Kau Hancurkan Hatiku, Jangan Salahkan aku kalau aku menghancurkan Keluargamu lewat ayahmu....
Itulah janji yang diucapkan seorang gadis cantik bernama Joana Alexandra saat dirinya diselingkuhi oleh kekasihnya dan adik tirinya sendiri.
Penasaran ceritanya???? Yuk kepo-in.....
Happy reading....😍😍😍😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cahyaning fitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 : Kalau Nggak Kuat, Lepasin!!!
“Brengsek!” kesal Jo karena ditinggal dikamar hotel begitu saja setelah dirinya di garap oleh sang suami.
Bram hanya meninggalkan catatan kecil di atas meja dengan sarapan pagi yang masih hangat dan segelas susu. Jo mengambil catatan itu dan membacanya.
Maaf, aku sudah berbuat kasar tadi malam.
Aku sudah belikan baju di paper bag, buka dan pakailah.
Aku juga sudah pesenin kamu makanan. Jangan lupa dimakan ya! Aku pergi dulu?
Bram–Suami .
Jo meremas selimut yang melilit di tubuhnya, napasnya tersengal karena amarah. Dengan gerakan kasar, dia melempar makanan itu ke dalam tong sampah yang berada di pojok kamar hotel.
Air mata mulai mengalir deras, ia terduduk lemah di lantai, menutupi wajahnya dengan kedua tangan sambil terisak. Isak tangisnya memecah kesunyian kamar yang sunyi.
Beberapa menit kemudian, Jo bangkit dari posisi jongkok di sudut kamar, lalu berjalan menuju kamar mandi.
Ia berdiri di depan cermin, menatap penampilannya sendiri dengan perasaan tercengang.
Bekas darah kering di sudut bibir membuatnya teringat pada ciuman brutal yang Bram berikan semalam, disertai sedikit gigitan yang menyakitkan.
Bercak-bercak kemerahan yang memenuhi dada dan leher, membuatnya merasa sakit hati, karena semua itu adalah hasil dari paksaan yang dilakukan oleh suaminya sendiri.
Setelah selesai mandi dan membersihkan tubuh, Jo memakai pakaian baru yang sudah disiapkan oleh sang suami. Meskipun tubuhnya sudah bersih, rasa sakit dan luka di hati masih terasa sangat dalam.
Ponselnya berdering terus menerus, entah siapa yang menelpon, namun Jo tidak memiliki keinginan untuk mengangkatnya.
Hatinya masih terlalu sakit untuk menghadapi dunia luar, dan ia hanya ingin menyendiri sejenak untuk memproses semua yang telah terjadi semalam.
Di tempat yang berbeda, Tyo duduk dengan wajah cemas sambil menelepon Jo berulang kali. Semalam, Jo meminta izin untuk pergi ke toilet, tapi setelah itu, ia tidak kembali lagi.
Tyo yang merasa cemas dan takut terjadi sesuatu dengan Jo saat itu, memutuskan untuk mendatangi toilet dan memastikan Jo masih di sana. Namun, ketika ia tiba di toilet, ia tidak menemukan Jo.
Tyo mulai merasa panik dan melakukan pencarian di sekitar area toilet. Ia memeriksa setiap bilik dan sudut, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan gadis itu.
Tyo terus mencoba menelepon Jo, tapi ponselnya tidak diangkat. Ia merasa semakin tidak tenang.
Malam itu, perasaannya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi pada Jo, dan ia harus menemukan jawaban secepat mungkin.
Namun di panggilan ke-30, tiba-tiba panggilannya di jawab. Tyo merasa senang bukan main.
“Halo, Jo? Kamu di mana? Apa yang terjadi tadi malam? Kenapa kamu nggak balik ke tempat acara?” berondong Tyo dengan banyak pertanyaan.
Hening.
“Jo…..?” panggil pria itu. Suaranya terdengar cemas di telepon.
“Jo, please, ngomong sesuatu. Ada apa?” tanya Tyo, keningnya berkerut dalam.
“Kapten…..!” suaranya serak, menahan tangis.
“Aku nggak apa-apa.” Ujarnya dari seberang sana. Kembali hening beberapa detik.
