Maya, anak sulung yang doyan dugem, nongkrong, dan bikin drama, nggak pernah nyangka hidupnya bakal “dipaksa” masuk dunia yang lebih tertib—katanya sih biar lebih bermanfaat.
Di tengah semua aturan baru dan rutinitas yang bikin pusing, Maya ketemu Azzam. Kalem, dan selalu bikin Maya kesal… tapi entah kenapa juga bikin penasaran.
Satu anak pembangkang, satu calon ustadz muda. Awalnya kayak clash TikTok hits vs playlist tilawah, tapi justru momen receh dan salah paham kocak bikin hari-hari Maya nggak pernah boring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayusekarrahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30 Sabotase Yang Gagal
Semua orang yang ada di dekat nya sontak menatap Dewi dengan mata membulat.
“Woi Wi! Itu kan teh gueee!” seru Maya kaget, tangannya terulur seolah hendak merebut kembali cangkir yang sudah tandas isinya.
Dewi mengangkat cangkir kosong itu sambil tersenyum lebar, “Hehe... maaf ya, refleks. Gue udah dehidrasi tingkat dewa barusan!”
“Ya ampun, Wi! Itu teh spesial buat nenangin gue loh, bukan buat ngebasahin tenggorokan lo!” Maya mendengus, tapi nadanya lebih ke arah geli daripada marah.
Rara, Zahra, dan Sinta sudah menahan tawa sampai bahunya naik-turun.
“Untung aja diminum sama kamu, Wi,” celetuk Rara sambil masih tertawa. “Coba kalo Maya yang minum, bisa-bisa dia muntah darah liat tingkah kamu barusan.”
Mereka semua tertawa keras, suasana yang tadinya tegang perlahan mencair lagi.
Maya mengembuskan napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Oke... mungkin ini pertanda gue gak boleh terlalu banyak drama. Ayo, sekarang waktunya fokus.”
Ia mengambil kertas kosong yang tadi dibawa Dewi, lalu mulai menulis poin-poin penting untuk acara. Tangannya bergerak cepat tapi teratur. Wajahnya serius, matanya tajam penuh konsentrasi.
Sementara itu, di balik tirai...
Rita dan Putri yang baru saja kembali dari bagian konsumsi menatap ke arah panggung dengan wajah puas melihat cangkir teh itu telah tandas mereka mengira bahwa Maya telah meminum nya.
“Put... itu teh-nya...” bisik Rita, suaranya nyaris tak terdengar.
“Iya, gue liat,” jawab Putri panik. “Pasti udah di minum sama si Maya, gue yakin bentar lagi tu anak bakal moncor."
Mereka berdua saling berpandangan lalu tersenyum puas. Setelah itu keduanya kembali melangkah ke arah sudut aula. Duduk bersama beberapa panitia lainnya. Sesekali mereka tersenyum ke arah Nadia sembari memberikan kode dengan ibu jarinya.
Nadia tersenyum puas, ia teramat tak sabar menyaksikan reaksi Maya nanti.
......................
Beberapa menit kemudian, acara dimulai. Aula penuh dengan para santri, guru, tamu undangan, dan tentu saja keluarga besar Arman Wicaksono yang baru saja tiba.
Pak Arman duduk di barisan depan bersama Buk Rani dan Alin. Mika duduk di sebelah Alin sambil sesekali melirik ke sekeliling dengan kagum.
Di sudut Lain beberapa Ustadz dan ustadzah termasuk Kiai Bahar juga tampak duduk sembari saling mengobrol.
“Wah... pesantrennya keren juga ya, Lin. Gue kira bakal kayak di film yang gelap dan sepi gitu loh,” bisik Mika.
Alin menatapnya geli. “Haha... ya enggak lah, ini pesantren modern. Tapi... lihat deh itu, kayaknya kak Maya bakal tampil.”
Pandangan mereka beralih ke arah panggung.
Azzam berdiri di depan mic, memberi sambutan singkat. Suaranya lembut tapi berwibawa. “Kepada semua hadirin yang kami hormati... kami ucapkan terima kasih telah hadir dalam acara silaturahmi dan sosialisasi hari ini. Semoga kegiatan ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua.”
Sorak sorai kecil terdengar dari para santri. Setelah itu, giliran Maya yang maju ke depan, menggantikan posisi Azzam.
