NovelToon NovelToon
Aku Yang Kau Nikahi Tapi Dia Yang Kau Cintai

Aku Yang Kau Nikahi Tapi Dia Yang Kau Cintai

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikah Kontrak
Popularitas:15.9k
Nilai: 5
Nama Author: riena

“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”

Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.

Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 30. Rela jika terus menerobos hujan

Suasana kafe sore itu lumayan ramai. Aroma kopi dan suara denting sendok terdengar bersahut-sahutan.

Priya, Rani dan Vina singgah ke cafe setelah dari toko baju tadi.

Priya duduk di pojok, menatap kosong ke arah cangkir latte-nya yang sudah setengah dingin. Rani dan Vina duduk di seberangnya, saling bertukar pandang sebelum akhirnya Rani yang membuka percakapan.

“Pri, boleh jujur nggak?” tanya Rani hati-hati.

Prita mengangkat alis tanpa menoleh. “Tentang apa?”

“Arman,” jawab Vina langsung. “Kami cuma… heran aja. Kalian kan udah putus, dan dia udah nikah. Tapi kenapa kamu kok kayak nggak terima gitu?”

Priya menarik napas panjang, meletakkan sendok di atas meja. Tatapannya tidak lagi kosong, tapi redup. “Kalian pikir gampang ya, ngelupain orang yang pernah kalian sayang?” suara Priya pelan, nyaris seperti bisikan.

Rani menatap lembut. “Tapi Pri hubungan kalian udah selesai. Kalau dia udah milih orang lain, berarti dia udah nggak di titik yang sama kayak kamu.”

Priya tersenyum miring, pahit. “Aku tahu, Ran. Aku tahu banget. Tapi… kadang logika kalah sama kenangan. Dia dulu orang yang bikin aku tenang, yang paling aku sayang. Kami sudah merajut mimpi. Gara-gara perjodohan sialan itu.” Priya terlihat jengkel. “Pas dia ninggalin, bukan cuma kehilangan orangnya, tapi aku kayak kehilangan arah.” tambah Priya.

“Apa hubungan kalian dulu… udah sejauh hmmm….you know lah.” Vina bertanya ragu.

Pertanyaan itu membuat Priya diam lama. Tangannya meremas cangkir di depannya, sampai ujung kukunya memutih. “Kami memang saling sayang, Vin. Tapi bukan itu yang bikin aku susah lepas. Justru karena dia nggak pernah benar-benar pergi dari pikiranku. Dia selalu ada di setiap hal kecil. Lagu, aroma parfum, bahkan cara dia bicara.”

Rani menyandarkan punggungnya. “Dan sekarang kamu masih berharap dia bakal balik?”

“Entahlah,” jawab Priya lirih. “Aku cuma… belum berdamai. Bukan berharap balik, tapi belum siap ngakuin kalau aku kalah.”

Hening sesaat. Musik lembut dari pengeras suara mengisi ruang kosong di antara mereka.

“Pri,” ucap Vina hati-hati. “Kadang bukan kalah, tapi memang bukan jatah. Arman udah pilih jalannya. Dan kamu juga harus rela, kan?”

Priya menatap keluar jendela. Langit senja menggantung di sana, samar tapi hangat. “Mungkin aku cuma butuh waktu,” gumamnya. “Atau keberanian buat bener-bener melepaskan.”

Rani menepuk punggung tangannya pelan. “Ya, tapi jangan kelamaan, Pri. Karena kalau kamu terus di masa lalu, nanti yang baru nggak bakal berani datang.”

Priya tersenyum samar. “Iya… aku tahu.” Tapi di matanya, masih tersisa sesuatu yang bukan harapan, tapi luka yang belum benar-benar kering.

------

Hujan baru saja reda ketika Priya tiba di rumahnya. Udara lembap menempel di kulit, lampu teras temaram, dan langkahnya berat seolah setiap meter membawa beban yang sama: kenangan yang enggan mati.

