Hidup terkadang membawa kita ke persimpangan yang penuh duka dan kesulitan yang tak terduga. Keluarga yang dulu harmonis dan penuh tawa bisa saja terhempas oleh badai kesialan dan kehancuran. Dalam novel ringan ini kisah ralfa,seorang pemuda yang mendapatkan kesempatan luar biasa untuk memperbaiki masa lalu dan menyelamatkan keluarganya dari jurang kehancuran.
Berenkarnasi ke masa lalu bukanlah perkara mudah. Dengan segudang ingatan dari kehidupan sebelumnya, Arka bertekad mengubah jalannya takdir, menghadapi berbagai tantangan, dan membuka jalan baru demi keluarga yang dicintainya. Kisah ini menyentuh hati, penuh dengan perjuangan, pengorbanan, keberanian, dan harapan yang tak pernah padam.
Mari kita mulai perjalanan yang penuh inspirasi ini – sebuah cerita tentang kesempatan kedua, keajaiban keluarga, dan kekuatan untuk bangkit dari kehancuran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Michon 95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Interogasi
PRESPEKTIF CINDY
Setelah mendengar jeritan itu, aku langsung berlari secepat mungkin dan hanya untuk menemukan seorang cowok pendek kekar yang kakinya berlumuran darah dan tertancap banyak paku. Suasana di auditorium sangat mencekam, dan aroma amis darah memenuhi udara.
Saat ini para polisi sedang mengintrogasi para saksi mata. Saat aku menunggu giliranku, aku menoleh dan melihat Inspektur Benjamin sedang ngobrol dengan Ralfa dan Adelia. Inspektur Benjamin adalah polisi yang membantu menyelesaikan kasus pencemaran nama baik Adelia dan Ralfa beberapa waktu lalu—yang ku maksud membantu adalah menangkap pelaku dan memasukkannya ke penjara, sementara kasus itu sebagian besar diselesaikan oleh Ralfa sendiri.
"Sepertinya kalian berdua terkena masalah lagi?" tanya Inspektur Benjamin.
"Ini juga bukan kemauan saya, Pak," sahut Ralfa. "Lagipula, daripada saya terlibat kejadian kayak gini, mending saya tidur di kamar."
Inspektur Benjamin hanya tersenyum mendengar jawaban itu.
"Saya lihat, dari tadi kalian terus bersama. Oh ya, mana sahabatmu, Adelia?"
"Udah takdir mereka kayaknya, Pak," kataku sambil berjalan menghampiri mereka, dan Inspektur Benjamin hanya mengangkat tangan untuk menyapaku.
"Tapi kasus kali ini benar-benar bukan main..." Inspektur Benjamin menggeleng-geleng. "Menghancurkan lutut seorang pemain sepak bola berbakat adalah perbuatan yang teramat kejam. Ini bukan hanya menghancurkan tubuh seseorang, melainkan juga masa depannya. Sudah pasti anak itu tak bakalan pulih dalam waktu dekat."
Benar, kasus ini benar-benar parah dan akan mencemarkan nama baik sekolah kami yang terkenal elit.
"Kamu sudah diinterogasi? Kalau belum, kamu bisa ceritakan pada saya apa yang kamu lihat tadi?"
Lalu aku pun menceritakan apa yang aku lihat secara singkat.
"Nggak ada yang istimewa. Kami datang bersebelas, mereka datang berlima."
"Mereka—maksudnya para anggota The Judges?"
"Yep," anggukku. "Kami datang duluan. Lalu kami dikasih tugas untuk mencari lencana, jadi kami semua menyebar. Saya pergi mengorek-ngorek ke ruang BK dan ternyata di bawah kursi ada lencana culun bersembunyi di situ. Pas saya balik, yaitu lima menit setelah misi dimulai, nggak ada siapa-siapa selain satu anggota organisasi yang sepertinya anggota rendahan. Tiga menit kemudian, Kak Putri nongol."
"Lima menit kemudian, cewek tinggi itu nongol."