Langkahnya mantap, senyumnya hangat, meski dalam hati masih ada degupan gugup yang belum mau reda. Tapi begitu berdiri di depan mikrofon, semua rasa panik itu perlahan memudar.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...”
Suaranya jernih dan tegas, membuat banyak tamu langsung memperhatikannya.
“Perkenalkan, saya Maya, santriwati dari Nurul Hikmah. Hari ini, izinkan saya menjadi pembawa acara dalam kegiatan silaturahmi dan sosialisasi sekaligus syukuran kesembuhan Kiai Bahar. Semoga acara ini menjadi ladang berkah bagi kita semua.”
Di kursi tamu, Buk Rani tersenyum haru, sementara Pak Arman memandangi putrinya dalam diam, ada rasa bangga yang sulit disembunyikan di balik ketegasannya.
Alin menatap dengan mata berbinar. “Mah, itu kak Maya... cantik banget.”
Buk Rani mengangguk kecil, “Iya, Lin... kakakmu tumbuh jadi gadis yang luar biasa.”
Azzam yang berdiri tak jauh dari panggung juga tak bisa menyembunyikan senyum tipis di wajahnya. Tatapannya sempat bertemu dengan Maya beberapa detik, cukup untuk membuat dada keduanya terasa sesak oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Di sisi lain...
Di belakang panggung, Dewi tengah duduk sembari memegangi perutnya tiba-tiba lalu meringis kesakitan.
“Uh... perut gue...” keluh Dewi pelan sambil memegang perutnya.
Sinta menatap heran. “Kenapa, Wi? Kamu lapar lagi?”
“Bukan... tapi kok... perut gue muter-muter kayak mesin cuci ya?” Dewi meringis, wajahnya mulai tegang.
Zahra mendekat, “Kamu kebanyakan minum es batu kali?”
“Enggak, teh-nya anget, Zah!” jawab Dewi hampir menangis.
Beberapa detik kemudian... gruuukkkk... suara perutnya begitu keras sampai membuat Sinta dan Zahra menatap dengan mata melebar.
“Woi Wi! Itu suara apaan barusan?! Jangan bilang...”
“Jangan bilang apa-apa, tolong! Gue harus ke toilet sekarang juga!” teriak Dewi sambil berdiri tergesa, hampir menjatuhkan kursi di belakangnya.
Tanpa pikir panjang, dia langsung berlari keluar dari belakang panggung sambil memegangi perutnya, wajahnya antara panik dan malu.
“Wiii! Jalan jangan kayak ninja gitu, malu diliatin orang!” Sinta berseru sambil menahan tawa, tapi Dewi udah terlanjur menghilang di tikungan.
Zahra sampai membungkuk, tertawa terpingkal, “Ya Allah, baru juga lima menit acara mulai, Dewi udah dapet panggilan alam!”
Sinta ikut tertawa. “Kayaknya teh yang tadi tuh bukan teh biasa deh, Zah.”
"Itu karma....akibat minum milik orang lain,haha," Rara terkikik geli.
Sementara itu di panggung depan, Maya masih fokus memandu acara dengan tenang. Tapi dari jauh, dia sempat melirik ke arah depan dan berbicara dalam hati, 'Aaahhh...Alin adik gue tersayang, dan plastik Mika gue, akhirnya kalian bener-bener dateng, gue gak sabar buat meluk kalian semua.'
Di sisi lain, Rita dan Putri yang sedari tadi menatap ke arah panggung menantikan momen Maya yang sakit perut. Namun anak itu rupanya masih berdiri dengan baik di atas panggung.
“Rit... kayaknya obatnya gak bereaksi apa-apa deh,” bisik Putri dengan wajah bingung.
“Iya, kok reaksinya lama ya, apa aku salah masukin obat? tapi aku yakin, aku gak salah kok,” jawab Rita, kali ini bisa tersenyum lega juga.
Mereka saling berpandangan lalu kembali fokus, menghadap panggung.
Sementara itu, Azzam yang sempat melihat Dewi lari terburu-buru hanya mengangkat alis bingung. “Itu... kenapa santriwati satu itu?” gumamnya.
Seorang ustadz di sebelahnya menjawab enteng, “Mungkin nervous, Ustadz. Biasanya kalau gugup suka begitu.”
Azzam hanya mengangguk, tapi dalam hati tertawa kecil. “Nervous kok ekspresinya kayak orang dikejar hantu.”