Begitu masuk, ia meletakkan tas di sofa, menyalakan lampu ruang tengah, lalu berdiri diam beberapa detik. Rumah itu tidak besar, tapi sunyi, dan kesunyian itu seperti mengundang bayangan lama.

Bayangan tentang seseorang yang dulu sering duduk di ruang tamu yang sama, menatapnya dengan tatapan yang ia pikir tak akan berpaling.

Ia berjalan ke meja kerja, membuka laci bawah, dan mendapati benda yang bahkan sudah berkali-kali ia janji akan dibuang: jam tangan pria dengan ukiran kecil di belakangnya.

Untuk A. Jangan pernah datang terlambat lagi.

Tulisan itu ia yang buat sendiri.

Priya menatap jam itu lama, sampai dadanya terasa sesak.

“Katanya cuma sementara,” gumamnya lirih.

Dulu Arman bilang begitu, bahwa pernikahannya dengan Widya cuma formalitas, sesuatu yang harus dijalani demi keluarga. “Tunggu aku,” ucapnya waktu itu.

Tapi belum sebulan sejak hari itu, Arman berubah. Tidak ada pesan, tidak ada penjelasan.

Hanya berita: dia benar-benar menikah. Dan seolah sungguh memilih Widya.

Priya duduk di tepi ranjang, memandangi langit-langit.

Kata-katanya di kafe sore tadi terngiang, “Aku cuma butuh waktu.”

Padahal bukan waktu yang ia butuhkan. Ia cuma belum siap menerima bahwa semua itu betul-betul berakhir. Bahwa orang yang ia tunggu… sudah memilih tempat pulang lain.

Tangannya menggenggam jam itu lebih erat.

“Kenapa sih, Man… kalau cuma mau ninggalin, kenapa harus bikin aku percaya dengan janji kamu?”

Suara jam dinding berdetak pelan, menemani pikirannya yang tak henti mengulang percakapan terakhir mereka. Ia mencoba tidur, tapi yang datang justru wajah Arman, suaranya, bahkan aroma bajunya.

Sampai akhirnya Priya memejamkan mata dengan air mata yang nyaris kering. Bukan karena berhenti sedih, tapi karena sudah terlalu lelah menahannya.

------

Hujan turun sejak sore, deras dan rapat seperti tirai air yang menutup pandangan ke luar. Langit kelabu, udara dingin, dan aroma tanah basah memenuhi udara. Dari dapur, Widya melihat Arman pulang dengan baju yang sudah basah kuyup. Arman nekat menerobos hujan.

Begitu pintu dibuka, Arman berdiri di depan rumah dengan napas sedikit terengah.

Baju kemejanya menempel di tubuh, rambutnya sebagian basah.

Widya spontan memelototinya. “Ya ampun, basah semua! Kenapa nekat pulang?”

Arman tersenyum kecil, menggigil sedikit. “Tadi kepikiran kamu terus, takut kamu udah nunggu lama.”

“Ya nggak masalah, kan hujan. Mana deres gini lagi.”

Arman cuma nyengir.

“Aku pengin pulang cepat,” ucap Arman pelan. “Kamu sendirian di rumah pas hujan begini, rasanya nggak tenang aku berteduh tadi.”

Widya mendadak terdiam. Ucapan sederhana itu tanpa embel-embel manis, justru terasa paling menghangatkan. Widya bergegas mengambil handuk dari kamar, lalu menyodorkannya ke Arman.

“Sini, keringin dulu. Nanti masuk angin.”

Arman menerima, tapi tangannya ikut menyentuh ujung jari Widya tanpa sengaja.

Hangat.

Mungkin karena suhu tubuhnya yang turun, atau memang karena perasaannya sendiri yang naik.

Arman berdiri diam beberapa detik, menatap Widya yang sibuk menunduk, berusaha pura-pura tak sadar.

“Dingin banget,” gumam Arman, suaranya rendah. “Boleh minta peluk?”

