Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30•
...Langkah Kaki Tanpa Wujud...
Malam itu, di penghujung musim kemarau Pekanbaru yang gerah, aku, Arya, tengah sibuk membenarkan kabel-kabel laptop yang kusut di meja kerjaku. Jam menunjukkan pukul sebelas lewat sedikit, dan aku masih terjebak dalam revisi proposal proyek yang tak kunjung usai. Rumah kontrakan ini, yang sudah dua tahun kudiami, selalu terasa damai, bahkan terlalu damai di kala malam. Hanya suara jangkrik di luar dan deru AC yang setia menemani.
Namun, ketenangan itu mendadak terusik oleh sebuah suara. Tap… tap… tap…
Aku menghentikan jemariku di keyboard. Suara itu jelas, langkah kaki. Bukan langkah kaki pelan, melainkan seperti orang yang tergesa-gesa, mondar-mandir di lantai dua. Anehnya, aku tinggal sendirian di rumah ini, dan lantai dua hanyalah gudang kosong yang jarang sekali kujejaki. Jantungku mulai berdebar lebih cepat.
Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa itu mungkin hanya suara pipa air, atau mungkin tikus besar yang sedang berlarian. Tapi suaranya terlalu teratur, terlalu jelas seperti langkah manusia. Tap… tap… tap… Kali ini, suaranya terdengar lebih dekat, seolah-olah sumbernya berada tepat di atas kamarku.
Kutarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Mungkin itu angin," bisikku pada diri sendiri, meskipun angin tak pernah menghasilkan suara seberat itu. Aku bangkit dari kursi, melangkah pelan menuju tangga. Setiap anak tangga kayu berderit di bawah kakiku, menambah ketegangan. Aroma debu dan apek menyeruak dari lantai atas.
Sesampainya di puncak tangga, kegelapan menyambutku. Aku meraba sakelar lampu, dan cahaya bohlam redup menyinari lorong sempit yang diapit dua pintu gudang. Pintu pertama, tempat perkakas dan barang-barang tak terpakai, tertutup rapat. Pintu kedua, yang mengarah ke bagian gudang yang lebih luas dan kosong, sedikit terbuka.
Dari celah pintu yang terbuka itu, kudengar lagi. Tap… tap… tap… Kali ini, suaranya sangat dekat, seolah seseorang berdiri di balik pintu. Keringat dingin mulai membasahi punggungku. Aku meraih sapu di dekatku, menggenggamnya erat-erat, meski tahu itu takkan banyak membantu jika yang kuhadapi adalah sesuatu yang tak kasat mata.
Dengan berbekal keberanian yang entah datang dari mana, aku mendorong pintu itu perlahan. Krieeeettt…
Gudang itu gelap gulita, hanya disinari sedikit cahaya rembulan yang masuk dari jendela kecil di ujung ruangan. Aku mengarahkan senter ponselku, menyapu setiap sudut. Tidak ada siapa-siapa. Hanya tumpukan kardus kosong dan beberapa perabotan tua yang ditutupi kain putih.
"Halusinasi," gumamku, mencoba terdengar meyakinkan. "Pasti aku terlalu lelah."
Saat aku berbalik hendak kembali ke bawah, suara itu kembali. Tap… tap… tap… Tapi kali ini, suaranya datang dari bawah, dari lantai satu. Jantungku seolah melonjak keluar dari dadaku. Jika bukan di atas, berarti… di bawah. Dan aku baru saja meninggalkannya kosong.
Aku berlari menuruni tangga, tiga anak tangga sekaligus. Setibanya di ruang tamu, lampu utama masih menyala, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Sebuah mug kopi yang tadi kuletakkan di meja, kini tergeletak pecah di lantai, dengan sisa kopi yang mengotori karpet.
Napas ngos-ngosan, aku mengeluarkan ponsel dan menghubungi Bima, teman baikku yang juga seorang seniman visual dan sangat tertarik pada hal-hal misterius. Ia sering bilang kalau rumahku ini punya "aura yang unik".
"Halo, Bim? Kamu lagi di mana?" tanyaku dengan suara serak.
"Di kafe, kenapa, Yal? Suara kamu kayak habis lari maraton," jawab Bima dengan nada santai.
