NovelToon NovelToon
SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / Cinta setelah menikah / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:513
Nilai: 5
Nama Author: Efi Lutfiah

Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.

Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tak mampu menolak

Arkana segera menarik kursi untuk Cantika, lalu memberi isyarat halus agar wanita itu duduk.

Cantika menuruti, duduk dengan tenang sambil menampilkan senyum kecil yang tak pernah lepas dari bibir mungilnya.

“Selamat makan, Cantika,” ucap Arkana ramah, sorot matanya sulit beralih dari wajah di hadapannya.

“Makasih, Dok.”

Cantika mulai mengambil beberapa hidangan khas Jepang di hadapan mereka. Aroma gurihnya membuat perutnya bergemuruh, tapi entah kenapa, hatinya justru terasa canggung.

“Makan yang banyak, ya. Jangan sampai nanti pulang malah kelaparan lagi,” goda Arkana ringan.

Cantika terkekeh. “Nggak akan, Dok.”

“Haha, iya, jangan. Soalnya malam itu waktu buat istirahat, bukan buat makan terus,” celetuk Arkana sambil tersenyum.

Cantika menggeleng pelan, tawa kecil lolos dari bibirnya. Ternyata begini rasanya makan malam dengan seorang dokter, bahasannya tak jauh-jauh dari kesehatan.

“Cantika, saya lihat kamu makin cantik aja,” puji Arkana lembut, suaranya terdengar tulus, tanpa sedikit pun usaha menutupi rasa kagumnya.

Seketika pipi Cantika memanas. Ia menunduk, jari-jarinya refleks memainkan sendok di atas piring. Rasanya gugup sekali mendapat pujian seperti itu, apalagi dari seorang pria seperti Arkana.

“Dokter jangan terlalu memuji saya, nanti saya malah besar kepala,” ujarnya pelan, masih enggan menatap mata teduh di hadapannya.

Arkana tersenyum kecil. Matanya tak kunjung berpaling dari Cantika. Entah kenapa, wanita di depannya itu seperti punya daya tarik yang sulit dijelaskan. Bahkan ia sudah tak begitu memperhatikan makanan di hadapannya.

“Kalau memang kenyataannya kamu cantik, kenapa harus saya sembunyikan?” katanya tenang, lalu menambahkan dengan nada sedikit lebih dalam, “Saya saya sangat suka.”

Ucapan itu membuat jantung Cantika berdetak tak karuan. Ia mengangkat wajah perlahan, menatap Arkana yang kini tengah menatapnya lekat, seolah setiap kedipan matanya menyimpan sesuatu yang sulit diucapkan.

“Dokter…” suara Cantika nyaris bergetar. “Jangan bilang hal-hal kayak gitu, nanti saya salah paham.”

Arkana tersenyum, tapi sorot matanya tidak berubah, hangat, teduh, dan jujur.

“Kalau kamu salah paham, berarti saya berhasil,” ucapnya pelan, separuh bergurau namun terdengar tulus di telinga Cantika.

Cantika membeku sesaat. Napasnya terasa sesak oleh perasaan yang tiba-tiba tumbuh di dadanya, perasaan yang bahkan belum sempat ia pahami.

Ia buru-buru menunduk, menyibukkan diri dengan sumpit di tangannya, pura-pura fokus pada sushi yang tersusun rapi di piring.

Namun senyumnya tak bisa disembunyikan.

Entah kenapa, ada rasa hangat yang diam-diam tumbuh di sela-sela kebisuan mereka.

“Cantika,” panggil Arkana lagi, kali ini suaranya terdengar lebih dalam, lebih berani.

Tangan hangatnya terulur, menyentuh jemari Cantika dengan lembut.

Deghh…

Detak jantung Cantika seolah melonjak tak beraturan. Ia tak tahu harus berbuat apa selain menunduk, berusaha menenangkan diri dari getaran yang mendadak memenuhi dadanya.

“Tika,” lanjut Arkana pelan, “sejak pertama kali kita bertemu, saya tahu kamu adalah sosok wanita yang… entah bagaimana, terasa sempurna di mata saya.”

Ia tersenyum tipis, menatap Cantika seolah ingin menghafal setiap garis wajahnya.

“Mungkin kata-kata nggak akan cukup untuk menggambarkan semuanya. Tapi sungguh, kamu… terlalu sempurna.”

Cantika terdiam. Pipinya memanas, dan tangannya yang kini masih dalam genggaman terasa dingin, seolah kehilangan arah.

“Dok…” ucapnya lirih, hampir tak terdengar.

Arkana menatapnya semakin lembut.

“Kamu bukan cuma cantik, Tika. Kamu juga luar biasa. Kamu kuat, kamu nggak pernah menyerah pada keadaan. Dan itu… hal yang paling bikin saya kagum.”

Kata-kata itu meluncur pelan, namun mampu membuat hati Cantika bergetar hebat. Ia menelan ludah, berusaha menahan perasaan yang mulai membuncah tanpa ia sadari.

“Jadi… dari semua yang saya rasakan, saya ingin sekali memiliki kamu, Cantika.”

Deghh…

Detak jantung Cantika seolah berlari.

Bahagia?

Tentu saja. Siapa yang tidak akan merasa bahagia diperlakukan seistimewa itu oleh seorang pria seperti Arkana—sopan, hangat, dan begitu sempurna di matanya.

Namun di balik rasa bahagia itu, terselip perasaan kecil yang menyakitkan.

Rasa rendah diri yang perlahan menyelimuti hatinya. Karena siapa dia, sebenarnya?

