Aila Rusli tumbuh dalam keluarga pesantren yang penuh kasih dan ilmu agama. Diam-diam, ia menyimpan cinta kepada Abian Respati, putra bungsu Abah Hasan, ayah angkatnya sendiri. Namun cinta mereka tak berjalan mudah. Ketika batas dilanggar, Abah Hasan mengambil keputusan besar, mengirim Abian ke Kairo, demi menjaga kehormatan dan masa depan mereka.
Bertahun-tahun kemudian, Abian kembali untuk menunaikan janji suci, menikahi Aila. Tapi di balik rencana pernikahan itu, ada rahasia yang mengintai, mengancam ketenangan cinta yang selama ini dibangun dalam doa dan ketulusan.
Apakah cinta yang tumbuh dalam kesucian mampu bertahan saat rahasia masa lalu terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENANTIAN CINTA HALAL
Setelah Aila dibawa masuk ke kamar dan Bayu memastikan ia ditangani Umi Fatimah, suasana di ruang tamu ndalem masih menegang. Nazwa memeluk anaknya erat, sementara Abian berdiri dengan wajah bingung, ketakutan, namun tak berani berkata sepatah pun.
Kiai Hasan berdiri. Sorot matanya tajam menembus dada. Suaranya lantang dan bergemuruh.
“Abian! Kau buat aib sebesar ini di hari pernikahanmu sendiri?!”
“Kenapa kau sembunyikan pernikahanmu?! Kenapa kau biarkan kami semua mempersiapkan ini, sedang kau tahu kau sudah beristri dan punya anak?!”
Abian tak mampu menjawab. Wajahnya tertunduk. Tangannya gemetar.
“Pernikahan itu bukan mainan! Kau kira bisa seenaknya menyakiti perempuan yang sudah menaruh kepercayaan padamu?! Aila itu titipan, Nak! Titipan yang lebih baik tak usah kau jamah kalau memang hatimu tak siap menjaga!”
Nazwa hanya menangis pelan, membelai rambut Ziyad yang tak tahu apa-apa. Sementara di luar ruangan, beberapa pengurus pondok saling berbisik, mencoba meredam kegemparan yang mulai menyebar dari para tamu.
Setelah memastikan keadaan Aila stabil, Bayu keluar dengan langkah tenang menuju pendopo belakang, di mana Abian duduk menekuk lutut sambil menunduk dalam diam di hadapan Nazea. Udara terasa panas. Bayu berdiri di hadapan adiknya. Pandangannya menusuk.
“Kamu... tahu nggak, Bi,” ujarnya tajam.
“Kamu nggak cuma hancurkan hati Aila. Kamu bikin Umi pingsan karena kaget, bikin Abah kehilangan muka di depan para santri dan tamu, dan lebih dari itu... kamu rusak kepercayaan yang kami beri.”
Abian mendongak pelan, matanya basah.
“Aku salah, Mas...”
“Aku takut... aku bingung harus bagaimana...Aku mencintai Nazwa, tapi dilain sisi aku telah berjanji pada Aila dan Romo...”
Bayu mengepalkan tangan di balik punggungnya. Namun suaranya tetap tenang. Dingin. Tegas.
“Takut itu manusiawi. Tapi bohong itu pilihanmu, Bi.” bentak Bayu pada adiknya.
“Kamu bukan bocah. Kamu suami orang. Kamu ayah dari anak satu tahun. Dan kamu berdiri di hari akad dengan wanita lain yang kamu sembunyikan kenyataan pahitnya dari semua orang.”
Abian terdiam kaku.
“Kalau kamu pikir pernikahan itu hanya tentang suka, kamu keliru. Itu amanah. Kalau kamu belum siap jujur dari awal, jangan buka pintu untuk kedua kalinya.”
Bayu menarik napas. Lalu mendekat, dan menatap lurus ke mata adiknya.
“Aku cuma mau bilang satu hal. Jangan harap kamu bisa menatap wajah Aila lagi. Bahkan, untuk menyebut namanya pun kamu sudah kehilangan hak.”
