Dara yang baru saja berumur 25 tahun mendapati dirinya tengah hamil. Hidup sebatang kara di kota orang bukanlah hal yang mudah. Saat itu Dara yang berniat untuk membantu teman kerjanya mengantarkan pesanan malah terjebak bersama pria mabuk yang tidak dia ketahui asal usulnya.
"ya Tuhan, apa yang telah kau lakukan Dara."
setelah malam itu Dara memutuskan untuk pergi sebelum pria yang bersamanya itu terbangun, dia bergegas pergi dari sana sebelum masalahnya semakin memburuk.
Tapi hari-hari tidak pernah berjalan seperti biasanya setelah malam itu, apalagi saat mengetahui jika dia tengah mengandung. apakah dia harus meminta pertanggungjawaban pada lelaki itu atau membesarkan anak itu sendirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34
Keesokan paginya, setelah mengantar Rafa ke sekolah, Arkan tidak langsung memacu mobil menuju kantor seperti biasanya. Ia justru memutar arah menuju apartemen.
Dara sudah merasa jauh lebih baik. Tekanan darahnya membaik setelah pengakuan semalam, dan kedatangan Mbak Rina membuat beban pekerjaan rumah tangga benar-benar terangkat.
Pukul delapan pagi, Arkan sudah kembali ke apartemen, padahal biasanya ia baru tiba di kantor dan memulai rapat pagi. Dara, yang sedang bersantai di sofa ruang tamu sambil ditemani teh jahe hangat, menatap Arkan dengan heran.
“Kok pulang? Kamu nggak kerja?” tanya Dara pelan, alisnya mengerut.
“Mas nggak ke kantor hari ini.”
Jawabannya sederhana, tapi tegas.
Dara semakin bingung. “Kenapa? Kamu sakit? Atau ada urusan?”
Arkan menggeleng. “Mas mau ajak kamu ke suatu tempat.”
"kemana"
Alih-alih menjawabnya,Ia menghampiri Dara, mengecup keningnya. "Gimana perasaanmu hari ini? Mual?"
"Sudah lebih ringan, Mas. Mbak Rina juga sudah membuatkan teh jahe," jawab Dara. "
"Aku mau mengajakmu ke suatu tempat. Tempat penting, yang mungkin akan menjawab beberapa pertanyaan di hatimu, dan membuat kamu benar-benar percaya pada perasaanku."
Dara mengerutkan kening. "Ke mana?"
"Ganti pakaian yang nyaman. Tapi jangan terlalu mencolok" pinta Arkan.
Meskipun bingung, Dara menuruti. Ia mengenakan celana panjang dan kemeja longgar.
Perjalanan mereka terasa hening. Arkan fokus menyetir, sesekali menggenggam tangan Dara, memberinya kehangatan dan ketenangan. Kira-kira setelah setengah jam mobil Arkan memasuki sebuah area pemakaman umum yang luas dan tertata rapi.
Dara menoleh ke Arkan, keheranan. "Mas, kenapa kita ke sini?"
Arkan mematikan mesin mobil. Ia menatap Dara, matanya lembut, tetapi menyimpan kesedihan yang sudah lama terkubur.
"Kita akan menemui seseorang," jawab Arkan, tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.
Mereka turun dari mobil. Arkan mengambil sebuket bunga sedap malam yang dibelinya tadi sebelum menjemput Dara dari kursi belakang. Ia mengulurkan tangannya pada Dara, dan Dara menyambutnya.
Arkan berjalan perlahan, menembus deretan nisan. Dara mengikutinya dari belakang, membiarkan Arkan memimpin. Udara di pemakaman terasa sejuk, membawa aroma tanah dan bunga.
Akhirnya, Arkan berhenti di depan sebuah nisan yang tampak masih baru dan sangat terawat. Ia melepaskan genggaman tangan Dara, berlutut, dan meletakkan bunga itu dengan hati-hati.
Dara ikut berlutut di sampingnya, matanya langsung tertuju pada ukiran nama di batu nisan itu:
SAFIRA DINATA BINTI AHMAD ZAINY
Dara merasakan darahnya berdesir. Ia menoleh ke Arkan, wajahnya penuh tanda tanya.
"Ini Safira," kata Arkan, suaranya parau. "Dia... ibunya Rafa. Istriku yang pertama."
Dara sedikit terkejut mendengar penuturan dari Arkan.
"Assalamualaikum mbak" ucapnya
“Safira…” Suaranya pecah halus. “…ini Dara.”
“Dia istri Mas sekarang,” lanjut Arkan.
Arkan mengusap nisan itu lembut, air mata tipis menggenang di pelupuk matanya.
"Dia sekarang sedang mengandung anakku yang kedua. Dia bukan orang lain, tapi dia adalah istriku. Tolong, doakan kami disana, agar kami bisa bahagia, dan agar Mama bisa menerima kenyataan ini."
Ia kembali menatap Dara. "Aku membawamu ke sini bukan untuk membandingkan. Tapi agar kamu mengerti, kenapa aku begitu marah dan takut saat kamu meminta cerai. Kenapa aku begitu paranoid dengan semua urusan Mama. Karena aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak mau kehilangan kamu, Dara."
Dara kini mengerti semua kemarahan, semua perlindungan berlebihan, dan semua ketakutan Arkan. Itu semua berakar dari trauma masa lalu. Air matanya mengalir lagi, bukan karena sakit hati, tapi karena empati yang mendalam.
"Aku janji, Ra. Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Apa pun yang Mama lakukan, aku sudah memilihmu. Aku harap, setelah ini, kamu benar-benar percaya padaku."