Seorang wanita penghibur yang hidup dari dunia yang mungkin tak pantas bersanding dengan laki-laki seperti Arkana.

“Apa kamu mau menikah dengan saya, Cantika?” suara Arkana lembut, namun setiap katanya terdengar jelas, seolah mengetuk langsung ke jantung Cantika.

“Dok, tapi…” suaranya bergetar, nyaris tak sanggup ia teruskan.

Arkana menatapnya dalam, lalu tersenyum tenang.

“Saya tahu ini mendadak. Tapi jujur, dari dulu saya sudah mengagumi kamu, Tika. Bukan karena penampilanmu, tapi karena hati kamu… yang tulus dan kuat.”

Cantika terpaku.

Air matanya hampir jatuh tanpa ia sadari. Antara bahagia dan takut, antara ingin menerima dan sadar diri bahwa cinta seindah itu… mungkin bukan untuknya.

Cantika menunduk. Matanya terasa panas, dan tenggorokannya seperti tersumbat oleh emosi yang sulit dijelaskan.

Sejenak ia ingin menjawab ya, ingin sekali memeluk kebahagiaan yang selama ini hanya bisa ia bayangkan dari jauh.

Namun, realita menamparnya perlahan.

“Dari sekian banyak wanita, kenapa harus saya, Dok?”

Suara Cantika terdengar lirih. Bukan karena ingin menolak, tapi karena ia ingin menyadarkan dirinya sendiri agar tak terjebak dalam harapan yang mungkin terlalu tinggi. Ia takut membuat Arkana kecewa saat tahu siapa dirinya sebenarnya.

“Saya cuma wanita miskin,” lanjutnya pelan, menunduk. “Jauh dari kata sempurna. Sedangkan dokter… punya segalanya. Karier, nama baik, dan masa depan yang jelas. Perbedaan kita terlalu jauh. Saya juga bukan wanita baik, Dok. Saya takut… dokter bakal menyesal kalau sampai menikah dengan saya.”

Arkana menatapnya serius. “Ma—maksud kamu?”

Cantika buru-buru menggeleng, lalu tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan luka di balik matanya.

“Dokter belum benar-benar mengenal saya. Saya cuma takut… nanti dokter kecewa kalau tahu kehidupan saya yang sebenarnya.”

Arkana menghela napas panjang, lalu semakin mengeratkan genggaman tangannya di atas meja. Tatapannya lembut, tapi tegas.

“Kalau begitu, biar saya yang mengenal kamu lebih dulu,” ucapnya tenang. “Apa perlu kita mulai dengan pendekatan dulu, supaya kamu yakin kalau perasaan saya tulus?”

Cantika menunduk, menatap jemarinya yang kini digenggam hangat oleh Arkana. “Dok…” ucapnya pelan, nyaris tak berani menatap balik.

Arkana tersenyum tipis.

“Kamu mau, kan?” suaranya lembut tapi pasti. “Saya janji, Tika. Saya akan buat kamu yakin kalau cinta saya ini sungguh-sungguh. Dan saya janji, saya nggak akan berhenti berusaha sampai kamu bahagia.”

Cantika terdiam cukup lama. Tatapannya kosong ke arah meja, tapi pikirannya berputar cepat.

Ia tahu, ucapan Arkana barusan bukan sekadar janji manis. Nada suaranya begitu yakin, dan genggaman tangannya terasa hangat, hangat yang menembus hingga ke hatinya yang sudah lama dingin.

“Dokter…” ucapnya pelan, kali ini nadanya lebih lembut. “Saya nggak tahu harus ngomong apa. Saya cuma takut… kalau saya nggak bisa bikin dokter bahagia.”

Arkana menggeleng pelan, masih menatapnya penuh keyakinan.

“Bahagia itu bukan tentang seberapa sempurna seseorang, Tika. Tapi tentang siapa yang sanggup tulus nemenin di masa susah dan senang. Dan saya lihat itu di kamu.”

Ucapan itu membuat air mata Cantika hampir tumpah lagi. Ia buru-buru mengusap sudut matanya, malu kalau sampai terlihat rapuh di depan pria yang begitu sabar itu.

“Saya nggak yakin pantas buat dokter…” gumamnya.

Arkana tersenyum hangat. “Biar saya yang yakinin kamu, ya?”

Cantika tak mampu berkata-kata lagi. Bibirnya bergetar, tapi tak ada satu pun kata yang sanggup keluar. Seolah semesta pun menahannya untuk menolak.

Di hadapannya, Arkana masih menatap dengan mata penuh keyakinan, mata yang membuat hatinya goyah sekaligus tenang dalam waktu bersamaan.

Ia tahu, laki-laki itu sungguh-sungguh. Arkana bukan sekadar bicara manis; dari cara ia menggenggam, dari tatapannya, dari nada suaranya, semuanya terasa nyata. Ia benar-benar ingin memperjuangkan dirinya.

Mungkin… memang ini takdirnya.

Takdir yang datang dengan cara yang tidak pernah ia duga sebelumnya.

Cantika menunduk pelan, tersenyum samar di antara perasaan yang campur aduk.

Dalam hatinya, ia berjanji, bila memang Tuhan mengizinkan langkah ini berlanjut, maka perlahan-lahan ia akan membuka semuanya, tentang hidupnya, masa lalunya, dan luka yang pernah ia sembunyikan.

1
menderita karena kmu
Ceritanya seru banget, jangan biarkan aku dilema menanti update 😭
evi evi: haha,,, siap kakak😀🤗
total 1 replies
Rukawasfound
Ceritanya keren, teruslah menulis thor!
evi evi: Terimakasih sudah mampir di cerita ku kk🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!