Ketika Romeo dan Tina mengunjungi sebuah museum desa terpencil, mereka tidak pernah menyangka bahwa patung kuno sepasang Dewa Dewi Asmara akan membawa mereka ke dunia lain—Asmaraloka, alam para dewa yang penuh kemegahan sekaligus misteri. Di dunia ini, mereka bukan lagi manusia biasa, tapi reinkarnasi dari Dewa Kamanjaya dan Dewi Kamaratih—penguasa cinta dan perasaan.
Terseret dalam misi memulihkan keseimbangan cinta yang terkoyak akibat perang para dewa dan iblis, Romeo dan Tina harus menghadapi perasaan yang selama ini mereka abaikan. Namun ketika cinta masa lalu dan masa kini bertabrakan, apakah mereka akan tetap memilih satu sama lain?
Setelah menyadari kisah cinta mereka yang akan berpisah, Sebagai Kamanjaya dan Kamaratih mereka memilih hidup di dunia fana dan kembali menjadi anak remaja untuk menjalani kisah yang terpisahkan.
Asmaraloka adalah kisah epik tentang cinta yang melintasi alam dan waktu—sebuah petualangan magis yang menggugah hati dan menyentuh jiwa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ryuuka20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Misi kelima
Romeo dan Tina kembali ke istana setelah membantu Lila. Kali ini, wajah mereka tampak lebih dewasa—bukan secara fisik, tapi secara batin. Misi sebelumnya tidak membawa air mata bahagia, tapi keberanian untuk menghadapi kenyataan.
Tina duduk di pelataran taman istana, menatap bunga-bunga Asmara yang berguguran.
"Romeo, gue baru sadar... kadang cinta gak selalu manis ya."
Romeo berdiri bersandar di pilar batu, melihat bayangan dirinya di air mancur. "Dan justru karena itu, mungkin cinta jadi sesuatu yang layak diperjuangkan."
Tiba-tiba, Manik Asmara bersinar kelam. Aura merah tua bercampur hitam menyelimuti ruang istana.
Seorang pelayan mendekati mereka, “Misi berikutnya... adalah cinta yang penuh dendam. Hati-hati, Yang Mulia. Cinta ini bisa membakar segalanya... termasuk kalian.”
Romeo dan Tina saling menatap — kali ini, tanpa banyak kata. Mereka tahu misi ini berbeda.
Dengan senja yang membasahi jendela kaca kafe itu, aroma kopi dan hujan bersatu dalam diam.
Dunia fana terasa begitu sunyi, seolah waktu melambat untuk memberi ruang pada dua jiwa yang saling terluka.
Alana dan Reyhan.
Mereka duduk berhadapan, tak ada senyum, hanya mata yang tajam penuh rasa getir. Di balik cangkir yang belum disentuh, ada sejarah yang tak sempat diselesaikan cinta yang dulu menguatkan, kini jadi beban yang mengunci hati mereka.
Dari sudut ruangan, dua sosok tak kasatmata mengamati. Romeo dan Tina, titisan Kamanjaya dan Kamaratih, berdiri dalam balutan cahaya lembut Asmaraloka yang nyaris pudar karena suasana kelam di depan mereka.
Tina melipat tangannya, matanya tak lepas dari wajah Alana. “Lihat mata itu, Romeo. Dia masih sayang, tapi sakitnya belum sembuh.”
Romeo mengangguk pelan, menatap Reyhan yang menggenggam cangkir tanpa minum. “Dan dia... terus menahan semua rasa bersalah itu, tapi gak tahu gimana harus bicara.”
Lalu pecah juga percakapan lama yang selama ini cuma jadi bisikan dalam hati.
“Jadi kamu masih hidup dengan prinsip ‘semua bisa dimaafkan’? Gak semua luka bisa sembuh, Rey.” Alana membuka pembicaraan mereka dengan rasa pedih.
"Dan kamu masih percaya kalau aku ninggalin kamu demi karier? Gak pernah ada niat gitu, Lana.” jawab Reyhan pada Alana, ia tau kalau dahulu hanya salah paham dan berujung dengan keadaan seperti ini.
Kalimat itu seperti pisau yang membuka luka lama. Tapi di balik kemarahan itu, ada getar cinta yang belum benar-benar mati. Mereka melanjutkan — suara lebih pelan, tapi semakin dalam:
“Kamu bohong saat itu. Kita janji gak saling ninggalin, tapi kamu hilang. Dan kamu gak pernah nyari aku.” kata Alana yang menahan getaran suaranya.
“Aku nyari kamu, tapi kamu udah pergi lebih dulu. Kamu tahu kenapa lukisanku selalu berwarna abu-abu sejak saat itu? Karena kamu!” Suara Reyhan sedikit tinggi, dan matanya berkaca-kaca.
Di momen itu, Tina menyentuh bahu Romeo.
“Kalau kita panah mereka sekarang, bukan cinta yang tumbuh. Tapi dendam bisa makin menyala,” bisiknya.
Romeo menatap Alana dan Reyhan yang kini saling diam, masing-masing menatap jendela.
“Kita gak datang buat nyatain cinta yang dipaksakan. Tapi mungkin... kita bisa bantu mereka melihat kebenaran di balik luka.”
Tina mengeluarkan sebutir serbuk kristal merah muda dari saku jubahnya — Serbuk Kenangan Asmara.
Ia meniupkannya perlahan ke arah pasangan itu. Butiran halus melayang tak terlihat, masuk lewat napas yang berat, lalu menyatu dengan memori yang tertinggal.
