Aruna tahu hidupnya tidak lama lagi. Demi suami dan putri kecil mereka, ia memilih sesuatu yang paling menyakitkan... mencari wanita yang akan menggantikannya.
Alana hadir sebagai babysitter tanpa mengetahui rencana besar itu. Adrian salah paham dan menilai Lana sebagai perusak rumah tangga. Namun, pada akhirnya Aruna memaksa keduanya menikah sebelum ia pergi untuk selamanya.
Setelah Aruna tiada, Adrian larut dalam rasa bersalah dan menjauh dari istri keduanya. Lana tetap bertahan, menjalankan amanah Aruna meski hatinya terus terluka. Situasi semakin rumit saat Karina, adik Aruna berusaha merebut Adrian dan menyingkirkan Lana.
Akankah Adrian berani membuka hati untuk Alana, tanpa mengkhianati kenangan bersama Aruna? Atau justru semuanya berakhir dengan luka yang tak tersembuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 30.
Setelah kejadian vas kaca itu, Adrian langsung memeriksa seluruh taman belakang dengan mata elangnya yang selalu tajam menilai detail.
Ia melihat pecahan kaca yang jatuh tak wajar, bagian bawah vas sudah retak sebelum jatuh, bukan retak karena dijatuhkan.
Perasaannya langsung tidak enak.
“Ini bukan kecelakaan,” gumamnya pelan.
Ia memanggil kepala rumah tangga dan dua staf kebersihan. Wajah mereka pucat ketika Adrian menunjukkan retakan itu.
“Siapa yang mengganti vas ini pagi tadi?” tanya Adrian dingin.
Para staf saling pandang, akhirnya salah satu dari mereka menjawab ragu-ragu.
“S-saya, Tuan. Tapi... saya hanya mengikuti perintah, Tuan.”
“Perintah siapa?” Adrian menatapnya tajam.
Pria itu menelan ludah.
“Nyonya Fiona, Tuan... beliau bilang ingin vas di taman diganti.”
Ruangan itu langsung hening.
Adrian mengepal tangannya, rahangnya menegang. Tatapannya berubah gelap, amat gelap.
Sore itu, Adrian duduk di tepi ranjang Alana ketika istrinya sedang tidur siang. Ia memegang tangannya, menatap wajah wanita yang kini ia cintai itu.
Saat Alana terbangun pelan, ia langsung melihat suaminya menatapnya dengan sorot mata yang tak biasa.
“Mas?”
Adrian mengambil napas panjang, lalu berkata lembut. “Aku sudah tahu... siapa yang bikin kamu hampir celaka tadi.”
Alana menatapnya bingung.
“Siapa?”
“Fiona.”
Alana membeku, air mukanya berubah campur aduk. Antara kaget, terluka, tapi bukan kemarahan.
Adrian menggenggam tangan istrinya erat, namun tatapannya penuh amarah yang ditahan.
“Kalau kamu mau... aku bisa minta Dimas ceraikan dia sekarang juga. Atau setidaknya, aku bisa laporkan pada pihak berwajib. Yang dia lakukan itu—”
“Mas.” Alana menatap suaminya lembut, menyentuh pipi suaminya dengan jari gemetar. “Jangan lakukan apa pun dulu.”
Adrian benar-benar tak mengerti.
“Kamu masih mau melindungi dia? Alana, dia hampir bikin kandunganmu kenapa-napa! Hampir mencelakai kamu dan Alima!”
Alana memejamkan mata sebentar.
“Aku tahu, Mas. Tapi aku juga tahu kenapa dia begitu. Sepertinya dia cemburu sama aku... dan mungkin merasa tidak berharga di mata keluarga ini.”
“Kecemburuan bukan alasan untuk membahayakan nyawa orang!”
“Tapi... aku tidak mau keluarga Mas jadi hancur karena masalah ini. Bagaimana pun, dia wanita yang dicintai adikmu. Aku nggak mau, Mas Adrian sama Dimas jadi musuhan karena saling melindungi istri masing-masing.”
Alana menatap suaminya. “Kalau itu terjadi, Dimas pasti paling terluka.”
Adrian terdiam.
“Kita pura-pura tidak tahu dulu, ya. Kalau aku tiba-tiba marah atau menjaga jarak, dia akan makin benci. Tapi kalau aku perlakukan dia baik... mungkin dia akan sadar sendiri.”
Adrian menatap istrinya seakan melihat cahaya baru. “Kamu terlalu baik, Al...”
“Aku cuma ingin keluarga ini tetap baik-baik saja.”
Adrian menarik tubuh Alana ke dalam pelukannya penuh sayang. “Kamu membuatku jatuh cinta setiap harinya, sayang...”
