Gyantara Abhiseva Wijaya, kini berusia 25 tahun. Yang artinya, 21 tahun telah berlalu sejak pertama kali ia berkumpul dengan keluarga sang papa. Saat ia berusia 5 tahun, sang ibu melahirkan dua adik kembar laki - laki, yang di beri nama Ganendra Abhinaya Wijaya, dan Gisendra Abhimanyu Wijaya. Selain dua adik kembarnya, Gyan juga mendapatkan sepupu laki-laki dari keluarga Richard. Yang di beri nama Raymond Orlando Wijaya. Gracia Aurora Wijaya menjadi satu-satunya gadis dalam keluarga mereka. Semua orang sangat menyayanginya, tak terkecuali Gyan. Kebersamaan yang mereka jalin sejak usia empat tahun, perlahan menumbuhkan rasa yang tak biasa di hati Gyan, yang ia sadari saat berusia 15 tahun. Gyan mencoba menepis rasa itu. Bagaimana pun juga, mereka masih berstatus sepupu ( keturunan ketiga ) keluarga Wijaya. Ia pun menyibukkan diri, mengalihkan pikiran dengan belajar. Mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin Wijaya Group. Namun, seiring berjalannya waktu. Gyan tidak bisa menghapus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Kita Pasti Akan Bertemu Lagi.
Mami Renatta mengamati interaksi Gyan dan Cia saat mereka berada di rumah Opa Jordan.
Kedua muda mudi itu nampak tak banyak berinteraksi. Bahkan tidak mengobrol seperti biasanya. Mereka terlihat saling menghindar, dan tampak canggung.
Sepertinya mami Renatta telah melewatkan sesuatu? Wanita paruh baya itu harus bertanya pada sang ipar sekaligus sahabatnya, ibu Gista mungkin tau yang terjadi di antara Gyan dan Cia.
"Ta."
"Ada apa, Re?"
Mami Renatta mendekati ibu Gista yang sedang memilah bunga untuk pas di atas meja makan, dan juga diletakkan di beberapa sudut ruangan rumah Opa Jordan.
"Itu, Gyan dan Cia. Apa mereka bertengkar? Aku melihat, mereka seperti sedang menjaga jarak." Wanita paruh baya itu duduk di samping ibu Gista, merangkai bunga yang terpilah, menjadi sebuah pas cantik.
Ibu Gista menghela nafas pelan. "Aku juga mau bertanya hal itu sama kamu, Re."
"Apa terjadi sesuatu?" Ulang mami Renatta.
Ibu Gista kemudian bercerita tentang hari dimana ia bertemu dengan Cia dan Kepala Devisi Keuangan itu.
Istri Dirgantara Wijaya itu menceritakan tentang Gyan yang terlihat marah dan langsung pergi dari kafe, saat tau Cia bersama pria lain.
"Sudah lama aku tidak mendengar Gyan menjemput Cia." Ucap ibu Gista kemudian.
Mami Renatta yang sejak tadi hanya menyimak pun mengangguk setuju.
"Sudah hampir dua Minggu Cia pergi ke kantor sendiri. Dia menggunakan mobil Raymond." Mami Renatta juga mengatakan alasan yang Cia ucapkan agar papi Rich mengijinkan sang putri menyetir sendiri.
"Re. Apa jangan - jangan kecurigaan kita kalau mereka ada sesuatu yang salah -- ibu Gista tidak melanjutkan ucapannya. Ia menatap mami Renatta dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Ta, kita harus mencari tau. Tidak biasanya Gyan dan Cia berjarak seperti ini. Mereka bahkan lebih lengket dari si kembar sebelumnya." Ucap mami Renatta.
Ibu Gista mengangguk setuju. Kedua wanita paruh baya itu pun sepakat untuk memperhatikan gerak gerik putra putri sulung mereka.
Suasana makan malam keluarga Wijaya petang ini, terasa sangat berbeda. Gyan dan Cia yang biasanya duduk berdampingan, kali ini terpisah beberapa kursi.
Gyan duduk di kursi biasa yang ia tempati, sementara Cia memilih berada di antara Ganendra dan Gisendra.
Ibu Gista dan mami Renatta diam - diam mengamati keduanya.
"Tumben kak Gyan dan kak Cia duduk berjauhan? Biasanya nempel seperti perangko." Celetuk Raymond setelah mereka selesai menikmati makan malam.
Sejak tadi, ia sudah ingin berbicara. Namun, peraturan keluarga Wijaya melarang anggotanya mengobrol saat menikmati menu utama.
Ucapan Raymond pun menarik perhatian para anggota keluarga yang lain. Si kembar yang duduk di samping kiri dan kanan Cia pun baru tersadar. Begitu pula dengan papi Rich dan ayah Dirga.
Mereka kompak melihat ke arah Cia dan Gyan secara bergantian.