Aku menceritakan semua kejadian itu padanya, mulai dari langkah kaki di lantai atas, sampai mug yang pecah. Bima terdiam sejenak. "Oke, oke, tenang dulu, Yal. Jangan panik. Aku akan ke sana sekarang."
Sekitar lima belas menit kemudian, Bima sudah tiba dengan wajah penasaran. Dia membawa kamera DSLR-nya yang sering ia gunakan untuk fotografi ghost hunting amatiran.
"Serius, Yal? Mug ini pecah sendiri?" Bima berjongkok, mengamati pecahan keramik. "Ini bukan jatuh kena getaran atau apa, ini kayak dibanting."
Aku mengangguk. "Aku bersumpah. Dan suara langkah kakinya itu… nyata, Bim. Aku enggak gila."
Bima mulai berjalan mengelilingi rumah, menyalakan kamera, mengambil foto di setiap sudut. Dia bahkan memeriksa lantai dua, persis seperti yang kulakukan. Ia tak menemukan apa-apa yang mencurigakan, selain debu dan sarang laba-laba.
"Mungkin ada arwah penasaran yang ikut sama kamu dari tempat lain?" spekulasi Bima. "Atau mungkin… ada jejak energi yang tertinggal dari penghuni lama?"
Kami duduk di ruang tamu, mencoba mencari penjelasan. Bima menyarankan agar kami tetap terjaga dan mengamati. Aku setuju. Rasa takutku perlahan bergeser menjadi rasa penasaran yang aneh.
Sekitar pukul tiga dini hari, saat kami berdua mulai mengantuk, suara itu kembali. Tap… tap… tap… Kali ini, lebih jelas dari sebelumnya. Sumbernya… dari dapur.
Kami berdua saling pandang, mata kami membulat. Bima mengacungkan jempol, memberi isyarat padaku untuk bersiap. Kami berjalan perlahan menuju dapur.
Di ambang pintu dapur, kami melihatnya. Pintu kulkas terbuka sedikit, dan ada sebuah pisau dapur yang tergeletak di lantai, tepat di depan kulkas. Pisau itu tadi malam sudah kucuci dan kuletakkan di tempatnya.
"Astaga…" bisik Bima. Ia mengangkat kameranya, mulai merekam.
Tiba-tiba, sebuah suara berat terdengar dari dalam kulkas. Grrrr…
Kami berdua terlonjak mundur. Aku tak pernah mendengar suara seperti itu keluar dari kulkas. Bima memegang erat kameranya, wajahnya pucat.
"Ada apa di dalam kulkas itu, Yal?" tanya Bima berbisik, suaranya bergetar.
Dengan keberanian yang tersisa, aku mendekati kulkas. Bau anyir samar menyeruak. Aku memegang gagang pintu kulkas, tangan gemetar. Perlahan, kubuka lebar.
Di dalamnya, tidak ada apa-apa selain bahan makanan biasa. Tapi di bagian paling bawah, di dekat laci sayuran, ada sebuah kotak kayu kecil yang aneh, tersembunyi di balik tumpukan kantong plastik. Aku yakin tidak pernah melihat kotak ini sebelumnya.
Aku meraih kotak itu. Terbuat dari kayu gelap, dengan ukiran yang rumit, dan di bagian tengahnya terdapat semacam ukiran tangan yang seolah sedang mencengkeram. Bima mendekat, menyorotkan lampu ponselnya.
"Ini… kotak apa ini, Yal?" tanya Bima, matanya memicing.
Saat aku memegang kotak itu, rasa dingin menjalar ke tanganku. Aku mencoba membukanya, tetapi terkunci rapat. Ukiran tangan itu seolah hidup, mencengkeram kotak itu dengan erat.
Tap… tap… tap… Suara langkah kaki itu kembali, kali ini sangat cepat, mengelilingi kami. Aku dan Bima saling membelakangi, mencoba melacak sumber suara yang tak terlihat. Suara itu semakin cepat, semakin memekakkan telinga, seolah ada banyak sekali langkah kaki yang berputar mengelilingi kami.
