“Dikhianati suami, ditikam ibu sendiri… masihkah ada tempat bagi Andin untuk bahagia?”
Andin, seorang wanita sederhana, menikah dengan Raka—pria miskin yang dulu ia tolong di jalan. Hidup mereka memang pas-pasan, namun Andin bahagia.
Namun kebahagiaan itu berubah menjadi neraka saat ibunya, Ratna—mantan wanita malam—datang dan tinggal bersama mereka. Andin menerima ibunya dengan hati terbuka, tak tahu bahwa kehadiran itu adalah awal dari kehancurannya sendiri.
Saat Andin mengandung anak pertamanya, Raka dan Ratna diam-diam berselingkuh.
Mampukah Andin menghadapi kenyataan di depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Beberapa hari berlalu. Berita tentang Raka dan Andin mulai booming di media sosial.
Hubungan masalalu nya di korek habis oleh netizen. Banyak yang simpati kepada Andin. Namun dibalik berita menyedihkan itu, nama Raka juga disebut-sebut sebagai pria bertanggung jawab.
Karena menyesal, Raka banyak melakukan hal baik demi menebus dosa, begitulah berita yang tersebar tentang Raka.
Sesuai rencana Raka. Andin mulai dihadapkan pada tekanan media dan publik yang memaksa dia untuk “memaafkan” Raka di depan umum.
"Raka sudah berubah. Bahkan serius melakukan kebaikan demi menebus dosanya. Tapi Andin tidak mau memaafkannya. Sungguh berhati batu"
"Andin, padahal Raka sudah bersungguh-sungguh. Kenapa dia masih tidak mau memaafkan Raka?"
"Pantasan saja laki-laki nya selingkuh, sifat Andin saja keras seperti batu. Tidak mau memaafkan pada hal Raka sudah meminta maaf" Begitulah Cerca beberapa komentar disosial media menyalahkan Andin yang keras kepala.
__
"Andin. Berita itu sudah menyebar. Padahal itu tidak seperti yang ada di dalam berita" Ucap Sintia mendengus kesal membaca beberapa komentar pedas di handphone nya.
"Biarkan saja seperti itu. Mungkin, memang ada orang yang sengaja melakukan itu agar namaku jatuh"
"Lalu....apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Sintia serius. Matanya menatap Andin menunggu jawaban. Namun Andin tidak menjawab, dia balik menatap Sintia, mengambil handphonenya dan menelpon seseorang.
Beberapa jam kemudian. Sebuah gedung hotel ditengah kota nampak ramai.
Sorotan kamera berkilat-kilat dari segala arah. Ruang konferensi hotel mewah itu dipenuhi wartawan, media hiburan, dan penggemar yang menantikan satu momen besar — pertemuan antara Andin dan Raka.
Nama keduanya tengah menjadi topik hangat. Publik menilai, kisah lama mereka adalah “drama cinta penuh penyesalan.” Dan kini, banyak yang berharap melihat “reuni hangat” di depan media.
Raka duduk di sisi kiri panggung, mengenakan jas hitam elegan.
Wajahnya tampak teduh, senyum dibuat seolah tulus, sorot matanya lembut seakan pria yang benar-benar menyesal.
Di sisi kanan, terlihat Andin melangkah masuk — anggun dalam balutan gaun putih sederhana, namun auranya begitu kuat dan berwibawa.
Kamera segera menyorot wajahnya, tepuk tangan terdengar dari para penonton.
Wajah Raka langsung berseri.
Ia berdiri, mendekat, dan menjulurkan tangan menyalaminya.
“Andin… aku berterima kasih karena kamu mau datang,” katanya dengan nada bergetar penuh sandiwara.
“Aku tahu aku bukan pria yang pantas dimaafkan, tapi… aku ingin menebus semuanya. Di depan semua orang, aku ingin meminta maaf padamu.”
Suasana ruangan mendadak hening.
Beberapa wartawan sudah menyiapkan kamera video, siap mengabadikan momen “romantis” itu.
Salah satu reporter bahkan berbisik, “Andin pasti luluh. Ini akan jadi berita besar!”
Andin menatap Raka cukup lama.