“Aku okey.” Lanjutnya, “Perutku sakit karena pms—terus aku putuskan untuk pulang duluan. Maaf nggak kasih kabar?”
Tyo menghembuskan nafasnya lega setelah mendengar alasan Jo meninggalkan pesta yang belum selesai.
“Kamu okey sekarang?” tanya pria itu dengan lembut.
“Hmmm, I'M okey. Do not worry?”
“Sudah minum obat?” tanya Tyo.
“Iya, sudah. Mungkin aku akan minta cuti dulu untuk beberapa hari, Kapt?” bohong Jo. ia terpaksa.
“Okey. Nggak masalah. Yang penting kamu baik-baik saja?”
“Terimakasih banyak,”
“Apa kamu sudah mengajukan cuti ke kantor?”
“Belum. Mungkin agak siangan dikit?” jawab Jo, terdengar lirih dan lemah.
Justru Tyo semakin khawatir.
“Mau aku bantu ajuin cuti?” tawar pemuda itu.
“Nggak usah, Kapt. Aku nggak mau merepotkan kapten?”
“Merepotkan apa sih? Aku sama sekali nggak ngerasa repot?” dari ujung telepon terdengar suara kekehan kecil dari suara Jo.
“Biar sendiri aja, Kapten. Biar orang kantor percaya?”
“Oh, oke kalau begitu,”
“Ya sudah, Kapten. Aku tutup dulu ya? See you?”
“Jo….?”
Belum selesai bercakap, tapi Jo sudah menutup teleponnya.
“Kenapa aku merasa ada yang tak beres dengannya ya?” gumam Tyo dalam hati.
-
-
“Jo…?"
Lilian terkejut melihat Jo berdiri di depan kamar apartemennya, dengan wajah yang terlihat pucat dan mata yang merah karena menangis.
Tanpa aba-aba, Jo langsung berhambur memeluk tubuh sahabatnya, menandakan bahwa ia sangat membutuhkan dukungan dan kehadiran sahabatnya saat itu. Lilian dapat merasakan tubuh Jo yang gemetar karena tangis yang tak kunjung reda.
"Apa yang terjadi sama elo?" Lilian bertanya dengan lembut, sambil memeluk Jo dengan erat. Ia dapat merasakan bahwa Jo sedang mengalami sesuatu yang sangat berat dan tidak ingin meninggalkannya sendirian.
Setelah beberapa saat, Lilian mengajak Jo masuk ke dalam apartemen dan mendudukkannya di sofa. Ia dapat melihat bahwa Jo masih sangat terguncang dan tidak bisa berbicara dengan jelas.
"Gue bikinin teh ya?" Lilian menawarkan, sambil mencoba menenangkan Jo. Jo menganggukkan kepala, menandakan bahwa ia membutuhkan sesuatu yang hangat dan menenangkan.
Lilian juga bertanya apakah Luna sudah makan, tapi Jo menggelengkan kepalanya.
"Gue abis bikin nasi goreng. Elo mau?" Lilian menawarkan, tapi Jo menolak.
“Nggak. Gue lagi nggak pengen makan," katanya dengan suara yang masih terguncang.
Lilian tidak memaksa, dia berusaha mengerti.
"Oh, oke. Gue bikinin teh anget aja sama roti selai?" Lilian berkata, sambil berlalu meninggalkan Jo sendirian di sofa.
Dalam kebingungannya, Lilian tidak bertanya apa-apa, membiarkan Jo tenang terlebih dulu. Ia tahu bahwa Jo membutuhkan waktu dan ruang untuk memproses perasaannya, dan ia siap untuk mendengarkan dan mendukung sahabatnya kapan pun ia siap untuk berbicara.
“Ini tehnya?” Lilian menyodorkan teh tersebut pada sahabatnya. Jo menerima dengan tangan sedikit gemetar.
“Isi perut elo dengan roti?”
Lagi-lagi Jo menggeleng.
“Gue taruh sini? Siapa tau nanti elo laper?”
“Terima kasih, Li?”
Gadis itu mengangguk cepat.