Tiba-tiba, kotak kayu di tanganku bergetar hebat. Ukiran tangan di atasnya berubah, seolah mulai mencengkeram erat pergelangan tanganku. Aku berteriak kesakitan, mencoba melepaskan kotak itu, tapi tanganku seolah terkunci.
"Bim! Tolong aku!" teriakku.
Bima mencoba membantu, menarik-narik kotak itu dari tanganku, tetapi ia tak bisa. Mata Bima membelalak. "Yal, tangan kamu…!"
Aku melirik tanganku. Ukiran tangan di kotak itu kini tampak menyatu dengan kulit pergelangan tanganku. Rasa dingin itu berubah menjadi panas membakar.
Kemudian, langkah-langkah kaki itu berhenti mendadak. Sunyi.
Aku terengah-engah, masih dengan kotak kayu yang melekat di tanganku. Bima menarik napas dalam-dalam. "Apa… apa ini?"
"Aku… aku tidak tahu," jawabku, air mata mulai menggenang.
Saat kami masih dalam kebingungan, sebuah suara familiar terdengar dari belakang kami.
"Kalian ngapain di dapur jam segini?"
Kami berbalik serentak. Di ambang pintu dapur, berdiri Pakde Herman, pemilik rumah kontrakan ini. Wajahnya tampak lelah, mungkin baru bangun tidur. Aku dan Bima saling pandang, bingung. Bukankah Pakde Herman tinggal di luar kota? Dia hanya datang sebulan sekali untuk mengecek rumah.
"Pakde?" tanyaku lirih. "Sejak kapan Pakde di sini?"
Pakde Herman mengernyit. "Sejak tadi malam, Yal. Aku kan bilang mau datang. Kamu lupa? Aku tidur di kamar tamu." Ia lalu melihat ke arah tangan ku yang masih memegang kotak. "Itu kotak apa, Yal? Jangan-jangan itu kotak mainanku waktu kecil? Dari mana kamu dapatkan?"
Aku menatap kotak di tanganku, lalu beralih menatap Bima. Sebuah kesadaran pahit menghantam ku. Langkah kaki… kotak… semua ini…
Bukanlah gangguan dari arwah.
"Bima," kataku pelan, suaraku nyaris tak terdengar. "Kamu ingat kejadian mug pecah itu? Dan pisau di lantai?"
Bima mengangguk, ekspresinya masih bingung.
"Aku… aku ingat sekarang," gumamku, menatap Pakde Herman yang masih menunggu penjelasan. "Aku tidak pernah menghubungimu malam ini, Bim. Ponselku mati dari tadi sore."
Wajah Bima berubah pucat pasi. Ia melirik ponsel di tangannya yang masih menyala, lalu menatapku dengan ngeri. Ia membuka riwayat panggilan masuknya. Tidak ada namaku di sana.
Dan saat itu juga, aku melihatnya. Di pantulan kaca jendela dapur yang gelap, di belakang tubuh Pakde Herman, samar-samar terlihat sebuah tangan transparan yang sedang memegang ponsel Bima, merekam. Tangan itu bukan tangan Bima. Tangannya lebih besar, dengan jari-jari panjang dan kuku tajam.
Lalu, sebuah suara asing berbisik tepat di telingaku, dingin dan menusuk. "Aku suka memainkanmu, Nak."
Aku tak tahu siapa yang sebenarnya bicara, atau siapa yang telah memanipulasi kami selama ini. Yang jelas, di balik tubuh Pakde Herman yang diam mematung, bayangan sosok itu semakin jelas di kaca jendela, menyeringai. Dan ponsel Bima, yang ia pegang erat, terus merekam. Bukan aku yang memanggil Bima, melainkan… entitas itu. Entitas yang selama ini bersembunyi di balik "langkah kaki tanpa wujud" dan mempermainkan kami, seolah-olah kami adalah boneka dalam sandiwara horornya sendiri. Dan aku, telah membuka kotak tempat ia bersembunyi.
Dan Pakde Herman, yang selama ini kukira pemilik rumah, kini tampak kosong, seperti cangkang yang dikendalikan. Langkah kaki tanpa wujud yang ku ikuti, ternyata adalah umpan untuk menarik ku lebih dalam ke dalam permainannya.