk menyerbu Middle Grail.
Kepala Sekolah telah dibunuh. Kekacauan telah ditaburkan di Akademi. Pertahanan militer Elemendorf kini lumpuh total karena serangan mendadak ini.
Aen melihat pasukannya yang tak terhitung jumlahnya. Dia melihat panji Valerius.
Aen Pendragon merosot di atap, pedangnya jatuh. Pertempuran Sona Kedua telah dimulai, dan Elemendorf sudah berada di ambang kekalahan total.