“Gue … ?” Jo sedang mencari kata-kata yang tepat menyampaikan masalahnya yang berat.
“Pelan-pelan aja? Okey?”
Jo menganggukkan kepala, lalu menghembuskan nafas panjang, seolah-olah beban di pundaknya sangatlah berat. Lilian hanya bisa menatap tanpa bisa menuntut, karena ia tahu sahabatnya sedang rapuh saat ini.
“Gue dulu punya impian?” Jo membuka percakapannya. Lily mendengarnya serius.
"Impian nikah sama orang yang gue cintai. Hidup bahagia ---- dan diberikan momongan anak yang lucu-lucu.” Ujarnya, sambil sesekali menyeka air mata.
"Tapi----nyatanya, Tuhan berkehendak lain....?" tubuh Jo bergetar diselingi isak tangis. Lily ikut sedih. Dia yang paling tahu perjalanan hidup sahabatnya.
Bagaimana dulu Jo kehilangan ibu kandung karena kecelakaan tragis. Lalu ia yang terpuruk karena kehilangan.
Ditambah Jo yang tersisih dari rumahnya sendiri setelah kedatangan ibu dan adik tirinya.
Diabaikan oleh Bokapnya gara-gara fitnahan ibu dan saudara tiri. Lili tahu semuanya.
“Setelah nyokap gue meninggal, gue merasa, idup gue udah nggak ada artinya. Gue udah bukan siapa-siapa lagi, bukan juga bagian dari keluarga Bastian. Semua berubah semenjak perempuan itu datang dengan anaknya. Gue hanyalah putri tersisih dari keluarga gue sendiri.” Jo kembali terisak.
“Mengingat itu semua, gue punya impian pengen punya suami yang sayang sama gue. Meratukan gue.” Lanjutnya lagi.
“Tapi apa…..?” Jo tersenyum miris.
“Tuhan kayaknya benci banget sama gue? Dia….udah bikin gue kehilangan semuanya. Kehilangan mama yang paling gue sayang . Lalu, gue kehilangan Bokap gue. Rumah. Kevin. Semuanya…..? Dan….?” Jo menyusut air matanya. Lily ikut menangis.
“Gue justru di takdirin jadi istri kedua….? Elo tau nggak sih, Li, rasanya kayak gimana?”
Lily memeluk erat tubuh sahabatnya erat-erat.
"Kalau elo nggak kuat, lepasin, Jo? Masih banyak laki-laki di luaran sana yang mau sama lo. Termasuk kapten Tyo?" kata Lily.
"Terlambat, Li?" sahut Jo, "Sekarang status gue hanyalah istri simpanan."
"Terus kenapa kalau emang lo istri simpanan? Elo tinggalin papanya Kevin itu? Terus elo bisa sama kapten Tyo? Elo berhak bahagia bukan disakiti seperti ini?" ucap Lily.
"Gue tau. Tapi gue belum bisa, Li?"
"Kenapa?"
"Karena gue masih butuh uang nya, Li?" kata Jo, "Gue---- butuh duitnya?"
Lily benar-benar tidak paham maksud Jo.
"Gue lagi selidiki dalang di balik kematian nyokap gue, Li. Gue sewa jasa Detective buat nyelidiki ini semua? Maka itu gue butuh duit banyak?"
"Selidiki Kematian nyokap elo? Maksudnya?" mata Lily membulat.
"Kecelakaan nyokap gue itu disengaja, Li? Ada yang ngerencanain kematiannya? Gue baru setengah mendapatkan informasi ini. Makanya gue butuh duit banyak untuk menyewa jasa detective, Li?"
"Ya Tuhan?" kaget LILI.
"Maka dari itu, gue masih butuh duit dari suami gue....?"
Bersambung.....
up tiap hari dong kak makin seru nich/Smile//Smile//Smile/
thor buat jo bangkit n bisa buktiin kl mm nya emang dicelakai ma istri barunya bpknya. dan jo bisa bangkit n sukses walaupun ada anak bram. n buat bram n anaknya menyesal udah ninggalin jo
adil dan seimbang sakitnya
dan anak istrinya
untuk yg udh bunuh maminya jo di penjara tanpa di tolong