"Cewek tinggi yang maksudmu sepantaran denganmu itu?"
"Yang jelas, dia lebih tinggi daripada Anggun si cewek paduan suara, jadi saya sebut cewek tinggi."
"Semenit kemudian Wahyu dan Danny nongol dan duduk bareng dia. Lalu tiga menit kemudian, Adelia muncul bersama Ralfa."
"Setelah itu semuanya jadi boring. Setengah jam setelah kedatangan Adelia dan Ralfa, baru muncul orang baru, si Zaidan. Empat menit kemudian, Anggun. Delapan menit kemudian, baru deh datang si Yuhal yang nyaris didiskualifikasi."
"Yuhal anak yang terakhir datang, patut dicurigai."
Aku mengangkat bahu. "Saya nggak tau motifnya. Sepertinya mereka cukup akrab dan nggak berkompetisi pada bidang yang sama."
"Kecuali dalam soal memperebutkan tempat di organisasi rahasia."
Aku menatap Inspektur Benjamin dengan penuh rasa ingin tahu. "Emangnya, menurut Pak Inspektur, tempat di organisasi rahasia ini sebegitu berharganya sampai-sampai lutut orang harus dihancurkan?"
Wajah Inspektur Benjamin mengeras. "Saya tidak tahu. Tapi, dari wawancara saya dengan anak-anak itu, saya tahu mereka memang organisasi yang memiliki pengaruh amat besar di sekolah ini. Sudah banyak orang yang melakukan kejahatan demi alasan yang lebih sepele."
"Pak Inspektur tahu identitas anak-anak itu?" tanyaku dengan muka sepolos mungkin untuk menutupi rasa tertarikku yang lumayan besar (atau tepatnya, amat sangat besar).
"Tentu saja. Saya kan sudah menginterogasi anak-anak bertopeng itu."
"Siapa aja sih mereka?"
"Saya tidak akan kasih tahu kamu, Cindy."
"Tapi aneh ya, Pak, sekolah seelit ini dikuasai oleh suatu organisasi."
"Ya begitulah, saya juga tidak mengerti," ucap Inspektur Benjamin sambil menghela napas.
"Kamu sudah melakukan tugasmu dengan baik malam ini." Aku cemberut lagi saat Inspektur Benjamin mengacak-acak rambutku seakan-akan usiaku baru tiga tahun. "Sekarang sudah waktunya kalian pulang. Tidak baik anak kecil kelayapan malam-malam begini. Ada yang akan mengantar kalian pulang?"
"Saya bawa motor, Pak. Saya juga akan mengantar Adelia pulang," sahutku.
"saya nebeng mobil Danny, pak" sahut ralfa
"Kalau begitu, selamat malam, kalian bertiga. Semoga kita bertemu lagi dalam situasi yang lebih baik."
Setelah mengantarkan Adelia pulang ke rumahnya, aku pun pulang ke rumahku. Saat sampai di depan rumah, rumahku sudah gelap gulita. Aku membuka gerbang dengan kunci cadangan yang selalu kubawa. Setelah membuka gerbang, aku memasukkan motorku ke halaman rumah lalu menutup kembali dan mengunci gerbang.
Aku membuka kunci pintu depan, masuk, dan menguncinya kembali. Sama sekali tidak ada niatku untuk diam-diam menyelinap masuk, tetapi tidak ada orangtua yang muncul dan menegurku karena sudah pulang tengah malam. Aku masuk ke dalam kamar, melepas seragam sekolahku. Setelah melepaskannya, aku melipatnya baik-baik. Lalu kukenakan piyamaku dan berbaring di tempat tidur sambil memikirkan kenapa aku bisa begitu sial sampai harus menemui kejadian mengerikan seperti tadi? Ya, ya bukan cuma aku yang sial malam ini, tapi juga para peserta yang lain termasuk sahabat-sahabatku. Karena sudah terlalu capek, aku tidak bisa berpikir lalu aku pun memutuskan untuk tidur.