NovelToon NovelToon
Si PHYSICAL TOUCH

Si PHYSICAL TOUCH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Beda Usia / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Harem
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: gadisin

Edam Bhalendra mempunyai misi— menaklukkan pacar kecil yang di paksa menjadi pacarnya.

"Saya juga ingin menyentuh, Merzi." Katanya kala nona kecil yang menjadi kekasihnya terus menciumi lehernya.

"Ebha tahu jika Merzi tidak suka di sentuh." - Marjeta Ziti Oldrich si punya love language, yaitu : PHYSICAL TOUCH.

Dan itulah misi Ebha, sapaan semua orang padanya.

Misi menggenggam, mengelus, mencium, dan apapun itu yang berhubungan dengan keinginan menyentuh Merzi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gadisin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lampu Hijau

Tangannya mulai menyentuh dada bidang Ebha disusul kaki Merzi menginjak kaki lelaki itu yang masih dibalut sepatu pantofel mengkilatnya.

Mungkin Ebha tahu apa yang terjadi setelah ini. Matanya yang tak berkedip memandang Ebha serta jemarinya yang bergerak membelai diatas tubuh lelaki itu, Merzi yakin melebihi seratus persen Ebha tahu apa yang diinginkannya.

Ciuman.

Dan bibir mereka bertemu— untuk kesekian kalinya.

Tapi kali ini terasa berbeda. Mereka lebih dekat. Bukan hanya tubuh, tapi hati keduanya mulai menyatu.

Lehernya yang dipeluk Merzi membuat tubuhnya membungkuk. Perbedaan tinggi badan mereka yang jauh cukup membuat leher Ebha pegal dengan posisi menunduk.

Tak bisa menahan diri lebih lama, Ebha memegang leher Merzi dan menarik wajah gadis itu mendekat. Semakin intim tautan bibir keduanya.

Ketika Ebha ingin menarik pinggang Merzi dengan tangannya, gadis itu malah menarik kepalanya menjauh. Benang liur terjalin dari bekas ciuman keduanya.

"Kenapa?" Merzi melirik tangan Ebha di pinggangnya.

"Saya hanya ingin menarik kamu mendekat."

"Ebha kesusahan?"

Mereka tahu maksud dari percakapan mereka ini.

"Tidak. Hanya pegal sedikit saja."

"Itu karena Ebha tingginya tidak manusiawi untuk ukuran Merzi yang mungil ini."

Ebha tertawa pelan. Merzi benar. Bahkan telapak tangannya mampu menampung dua telapak tangan Merzi sekaligus.

"Apa yang harus saya lakukan kalau begitu?"

Merzi mundur beberapa langkah. Melipat tangan didepan dada. Mendongak menatap raksasa tampan dihadapannya.

"Biar Merzi yang bertanya kali ini. Ebha masih ingin … mencium Merzi atau— KYAAA!"

"Itu bukan sebuah pertanyaan, Marjeta. Kamu sedang menguji saya."

Tubuh mungil miliknya melayang di udara. Pelakunya adalah Ebha yang mengangkat badannya.

Belum sempat otaknya mencerna kalimat lelaki itu bokongnya sudah mendarat diatas kasur empuknya.

Lehernya di cekik pelan— sesuatu yang selalu Ebha lakukan ketika mereka sedang berciuman— dan lelaki dihadapannya berbisik.

"Bagaimana jika saya masih menginginkan ciuman ini?"

"Apakah ini Ebha?" Merzi memegang pergelangan tangan Ebha dilehernya. "Merzi baru tahu bahwa Ebha menginginkan Merzi. Sama seperti Merzi yang menginginkan Ebha."

"Jadi….?"

"Jadi … tunggu apa lagi?"

"Saya anggap ini adalah persetujuan, Sayang."

Oksigen di sekeliling mereka terasa lebih panas. Seharusnya kamar gadis ini dingin oleh pendingin ruangan yang selalu dihidupkan Nana ataupun Nella dua jam sebelum Merzi pulang.

Tertegun Merzi dengan panggilan sayang yang Ebha lontarkan. Wajahnya merah antara malu atau kehabisan napas.

Bergantian Ebha menggigit bibir bawah dan atas Merzi, sesekali dikulum dalam mulutnya. Memiringkan kepala guna mempermudah meraih rongga dalam mulut pacar kecilnya.