Dan begitulah, acara tetap berjalan lancar, meski di balik layar Dewi mondar-mandir dengan wajah memelas, berharap mulesnya bisa cepat mereda.
Sementara itu di panggung, suara Maya mengalun tenang, setiap kata-katanya keluar dengan penekanan yang pas. Ia bahkan tak perlu terus-menerus melihat catatan, hafalannya berjalan alami.
Sesekali matanya menatap sekilas ke arah Azzam, yang berdiri di sisi panggung. Lelaki itu hanya mengangguk pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya.
“Dan untuk membuka acara kita hari ini,” lanjut Maya, “marilah kita dengarkan lantunan ayat suci Al-Qur’an yang akan dibacakan oleh saya sendiri, Maya Wicaksono.”
Sorak kecil dan tepuk tangan terdengar. Maya tersenyum, lalu mengambil posisi. Ia menarik napas dalam, dan mulai melantunkan ayat dari surah Al-Mulk.
Suaranya merdu, tenang, dan penuh penghayatan. Setiap ayat keluar dari bibirnya seperti berbisik lembut ke hati siapa pun yang mendengarnya. Bu Rani menunduk haru, sementara Pak Arman menatap putrinya dengan tatapan bangga yang tak bisa disembunyikan.
Alin, di sebelahnya, berbisik kecil,
"Mah, Kak Maya keren banget…”
Buk Rani tersenyum, “Itu hasil dari kerja keras dan kesabarannya, Nak.”
Bahkan Mika tampak berkaca-kaca, baru kali ini ia melihat sahabatnya tampil dengan begitu dewasa dan menawan.
Namun di sisi lain panggung, Nadia yang sedari tadi menatap tajam mulai terlihat gelisah. Rencana liciknya gagal total. Bukannya malu, Maya justru tampil lebih percaya diri dari sebelumnya.
‘Kenapa dia gak kenapa-napa? Bukannya dia harusnya…’ gumam Nadia kesal dalam hati.
Nadia menuruni tangga panggung di bagian belakang, lalu menghampiri Rita dan Putri yang tengah berdiri di sisi panggung.
"Ikut aku.." Nadia melangkah lebih dulu, di belakangnya Rita dan Putri berjalan dengan wajah pias.
Langkah mereka terhenti di depan sebuah toilet umum, " Kalian udah masukin obat nya belum sih? kenapa Maya masih baik-baik aja?," Nadia berseru kesal.
Rita tampak gelagapan, "Udah kok Nad, aku yakin banget tadi pas si Zahra bikin teh,aku masukin bubuknya itu, aku yakin banget, mungkin aja belum bereaksi."
"Iya Nad, tadi aku liat sendiri kok," Seru Putri.
Nadia menghela napas panjang, "Ya tapi kalian liat sendiri kan si Maya udah berdiri lama, masa iya reaksinya lama banget?, kalian yakin kalau yang minum itu Maya?."
Belum sempat Rita dan Putri menjawab, tiba-tiba saja pintu toilet terbuka. Dewi keluar dengan wajah lega, "Ahh akhirnya lega..", ia terkejut melihat Nadia dan dua senior lainnya, "Eh kak Nadia, lagi pada ngapain kak?."
Nadia menatap datar ke arah Dewi, "Harusnya saya yang bertanya, kenapa kamu disini? bukannya berkumpul dengan yang lain."
"Hehe ini kak saya sakit perut, udah lima kali saya mondar-mandir ke toilet...ini semua gara-garamain asal minum teh si Maya nih..." Belum sempat Dewi melanjutkan ucapannya, tiba-tiba saja perutnya kembali terasa sakit.
Gruuukkkk..."Aduhh tuh kak, saya udah dapet panggilan alam lagi, saya permisi kak," Dewi tampak masuk lagi dengan tergesa.
Nadia menatap Rita dan Putri dengan tatapan horor, "Jangan bilang justru yang minum air itu bukan Maya tapi malah si Dewi?".
Rita dan Putri menelan ludah susah payah, "kita gak tau Nad, soalnya tadi kita disuruh bantuin bagian konsumsi," cicit Putri pelan.
"Ahhh gagal lagi, gagal lagi," Seru Nadia setengah berteriak kesal.
.
.
✨️ Bersambung ✨️