Bayu berbalik. Langkahnya berat namun penuh harga diri.
Abian menunduk, pundaknya mulai bergetar.
Bayu kembali masuk ke kamar Umi. Umi Fatimah tengah duduk memegang tangan Aila yang masih terbaring dengan mata sembab. Ia menangis dalam diam, memandangi wajah anak gadis yang selama ini ia besarkan penuh kasih.
“Umi...”
“Sabar... ya Mi...ini cobaan keluarga ndalem”
Bayu mendekap pundak ibunya dengan satu tangan. Umi menyandarkan kepalanya di dada Bayu.
“Kenapa bisa sekejam itu, adekmu Le...”
Lirih Fatimah dengan nafas tersengsl.
“Biarkan waktu yang tangani, UMi,” bisik Bayu.
yakin bahwa Allah yang memberi jalan keluarnya...”
Bayu terus menguatkan uminya.
"Tapi, kasihan Abahmu menanggung malu,Kasiahan Aila..."
Tangis Umi Fatimah makin tak terbendung dalam pelukan putra sulungnya.
“Le, kasihan Aila, Le... ditaruh mana harga dirinya kalau pernikahan ini dibatalkan begitu saja... Apa kata orang... bagaimana wajahnya nanti di hadapan para santri...”
Bayu diam. Matanya menerawang. Ia tahu benar, luka batin Aila bukan luka ringan. Lalu dari arah ruang tengah, terdengar suara pelan namun jelas dari seorang wanita yang selama ini bersamanya dalam diam…
Azela berdiri perlahan. Wajahnya masih pucat, namun matanya mantap.
“Romo Yai... Mas Bayu...”
Semua menoleh. Bahkan Umi Fatimah menghentikan tangisnya, menatap Azela dengan kening berkerut.
“Jika memang tak ada jalan keluar terbaik... saya izinkan... suami saya menikahi Aila.”
Romo Hasan langsung berdiri.
“Lho, lho, Mbak Azela... sampean ini ngomong apa? Bayu ini suamimu! Kamu sedang hamil! Bagaimana bisa kamu minta Bayu gantiin Abian jadi mempelai Aila?!.
Apa kata orang nanti? Bayu bisa jadi bahan omongan. Keluarga kita jadi bahan cemooh pondok.”
Namun Azela menunduk. Lalu perlahan berkata,
“Saya tahu, ini berat. Tapi saya juga tahu... Mas Bayu bukan sembarang lelaki. Ia bisa membimbing. Ia bisa memuliakan.”
Semua terdiam.
“Saya tahu Mas Bayu menyayangi Aila. Walaupun dia tidak pernah bicara, saya bisa melihatnya. Tapi saya takkan mengungkit. Saya hanya ingin Aila mendapatkan imam yang bisa membimbingnya ke surga.”
Bayu tak bisa bicara. Pandangannya terarah lurus ke arah Azela.
Perempuan itu... yang selama ini ia perlakukan dingin, menjaga batas, dan tak pernah disentuh hatinya, kini berdiri membelanya dalam keikhlasan yang tak ternilai.
Azela menoleh pelan ke arah Bayu, lalu menunduk dalam hormat.
“Saya percaya, Mas Bayu bisa menjadikan kami istri-istri yang salihah... di bawah bimbingan yang lurus, dan adil.”
Romo Hasan duduk kembali, wajahnya masih terpukul. Tapi di sudut bibirnya, seberkas keharuan tampak. Ia memandang menantunya dengan mata berkaca.
“Mbak Azela... sampean perempuan langka... Semoga Allah muliakan sampean dunia akhirat.”
Umi Fatimah hanya bisa menangis dalam diam, memandangi putra sulung dan menantunya yang kini berdiri di antara keputusan besar.
Bayu masih diam.
Namun hatinya remuk, oleh kebesaran hati seorang wanita yang diam-diam telah menanam cinta tulus, meski ia tahu hatinya tertambat pada yang lain.