Ah, semoga dia tidak dianggap pedofil karena mengencani gadis berjarak sebelas tahun.

Nalurinya bertindak dibawah alam sadarnya. Tangan Ebha kembali bergerak ingin menyentuh pinggang Merzi tapi gadis itu kembali menarik diri. Bibirnya mencium udara.

Wajah Merzi masih memerah. Napas putus-putus dan mengernyit pada Ebha.

"Apa lagi, Ebha?"

Yang ditanya juga bingung. Tangannya mengedik ke depan. "Apa?"

Dan Merzi melihat tangan lelaki itu. Dia berdiri membuat Ebha mundur beberapa langkah.

Memutar tubuhnya, Merzi mendorong pundak Ebha ke belakang. "Duduklah."

Lelaki itu tak sempat memprotes karena tindakan Merzi selanjutnya membuat sesak napas.

"Apa yang—"

"Suuttt…."

Bibir kecil Merzi menyeringai seraya meletakkan jemarinya diatas bibir Ebha. Tanpa peduli pada Ebha yang susah payah menahan diri untuk tidak menerjang dirinya, sekarang— tindakannya sungguh menggoda iman.

Roknya tersingkap tinggi. Pahanya yang dibalut stoking tipis tak mampu menutup kulit putih dan mulusnya.

Biarpun sudah duduk diatas paha Ebha, Merzi juga harus mendongak. Tapi setidaknya Ebha tidak kesusahan jadi lelaki itu tidak akan menyentuh tubuhnya. Pikirnya.

"Yang benar saja?! Ya Tuhan…." Desah Ebha ringan lalu mengusap wajahnya.

Memang sekarang posisi ini akan membuatnya mudah meraih— ehem— bibir Merzi, tapi gadis ini terlalu blak-blakan.

Terkikik geli si biang kerok tanpa rasa bersalah.

Jari-jari lentiknya mulai meraba tubuh kekasih kekarnya. Pandangannya fokus pada tangannya yang bekerja. Yakin bahwa Ebha pasti mengalihkan pandangannya sambil memejam erat mengeram tertahan.

CUP!

Kecupan manis itu mendarat diatas dada Ebha yang berbalut sweater hitam. Kedua tangannya mengepal disisi tubuhnya. Merzi kembali menjalar mencapai lehernya membuatnya terdongak tanpa sadar.

CUP!

Lehernya. Lalu bibir lembut itu bergeser pada tonjolan di tenggorokannya. Jakun.

"Gluk!"

Merzi menjauhkan wajah guna melihat jakun Ebha yang bergerak naik-turun dengan perlahan. Telunjuk dan jari tengahnya penasaran akan benda yang hanya dimiliki laki-laki itu.

Bergerak lagi dan Merzi tersenyum. Mencium lagi. Didepannya Ebha mati-matian untuk tidak menerkam majikan yang sekarang menjelma menjadi kekasih.

Dari bawah bibir Merzi kembali bergerak ke atas. Rahang Ebha. Dagu Ebha. Kedua pipi Ebha. Terakhir bibirnya berada tepat didepan bibir Ebha.

"Biar Merzi saja yang menyentuh. Ebha jangan."

Tidak adil, bukan?

Gayanya Merzi adalah physical touch tapi hanya bagian menyentuh tanpa boleh disentuh. Makanya dia senang menempeli diri pada Ebha. Kulit lelaki itu terasa pas untuknya.

"Lakukan apapun yang ingin kamu lakukan, Marjeta."

...****************...

Tepat ketika kakinya menyentuh lantai dasar, pintu utama terbuka menampilkan kedua orang tuanya yang baru saja pulang dari perjalanan bisnis.

"Ayah, ibun?!"

Hatinya rindu.

Memang bukan pertama kalinya kedua orang tuanya pergi, tapi Merzi selalu rindu.

"Jangan lari, Sayang!" Peringati sang ibu langsung. Tapi terlambat karena putrinya segera berlari menuju dirinya dan memeluknya erat.

"Kangen…." Manja Merzi menggoyang-goyangkan tubuhnya didalam pelukan nyonya Waiduri Oldrich.