Tatapan itu datar, tapi dalam — seperti menyimpan badai besar di balik ketenangan.
Lalu, perlahan, ia mengambil mikrofon dari tangan pembawa acara.
Suara lembutnya mengalun ke seluruh ruangan.
“Raka…” katanya pelan.
“Aku memang datang ke sini… bukan karena aku sudah memaafkanmu. Tapi karena aku ingin menuntaskan semuanya. Di depan dunia.”
Raka menatap bingung, tapi masih mempertahankan senyum palsunya.
Namun beberapa detik kemudian — senyumnya mulai pudar.
Andin melangkah maju ke tengah panggung, dan mengeluarkan sebuah flashdisk kecil dari tas tangannya.
Ia menatap ke arah tim media.
“Boleh tolong tayangkan ini di layar utama?”
Sebuah video mulai diputar di layar besar di belakang panggung.
Semua mata langsung menatap — dan dalam hitungan detik, suasana ruangan berubah mencekam.
Terdengar suara Ratna dan Raka sedang berbicara di dalam toko kue dulu memanipulasi berkas dan mengambil semua hartanya— disusul rekaman CCTV singkat tentang Raka sedang memeluk ibunya dengan gestur mencurigakan sampai berhubungan badan, dan beberapa percakapan yang menunjukkan manipulasi Raka terhadap publik.
“Sebarkan berita tentang aku — donasi, tobat, atau apa pun yang membuatku tampak berharga di mata publik…”
“Pastikan Andin percaya kalau aku sudah berubah. Saat itu, aku akan dapatkan dia lagi.”
Suara Raka sendiri terdengar jelas di ruangan itu.
Wartawan saling berpandangan — kilatan kamera yang tadinya heboh berubah menjadi sunyi, tegang, lalu klik klik klik cepat penuh antusiasme.
Andin memandangi Raka yang kini pucat pasi.
“Selama ini aku diam bukan karena aku bodoh,” katanya tegas, suaranya menggema ke seluruh ruangan.
“Aku diam karena aku ingin menunjukkan, seberapa jauh kau akan terus memanipulasi dunia. Dan ternyata, kau tetap sama, Raka. Serigala yang hanya berganti bulu.”
Raka mencoba bangkit bicara, wajahnya memerah.
"Aku.... Aku memang bersalah karena berselingkuh dengan ibumu, tapi... Sekarang aku nyata. Aku menyesal Andin"
“Andin, ini—ini pasti jebakan! Video itu bisa saja direkayasa!” teriaknya panik.
Namun Andin menatapnya dengan tenang, lalu mengeluarkan dokumen lain dari mapnya.
“Itu rekaman asli, dan sudah diverifikasi oleh pihak keamanan tempat konferensi ini,” katanya dingin.
“Kau mau menyangkal? Silakan. Tapi semua bukti sudah ku serahkan ke pihak berwajib.”
Raka membeku.
Wajahnya kehilangan warna.
Seluruh ruangan kini berubah riuh dengan suara wartawan yang berteriak dan kamera yang menyala terus-menerus.
“Andin!” salah satu reporter berseru, “Apakah ini berarti Anda tidak akan pernah memaafkan Raka?”
Andin menatap kamera, lalu tersenyum tipis.
“Maaf itu bisa diberikan… tapi bukan untuk orang yang tidak tahu arti penyesalan.”
Ia menunduk sedikit, memberikan isyarat kepada panitia, lalu berjalan meninggalkan ruangan dengan kepala tegak — diiringi tepuk tangan kecil dari beberapa wartawan yang salut dengan keberaniannya.
Raka terduduk di kursinya.
Dunia yang tadinya ia kuasai dengan topeng dan kebohongan kini hancur di depan mata.
Ratna, yang menonton acara itu di rumah, menjatuhkan gelas dari tangannya dengan wajah panik dan amarah bercampur malu.
"Kau masih mengejarnya?" Geram Ratna marah.
Sementara Andin berjalan keluar gedung, Hans sudah menunggunya di mobil.
Ia membuka pintu dan menatap Andin dengan senyum hangat.
“Sudah selesai?” tanyanya lembut.
Andin menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum kecil.
“Belum. Ini baru permulaan.”
.
.
.
Bersambung.