Alana melihat bayangan dirinya tertawa bersama Reyhan, di atap rumah reyot tempat mereka dulu menggantung impian.
Reyhan melihat senyuman Alana saat pertama kali ia menunjukkan lukisan potret wanita bergaun merah—lukisan pertamanya yang dijual.
Mereka saling menoleh—mata mulai berkaca.
Romeo mengambil Panah Kamanjaya, bukan untuk membuat mereka jatuh cinta kembali, melainkan untuk menyembuhkan hasrat yang tertahan dan mengurai simpul kesalahpahaman.
Panah itu melesat dalam cahaya keperakan, menembus udara dan menusuk ruang antara mereka. Cahaya lembut menyebar seperti kelopak mawar yang terbuka perlahan.
Alana menggenggam napasnya. “Kita... sama-sama salah, ya?”
Reyhan tersenyum kecil, getir. “Tapi kita bisa saling memaafkan. Mulai dari nol lagi... bukan untuk cinta, tapi untuk tenangin hati.”
Dan begitu mereka saling mengangguk — bukan dalam janji, tapi pengertian — misi kelima pun selesai.
Romeo menatap Tina. “Gue rasa, cinta gak selalu harus berakhir bareng. Kadang cukup saling memulihkan.”
Tina tersenyum. “Dan kali ini, panah lo... akhirnya gak bikin ribut.”
Mereka pun lenyap dari pandangan, meninggalkan dunia fana, menuju istana — dengan satu pelajaran lagi tertanam dalam hati.
"Dendam bukan lawan dari cinta. Tapi
bagian dari cinta... yang terlalu lama dibiarkan sendiri."
Tiba-tiba, Alana dan Reyhan terdiam, sama-sama melihat lukisan di dinding kafe — lukisan lama milik Reyhan, yang ternyata lukisan wajah Alana yang dibuat bertahun-tahun lalu, saat mereka masih bersama.
Alana menyentuh lukisan itu. “Kamu... gak pernah buang ini?”
Reyhan menunduk. “Gue gak pernah buang semua yang tentang lo. Gue cuma marah... dan kecewa. Tapi gak pernah benci.”
Air mata mengalir di pipi Alana. “Gue pikir lo udah bahagia tanpa gue.”
Romeo berbisik, “Sekarang, saatnya.”
"Sekali lagi!" ucap Tina yang menoleh ke arah Romeo yang perlahan menyiapkan panah Asmaranya.
Panah itu menembus udara dan membelah kabut dendam di antara mereka. Seketika, Alana dan Reyhan seolah melihat satu sama lain bukan sebagai musuh, tapi sebagai seseorang yang dulu pernah sangat mereka cintai dalam cahaya keperakan, menembus udara dan menusuk ruang antara mereka. Cahaya lembut menyebar seperti kelopak mawar yang terbuka perlahan.
Misi kelima selesai.
Udara di dalam istana malam itu terasa hening, meski langit di atas mereka memantulkan warna keunguan yang indah. Tina berjalan duluan, melepas jubah bayangan yang dikenakannya selama di dunia fana, lalu merebahkan tubuhnya ke sofa berlapis awan.
"Capek banget. Dendam tuh... berat ya. Gue bisa ngerasain nyerinya Alana."
Romeo duduk di lantai, menyandarkan punggungnya ke kaki sofa, menatap ke langit-langit yang terus berubah warna.
"Dulu gue pikir cinta cuma soal bikin orang naksir. Tapi ternyata... kadang cinta itu tentang ngampunin orang yang udah bikin lo hancur."
Tina menoleh, memperhatikan Romeo dalam diam. Ada sesuatu yang berubah dari aura sahabatnya itu. Bukan cuma karena pancaran energi Kamanjaya yang semakin kuat, tapi... karena Romeo kini terlihat lebih manusiawi dari sebelumnya. Lebih dalam. Lebih empati.
“Dia juga berubah... bukan cuma karena misi, tapi karena dia juga mulai ngerti luka.” gumam Tina.
Keduanya berjalan ke ruangan cermin kristal — tempat para titisan bisa melihat bayangan diri mereka yang terdalam.
Di sana, cermin tidak menampilkan rupa mereka sekarang. Tapi menampilkan wujud sejati para titisan:
Romeo terlihat sebagai Kamanjaya muda, dengan mata keemasan dan busur yang bersinar dari hatinya.
Tina terlihat sebagai Dwi Kamaratih, dengan rambut yang mengalir seperti embun fajar, dan aura merah muda hangat mengelilingi langkahnya.
Cermin mulai menunjukkan bayangan mereka berdua — berdiri berdampingan. Bukan sebagai dewa-dewi terpisah, tapi sebagai dua jiwa yang saling mengisi.
“Ini... kita?” tanya Tina yang melihat dirinya di cermin itu begitu ajaib.
“Mungkin... bukan kita dulu. Tapi kita nanti.”
Dentang Lonceng Keenam
Dari atas menara istana, lonceng keenam berbunyi. Itu tanda bahwa misi berikutnya telah menanti.
Tina dan Romeo saling menatap, saling tahu bahwa mereka belum boleh berhenti.
Tapi sebelum pergi, Romeo berkata pelan:
"Tin... lo tau kan, kita makin lama makin ngerti cinta karena kita ngelewatin semua ini bareng?"
Tina hanya mengangguk. Tak menjawab. Tapi di matanya, mulai tumbuh keyakinan… bahwa mungkin, di antara semua cinta yang mereka bantu sembuhkan, cinta mereka sendiri juga perlahan bertumbuh.