Nyonya rumah itu terkekeh pelan sambil menepuk-nepuk pelan punggung Merzi.

"Kami juga, Sayang."

"Tapi hanya ibun yang dipeluk. Kenapa saya tidak?" Sela tuan Oldrich Jay segera dan menampilkan wajah cemberut.

Mendengar itu Merzi melepas pelukan dengan ibunya dan beralih pada sang ayah.

"Ah, Ayah…. Saya juga kangen sekali pada ayah." Ucapnya ceria dan memeluk tuan Oldrich Jay.

Para pekerja ikut tersenyum bahagia. Sungguh keluarga Oldrich benar-benar keluarga Cemara. Kebahagiaan selalu dilimpahi pada keluarga ini.

"Apakah ayah dan ibun sudah makan malam? Jika belum, ayo makan. Saya juga belum makan." Ujar Merzi kemudian sambil mengapit kedua lengan orang tuanya dikanan dan kiri tubuhnya.

"Belum. Kami memang sengaja tiba di jam makan malam." Balas tuan Oldrich Jay.

Nyonya Waiduri Oldrich mengangguk mengiyakan. "Kamu pasti kesepian beberapa hari belakangan ini duduk sendiri di meja makan."

"Ibun benar. Wah, apa ini? Kenapa wangi sekali? Apa yang bibi Liney masak?"

Aroma sedap dari ruang makan mampu membuat Merzi menarik kedua orang tuanya agar lebih cepat melangkah. Perutnya langsung keroncongan padahal tadi dia tidak selera makan.

Beberapa hidangan tersaji rapi diatas meja makan yang panjang dan lebar itu.

Ketiga anak beranak itu segera mengambil posisi.

Makan malam berjalan seperti biasa. Dengan tenang dan damai serta cinta didalamnya.

"Bagaimana perjalanan ayah dan ibun? Apakah menyenangkan?"

Nyonya Waiduri Oldrich mengelap bibirnya dengan tisu lalu membalas ucapan putrinya.

"Tidak senang sama sekali karena ibun selalu memikirkan kamu."

Merzi menatap ibunya. "Ibun selalu mengatakan itu setiap kali saya bertanya tentang kepergian kalian."

"Itulah kenyataannya, Sayang."

"Kalau begitu kenapa tidak tinggal dengan saya saja? Ayah kan bisa melakukan pekerjaannya tanpa ibun?"

"kalau itu tanyakan langsung pada ayahmu." Lirik nyonya Waiduri Oldrich pada suaminya.

Tuan Oldrich Jay meneguk anggurnya.

"Bisa jika ayah mendengar detak jantung ibumu. Tidak bisa ketika ayah tidak mencium aromanya didekat ayah." Ucap tuan Oldrich Jay memandang lurus pada cinta matinya dan menggenggam erat tangan belahan jiwanya.

Bahagia memang ketika melihat orang tua kita saling memancarkan cinta yang besar satu sama lain. Tapi Merzi hanya tak habis pikir bahwa cinta sungguh tidak masuk logika.

Dia sadar tertarik dan suka pada Ebha. Tapi ragu untuk mengatakan bahwa dia cinta pada Ebha. Masih terlalu dini untuk memikirkan cinta yang benar-benar cinta diusianya yang masih muda.

"Oh, ayolah…. Haruskah kalian bermesraan didepan putri kecil kalian ini?! Ayah, ibun?"

"Ayah bisa memanggil Ebha untukmu, Nak."

"Uhuk!"

Suara tersedak itu muncul dari dua orang. Merzi dan Ebha— yang baru masuk ke ruang makan.

Merzi memutar kepalanya ke belakang ketika merasakan kehadiran Ebha. Untuk sesaat mereka saling mengunci pandangan hingga akhirnya tuan Oldrich Jay berdehem tegas memutus kontak mata pasangan baru itu.

"Haruskah kalian bermesraan didepan dua orang tua ini? Merzi? Ebha?"

"APA?! Siapa yang bermesraan? Jangan meledek saya, Ayahhh…."

1
_senpai_kim
Gemes banget, deh!
Diana
Aduh, kelar baca cerita ini berasa kaya kelar perang. Keren banget! 👏🏼
ASH
Saya merasa seperti telah menjalani petualangan sendiri.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!