Widya mendongak, kaget, tapi tatapan Arman jujur sekali, tidak menggoda, tidak memaksa, hanya seperti seseorang yang benar-benar butuh tempat hangat untuk bernaung.

Widya mengangguk pelan.

Arman melangkah maju, memeluk Widya dari depan.

Bahu mereka bertemu, dada Arman terasa dingin, tapi dekapan itu perlahan menghangat. Hujan di luar masih deras, tapi di antara keduanya, dunia mendadak hening.

Widya bisa mendengar detak jantung Arman, cepat tapi mantap.

“Hmm, nyaman sekali…” bisik Arman di telinga Widya, napasnya hangat di kulit. “Kalau setiap hujan bisa seperti ini, aku rela tiap hari menerobos hujan, asal bisa peluk kamu.”

Widya tidak merespon. Ia hanya menutup matanya, membiarkan dirinya larut dalam pelukan sang suami.

Entah siapa yang lebih dulu mendekat, tapi dalam diam, jarak di antara wajah mereka semakin hilang.

Hanya ada tatapan yang saling mencari, lalu pergerakan kecil, ragu, lembut, namun pasti.

Ciuman pertama mereka bukan ledakan, tapi bisikan.

Hangat, pelan, dan sarat rasa yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata.

Arman menunduk sedikit, Widya tidak menghindar. Hujan di luar mengiringi detik-detik yang seolah berhenti di situ: dua orang yang sempat ragu, kini tanpa sadar saling memilih.

Ketika akhirnya kecupan dalam dan cukup lama berpisah, Widya menunduk, pipinya memerah, sementara Arman tersenyum kecil, masih menatapnya seperti seseorang yang baru saja menemukan rumah.

“Sekarang udah nggak dingin lagi,” ucap Arman pelan.

Widya pura-pura memutar badan, menyembunyikan gugupnya.

“Ganti baju sana, nanti masuk angin beneran.”

Tapi Arman tahu, kalimat itu cuma cara Widya menutupi debar yang sama dengannya.

“Bajumu juga basah, yuk ganti baju!” ajak Arman sambil menarik Widya, dan membawanya masuk ke dalam kamar.

---

1
Safitri Agus
terimakasih kak Riena updatenya 🙏🥰
Mam AzAz
terimakasih up nya 😊
Mam AzAz
begitulah perempuan kalau lagi sakit inginnya tiduran dan butuh ketenangan,kalau laki laki cuma demam aja sudah seperti sekarat dan sangat drama😂😂😂
Safitri Agus: setuju 👍😊
total 1 replies
Mam AzAz
terimakasih up nya 😊
Mam AzAz
gantian jadi pasien 🤭🤭
Enisensi Klara
Manja si Arman 😂😂
Safitri Agus
terimakasih kak Riena updatenya 🙏🥰
Safitri Agus
semoga rukun dan damai RT mereka
Safitri Agus
pasti rasanya pedes
Safitri Agus
ketularan demamnya Arman
Safitri Agus
eh ngelunjak ya🤭
Enisensi Klara
Modus Àrman 🤣🤣🤣
Enisensi Klara
Lebay Arman 🤣🤣🤣
Enisensi Klara
Makasih up nya kk Riena 😍😍
Ratu Tety Haryati
Perasaan laki2 klo sakit berasa sudah paling tak berdaya, malah buat istri double repotnya.
Ratu Tety Haryati
Klo Arman sudah ingkar janji berarti, ia bukan pria yang baik untukmu.
Ratu Tety Haryati
Klo sudah begini ada rasa iba dan tak menyalahkan Priya sepenuhnya, karena Arman sendiri yang memberikan janji untuk minta ditunggu.
Ratu Tety Haryati
Memangggg😂
Mam AzAz
terimakasih up nya 😊
Mam AzAz
begitulah laki laki, cuma demam aja seperti lagi sekarat 🤣🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!