Sejak hari itu, Alana memperlakukan Fiona dengan cara yang bahkan tidak bisa dimengerti siapa pun.
Alana membawakan sup hangat ke kamar Fiona pagi-pagi, sup yang dibuatkan ibu mertuanya itu dia bagi dua.
Ia memijat pundak Fiona saat wanita itu tampak lelah, dan mengajak berbelanja bareng bersama ibu mertua mereka. Bahkan saat ke Dokter kandungan untuk pemeriksaan, Alana meminta obat penyubur kandungan lalu diberikan pada Fiona.
Dan ketika keluarga besar kumpul, Alana duduk di samping Fiona dan selalu menyertakannya dalam percakapan.
Sementara itu, setiap gerakan Alana hanya membuat Fiona semakin gelisah. Hatinya seperti diperas dari dalam. Setiap kali Alana tersenyum lembut padanya dan berbuat baik, rasanya Fiona ingin menangis.
Setiap kali Alana berkata, “Mba Fiona capek? Sini aku bantu,” Fiona merasa seperti ditampar.
Suatu sore Fiona duduk sendirian di teras samping, ia memegang coklat hangat di tangannya.
Ia menatap taman tempat kejadian itu terjadi.
Tiba-tiba sesuatu berkelebat dalam pikirannya, wajahnya ketakutan.
“Apa... dia tahu?” gumamnya lirih, napasnya tercekat.
Suara langkah kaki lembut terdengar dari belakang. “Fiona, ini aku bawakan buah segar. Kamu kelihatan pucat sekali, mudah-mudahan program kehamilan mu berjalan lancar ya.”
Alana tersenyum, meletakkan piring buah di meja kecil disana.
Fiona menatap wajah wanita itu, wajah yang hampir ia celakai, dan air matanya langsung jatuh. Ia menunduk, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. “Kenapa kamu begitu baik sama aku...?”
Alana terpaku, lalu duduk di sampingnya.
“Karena kamu juga keluargaku,” jawab Alana pelan.
Fiona terisak makin keras. “Kenapa kamu nggak benci aku...? Bukankah kamu sudah tau kejadian itu adalah ulahku? Aku iri padamu, Alana...”
Alana memegang tangan Fiona, begitu lembut seperti seorang kakak pada adiknya.
“Karena kalau aku benci kamu, nggak akan ada habisnya. Aku cuma mau kita semua baik-baik saja, hidup dalam damai.”
Fiona menangis tersedu, tubuhnya bergetar.
Dari kejauhan, Adrian berdiri memandang adegan itu. Ia melihat istrinya yang begitu lembut, begitu bijak bahkan setelah disakiti.
Dan melihat Fiona menangis seperti anak kecil yang menyesali semuanya, Adrian menghela napas panjang. “Alana... kamu memang cahaya di rumah ini.“
Hari itu, ada satu hati yang kembali membuka pintunya.
Alana bukan lagi sekadar istri kedua terbaik yang dipilihkan Aruna untuk Adrian. Di mata keluarga itu, ia telah menjelma menjadi menantu yang lembut hatinya, dan ipar yang keberadaannya membawa kehangatan. Seseorang yang memaafkan tanpa diminta, dan mencintai tanpa syarat.
...******...
Dua Puluh Tahun Kemudian...
Di ruang keluarga, sore itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin berhembus lembut melewati taman, membawa aroma bunga kamboja yang sedang mekar. Namun, suasana hati di dalam rumah sama sekali tidak setenang itu.
Di ruang keluarga, Alana berdiri mematung. Rambutnya yang mulai dihiasi helaian perak tergerai lembut, namun sorot matanya… tegas, dewasa, dan retak di beberapa sudut.
Ia memandang kedua putrinya.
Alima yang kini berusia 25 tahun, cantik, tenang, dewasa… anak sambung yang justru selalu menempel padanya sejak kecil.
Dan Asmara 20 tahun, putri kandungnya sendiri. Cantik, lincah namun impulsif, keras kepala, dan sering kali terlalu percaya diri dengan pesona yang ia punya.
Hari itu, semua ketenangan keluarga runtuh. Sebab kebenaran yang pahit itu telah mencuat ke permukaan, Asmara mengatakan sesuatu pada mereka.
Asmara tidur dengan Rendi—tunangan Alima.
“Bunda… aku bisa jelasin,” suara Asmara bergetar, tapi tetap terasa keras kepala khas dirinya.
Alima menunduk sedih, kedua tangannya gemetar. Ia tidak menangis, Alima sudah terlalu hancur bahkan untuk sekadar meneteskan air mata.
Namun Alana… berdiri di antara keduanya.
Batinya kacau.