"Kenapa kalian menatap kami seperti itu? Memangnya aku tidak boleh duduk diantara adik kembarku?" Gadis itu berbalik melempar tanya.
"Tidak ada yang salah, kak. Hanya terlihat aneh saja. Si kembar sulung keluarga Wijaya kini terpisah." Ucap Raymond lagi.
Gyan memilih untuk tidak menanggapi apapun. Ia tidak ingin membuat Cia kembali marah padanya. Seandainya, tanggapan pria itu tak sesuai dengan Cia.
Setelah makan malam selesai, Gyan memilih bermain catur bersama kakek Gideon. Sedangkan Cia duduk bersama si kembar dan Raymond sembari bermain kartu.
Papi Rich dan ayah Dirga sedang berdiskusi tentang perusahaan bersama Opa Jordan.
"Sepertinya mereka memang sedang bertengkar, Re." Ucap ibu Gista pada mami Renatta.
Kedua wanita paruh baya itu tengah menyiapkan buah potong untuk para anggota keluarga.
"Iya sepertinya begitu, Ta. Apa jangan - jangan masalah Cia yang pergi makan siang bersama Kepala Devisi Keuangan itu?"
"Apa mungkin ada masalah lain, Re? Mereka tidak mungkin saling menghindar jika tidak ada persoalan yang lebih besar 'kan?"
"Kamu benar, Ta. Sepertinya kita harus mencari tau."
Obrolan mereka terinterupsi oleh suara langkah kaki yang datang mendekat. Membuat kedua wanita paruh baya itu menoleh ke arah sumber suara.
"Kenapa memotong buah saja lama sekali? Apa kalian sedang bergosip?" Papi Rich datang mendekat.
"Hanya obrolan ibu - ibu kompleks." Jawab mami Renatta asal.
"Kalau begitu, sudahi. Dan cepat bawa buahnya ke belakang sebelum waktu semakin larut." Imbuh pria paruh baya itu.
"Baik, kak." Ibu Gista bergegas menata buah di atas piring. Kemudian membawanya ke halaman belakang rumah Opa Jordan.
Awal pekan kembali tiba.
Sebelum tiba di kantor, Cia menyempatkan untuk mampir ke salah satu kedai kopi yang tak jauh dari gedung Wijaya Group.
Gadis itu sudah bosan menikmati kopi yang tersedia di pantry kantor. Ia ingin memilih rasa yang berbeda, sekaligus membeli beberapa potong kue.
"Maaf, aku lebih dulu."
Cia baru hendak menarik sebuah kursi, namun seorang pria lebih dulu menempatinya.
Gadis itu pun berdecak kesal. "Jelas - jelas sejak tadi tempat ini kosong. Bagaimana bisa, anda mengklaimnya lebih dulu?"
Pria itu menanggapi dengan acuh. Ia mengedikkan bahu pelan, kemudian menatap ke arah Cia.
"Kamu!"
Mata Cia membola sempurna menatap pria itu.
'*Dia pria yang waktu itu di mall bersama wanita menyebalkan itu 'kan*?'
"Apa kamu mengenalku?" Tanya pria itu.
Cia berdecak pelan. Selain menyebalkan seperti wanita yang di ajak tempo hari, pria itu juga terlalu percaya diri.
"Ah, aku ingat. Kamu gadis yang mengambil tas yang di inginkan oleh Princess." Imbuh pria itu.
"Sembarangan. Aku yang lebih dulu melihat tas itu. Wanita mu saja yang datang belakangan, dan berkomentar seolah aku tidak cocok memakai tas itu." Gerutu Cia.
Pria itu kembali mengedikkan bahu.
"Kalian sama saja. Suka sekali merebut apa yang sudah orang lain inginkan." Ucap Cia lagi.
"Jangan bicara sembarangan tentang Princess ku, nona. Kamu bahkan tidak mengenal kami." Tukas pria itu tak suka.
"Kalau tidak mau di nilai seperti itu, makanya jangan suka menginginkan atau merebut sesuatu yang sudah orang lain pegang."
Nama Cia kemudian di panggil oleh barista, sehingga gadis itu memilih untuk meninggalkan pria menyebalkan itu.
"Gadis yang lucu." Ucap pria itu sembari menyesap kopinya.
Namun pandangan pria itu tanpa sengaja melihat sesuatu di atas lantai dekat dengan kakinya.
Sebuah tanda pengenal karyawan.
"Gracia Aurora, Wijaya Group."
Sudut bibir pria itu terangkat. Ia kemudian menyimpan tanda pengenal Cia yang mungkin terjatuh saat gadis itu merogoh isi dalam tasnya.
"Kita pasti akan bertemu lagi, Gracia."
...\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*...
cepet Lapor sama papi mu gadis bodoh...
gyan memang kelewatan. gak ada tanggung jawab nya.