Setelah itu Arkan mulai membacakan doa untuk mending istrinya itu. Arkan duduk lama disamping sambil menatap nisan itu tapi genggamannya tidak lepas dari tangan dara yang berada disampingnya.
Dara tidak cemburu, dia memahami situasinya sekarang. Bagaimanapun juga Arkan dan Safira pernah hidup bersama. Banyak hal yang mereka lalui.
Setelah hampir lima belas menit berlalu, Arkan akhirnya menghela napas panjang. Ia bangkit perlahan, kemudian membantu Dara berdiri.
"Ayo, kita kembali," kata Arkan, suaranya kini terdengar lebih tenang, seolah beban berat baru saja terangkat dari pundaknya.
Mereka berjalan kembali ke mobil dalam diam. Arkan membukakan pintu untuk Dara, memastikan istrinya duduk dengan nyaman, sebelum ia memutari mobil dan masuk ke kursi pengemudi.
Di dalam mobil, Arkan tidak langsung menyalakan mesin. Ia terdiam sebentar, memegang kemudi, pandangannya lurus ke depan. Pikirannya tampak berkelana jauh, kembali ke masa lalu yang menyakitkan.
Kemudian, Arkan menoleh ke arah Dara. Ada keraguan di matanya, tetapi juga kebutuhan yang mendesak untuk berbagi.
"Ra," panggil Arkan pelan. "Mas boleh cerita?"
Dara meraih tangan Arkan yang ada di kemudi, menggenggamnya dan mengusapnya lembut. "Tentu, Mas. Ceritakan saja. Aku akan dengarkan."
Arkan menatap mata Dara, merasakan dukungan penuh dari istrinya. Ia memejamkan mata sebentar, lalu mulai bicara, suaranya sedikit serak karena emosi.
"Safira dan aku bertemu saat aku masih kuliah, di tahun terakhir. Dia adik tingkatku. Kami langsung jatuh cinta," Arkan memulai. "Kami tahu Mama pasti menentang. Safira bukan dari keluarga yang punya nama besar, dia hanya gadis sederhana yang cerdas dan tulus."
"Setelah aku lulus, kami memutuskan menikah diam-diam. Kami menikah siri, berharap setelah kami mapan dan punya anak, Mama akan luluh." Arkan berhenti sejenak, menghela napas berat. "Itu kesalahan terbesar kami."
"Setelah menikah, kami awalnya tinggal di apartemen kecil. Tapi saat aku mulai mengurus perusahaan, Mama memaksa aku pindah kembali ke rumah utama. Dia bilang, aku harus tampil sebagai putra mahkota perusahaan, dan itu butuh pengawasan. Safira juga ikut"
"Saat Safira hamil Rafa..." Arkan menggelengkan kepala, tangannya mencengkeram tangan Dara. "Itu adalah masa-masa terburuk. Mama tahu. Mama tahu Safira hamil anakku, dan alih-alih bahagia, Mama malah semakin menekannya."
"Mama selalu bicara sinis, meremehkan Safira di depan pelayan, di depan rekan bisnis, bahkan di depan Safira sendiri. Mama selalu mengatakan bahwa Rafa lahir dari wanita yang tidak pantas, dan bahwa aku seharusnya menikahi perempuan berkelas, yang saat itu Mama sudah mulai rencanakan perjodohan."
"Safira saat hamil Rafa sering menangis setiap malam. Dia mengalami stres yang luar biasa, Ra. Tekanan itu tidak berhenti. Sampai akhirnya, saat waktunya melahirkan Rafa, Safira mengalami pendarahan hebat. Pendarahan itu bukan hanya karena proses melahirkan, tapi karena tubuhnya sudah terlalu rapuh akibat stres yang menumpuk selama sembilan bulan."
Arkan menunduk, suaranya hampir tak terdengar. "Aku... aku telat menyadarinya. Aku terlalu sibuk mencoba menenangkan Mama, terlalu fokus kerja agar Mama melihat aku layak, sampai aku tidak benar-benar melihat penderitaan Safira yang semakin parah. Aku mengira dia hanya lelah biasa. Saat ia dilarikan ke rumah sakit, semuanya sudah terlambat."
Arkan mendongak, matanya penuh penyesalan mendalam.
"Dia meninggal tak lama setelah Rafa lahir. Dokter bilang, pendarahan itu diperparah oleh kondisi psikisnya yang sangat tertekan."
Dara merasakan air mata mengalir di pipinya sendiri. Penderitaan Safira, rasa bersalah Arkan, dan pengakuan ini, semuanya menjelaskan mengapa Arkan begitu protektif dan begitu paranoid terhadap mual dan kondisi Dara.
"Karena itu, Dara," Arkan memegang wajah Dara dengan kedua tangannya, tatapannya memohon. "Ketika aku melihat kamu mulai pucat, kamu muntah hebat, dan tiba-tiba kamu ingin bercerai setelah bertemu Nadine... Aku panik. Aku tidak mau tragedi itu terulang lagi. Aku tidak akan membiarkanmu melalui penderitaan yang sama."
Dara membalas tatapan Arkan, rasa sakit di hatinya berubah menjadi cinta dan pengertian yang tak terbatas. Ia mengangguk pelan.
"Aku mengerti, Mas. Aku percaya sama kamu," bisik Dara. "Aku minta maaf karena aku tidak jujur soal Nadine. Maafkan aku"
Arkan mencium kening Dara lama. "Jangan pernah lagi sembunyikan apa pun dariku, Sayang. Kita hadapi ini sama-sama. Aku janji, aku akan lindungi kamu dan anak kita. Sekarang, dan selamanya."