Sebagai ibu kandung, ia ingin memeluk Asmara. Sebagai ibu sambung, ia ingin membela Alima.
Dan sebagai seorang wanita… ia ikut merasakan patahnya hati Alima. Karena ia tahu rasanya kehilangan harga diri dan betapa sakitnya pengkhianatan. Apalagi pengkhianatan dari adik kandungnya sendiri, adik satu ayah.
“Asmara…” suara Alana nyaris pecah. “Kamu sadar apa yang kamu lakukan?”
Asmara menggigit bibir.
“Aku gak sengaja, Bunda. Sebelum kakak bertunangan, aku sudah suka lebih dulu pada bang Rendi. Aku terbawa perasaan lama, aku—”
“Cukup!” suara Adrian menggema, membuat semua orang terdiam. Dahi pria itu mengeras, di usia 50-an ia masih gagah tapi sorot matanya kali ini gelap. “Jangan berdalih seolah kamu tidak tahu dia tunangan kakakmu.”
Asmara menelan ludah, tapi tetap berkata. “Aku cuma… mengikuti kata hatiku. Aku pikir—”
“Kamu menghancurkan hati kakakmu,” potong Alana lembut tetapi tegas. “Dan kamu... mempermalukan keluarga ini!"
Asmara terdiam.
Alima mengangkat wajahnya perlahan, dan barulah air matanya jatuh. Suara Alima bergetar. “Aku cuma bertanya… kenapa? Kenapa kamu mengkhianati kakak? Apa salahku padamu? Apa kurangku menjadi kakakmu?”
Asmara tidak bisa menjawab.
“Alima…” Alana mendekat, memegang kedua bahunya. “Nak, kamu tidak salah. Kamu tidak kurang sebagai kakak, kamu juga tidak gagal sebagai perempuan.”
Tangis Alima pecah, dan Alana memeluknya erat. Seerat saat ia memeluk Alima kecil dulu, ketika bocah itu menangis karena tidak bisa melihat ibu kandungnya lagi setelah Aruna meninggal.
Padahal Alana bukan ibu kandungnya. Namun cinta… tak pernah peduli tentang darah.
Setelah Alima dibawa Adrian ke lantai atas untuk menenangkan diri, Alana berdiri berhadapan dengan Asmara.
Kali ini tanpa suara keras, tanpa bentakan. Hanya tatapan seorang ibu… yang sedang patah hati oleh anaknya sendiri.
“Kamu tahu apa yang paling sakit, Nak?” Alana berkata pelan. “Bukan karena kamu berhubungan sama tunangan kakakmu, tapi karena kamu... membuat Bunda malu sebagai ibumu.”
Asmara menggigit bibirnya, matanya memerah.
“Bunda selalu bangga padamu. Selalu bilang ke orang-orang betapa baiknya kamu, betapa cerah masa depanmu… tapi hari ini…” Alana menarik napas panjang, menahan sesak. “Hari ini kamu menunjukkan sisi yang bahkan Bunda sendiri tidak kenal.”
“Bun…” Asmara mulai menangis.
Namun Alana hanya memejamkan mata. Bukan menahan amarah, melainkan menahan luka.
“Pergi ke kamar, pikirkan apa yang sudah kamu perbuat. Dan jangan temui kakakmu dulu.”
Asmara terisak, namun ia mengangguk dan berjalan pergi.
Ketika rumah akhirnya hening, Alana duduk perlahan. Tangannya gemetar. Adrian menghampirinya dan menggenggam jemarinya.
“Kamu tidak salah,” katanya lembut.
“Aku gagal, Mas…” suara Alana pecah. “Aku sayang Alima seperti anak kandungku sendiri. Tapi ternyata… anakku sendiri malah melukai dia…”
“Itu bukan salahmu.” Adrian menariknya ke dalam pelukan. “Asmara sudah dewasa, itu pilihannya dan dia harus bertanggung jawab.”
Alana menyandarkan kepala di bahu suaminya. Namun batinnya tetap bergetar. Karena hari itu, bukan hanya hati Alima yang hancur. Tapi juga, hati seorang ibu.
Meskipun ia menegur sebagai orang tua, jauh di dalam hatinya…
Alana merasa malu.
Kecewa, dan hancur.
Bukan malu karena status keluarga, tapi karena ia telah mengajari anak-anaknya tentang kesetiaan, tapi justru anak kandungnya sendiri yang mengkhianati nilai itu.
Di dalam kamarnya, Asmara menangis. Tapi bukan karena dia merasa bersalah pada kakaknya, melainkan karena akhirnya dia bisa menghancurkan hubungan kakaknya dengan Rendi—laki-laki brengsek yang mempermainkan kakaknya.