Mu Yao, seorang prajurit pasukan khusus, mengalami kecelakaan pesawat saat menjalankan misi. Secara tak terduga, ia menjelajah ruang dan waktu. Dari seorang yatim piatu tanpa ayah dan ibu, ia berubah menjadi anak yang disayangi oleh kedua orang tuanya. Ia bahkan memiliki seorang adik laki-laki yang sangat menyayanginya dan selalu mengikutinya ke mana pun pergi.
Mu Yao kecil secara tidak sengaja menyelamatkan seorang anak laki-laki yang terluka parah selama perjalanan berburu. Sejak saat itu, kehidupan barunya yang mendebarkan dan penuh kebahagiaan pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seira A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Menghilang Lagi Tanpa Jejak
Mu Yao tidak terlalu peduli dengan hadiah berupa uang perak dan kain, yang paling dia perhatikan adalah kuda itu. Di kehidupan sebelumnya, meski dia punya kuda sendiri, tapi jarang punya kesempatan menungganginya. Kali ini, Mu Yao berjalan ke depan kepala kuda, lalu mengelus bulu di lehernya. Kuda ini bukan hanya gemuk dan sehat, bulunya juga mengilap. Walaupun bukan kuda terkenal, tapi tetap termasuk kuda yang bagus dan langka.
Kemarin, Mu Yao sudah menunggangi kuda ini. Kudanya lari cepat dan stabil, juga waspada—benar-benar layak disebut kuda perang! Yang paling jarang ditemui, sifat kuda ini memang agak liar, tapi sangat jinak padanya. Bahkan suka sekali disentuh olehnya. Lihat saja, baru saja Mu Yao mengulurkan tangan, si kuda langsung menjulurkan lidah, ingin menjilat tangannya! Mu Yao buru-buru menarik tangannya dan menegur, “Jangan jilat tanganku!”
Si kuda langsung menunjukkan wajah sedih, merasa ditolak oleh tuannya.
Akhirnya, dia mundur sedikit, lalu menggesek-gesekkan kepalanya ke tangan Mu Yao.
Mu Yao tidak tahan, langsung terkikik! Kuda ini lucu banget, deh! Kepala sebesar itu malah bikin gaya yang imut gitu, rasanya agak nggak nyambung. Tapi, Mu Yao paham kok. Maksudnya cuma minta sedikit perhatian, kan? Ya udah, dia turuti. Peluk sih nggak mungkin, kudanya kegedean. Tapi dielus-elus masih bisa lah. Dia menarik kepala si kuda ke bawah, lalu mengelus kepala dan mencubit-cubit telinganya sedikit. Kuda itu langsung memejamkan mata, menikmati sentuhan lembut tuannya. Saking senangnya, kakinya sampai menggaruk-garuk tanah. Sebenarnya dia pengen bersin lucu, tapi takut ditolak lagi.
Nyonya Liu yang melihat interaksi anaknya dengan si kuda cuma bisa tersenyum pasrah. “Bagaimanapun, dia tetap anak-anak,” batinnya. Dia pun tidak khawatir kalau si kuda bakal melukai putrinya. Setelah itu, dia masuk ke dalam rumah untuk membereskan kain-kain yang didapat.
Mu Xiao juga suka banget sama kuda ini. Melihat kakaknya sedang mengelus kepala si kuda, dia langsung mendekat. “Kakak, aku juga mau pegang!” katanya sambil menatap kakaknya penuh harap. Mu Yao memang selalu sayang sama adiknya itu, jadi dia langsung setuju.
Tapi ternyata si kuda nggak senang. “Anak kecil begini mau nyentuh aku? Emangnya aku bisa disentuh siapa aja?” pikirnya. Dia langsung menarik napas, siap-siap mengembuskan udara ke wajah Mu Xiao buat nakutin dia.
Tapi sebelum sempat, Mu Yao langsung melotot sambil berkata dingin, “Coba aja kamu semprot adikku!”
Si kuda langsung ciut! Tarik napasnya ditelan lagi, nggak berani tatap mata Mu Yao, bahkan langsung menunduk pasrah, membiarkan Mu Xiao mengelusnya. Si kuda langsung berubah jadi kucing kecil. "Tuan galak banget... hatiku nggak kuat!"
Mu Xiao mengelus hidung si kuda yang agak lembap, lalu mengelus matanya. Si kuda sampai muter-muter bola mata, tapi nggak berani buka mata. Mu Xiao terus mengelus sana-sini, benar-benar nggak mau berhenti.
Sejak hari itu, Mu Xiao punya tugas baru: belajar menunggang kuda. Karena dia masih kecil, setiap mau naik kuda, si kuda harus jongkok dulu. Untungnya, mereka memang berjodoh. Saat Mu Xiao berusia delapan tahun, dia sudah bisa naik kuda sendiri, dan kemampuan menunggangnya juga makin mahir. Akhirnya, si kuda merah itu pun jadi tunggangannya, menemaninya keliling daratan Zhongzhou. Karena tidak ada kandang, Mu Yao membersihkan gudang kayu buat tempat tinggal sementara si kuda.
Ketika Mu Yao dan adiknya masuk rumah, Nyonya Liu sedang sibuk mengatur kain-kain itu. Meski bukan kain sutra mewah, tapi termasuk kain katun kualitas bagus. Nyonya Liu pun dengan semangat berkata, “Yao Yao, dengan kain ini, kita bisa punya baju baru buat Tahun Baru nanti! Ibu akan jahit dua stel baju baru untuk kamu dan Xiao Xiao.”
Anak-anak cepat tumbuh besar, baju yang dipakai setahun dua tahun saja sudah kekecilan. Jadi walaupun ada kain, tetap nggak bisa bikin banyak. Mu Yao dan adiknya senang banget—siapa sih anak kecil yang nggak suka baju baru? Dulu nggak pernah minta karena memang nggak ada.
Setelah selesai mengatur kain, Nyonya Liu malah bingung sendiri waktu lihat tumpukan perak batangan itu. Biasanya di rumah cuma ada uang kertas, perak recehan, dan koin tembaga. Tapi sekarang, tiba-tiba ada batangan perak besar. Apalagi di rumah juga nggak punya lemari yang layak. Dulu pusing karena nggak punya uang, sekarang punya uang malah takut kecurian.
Melihat ekspresi ibunya, Mu Yao jadi geli sendiri. Mu Xiao malah tiba-tiba ngasih ide kocak, sampai mereka berdua ketawa ngakak.
“Ibu, Kakak, gimana kalau kita gali lubang tikus gede, terus masukin semua perak ke situ? Tutupin tanah tebal-tebal, pasti nggak ketahuan deh!” katanya polos.
Nyonya Liu dan Mu Yao langsung ngakak bareng!
Mu Xiao jadi bingung, “Lho, emangnya begitu aja masih bisa ketahuan?”
Mu Yao ketawa sambil jawab, “Xiao Xiao, cara itu memang susah ditemukan orang, tapi kita sendiri juga bakal susah ngambilnya. Masa setiap hari harus gali-timbun lagi?”
Mu Xiao manggut-manggut, akhirnya sadar juga idenya nggak terlalu bagus.
Lalu Nyonya Liu nyeletuk, “Kalau ada ruang rahasia atau lemari kokoh yang susah dibuka orang, enak banget tuh...” Ucapannya malah bikin Mu Yao kepikiran, “Ibu, aku punya sesuatu yang bisa dipakai nyimpan perak.”
Nyonya Liu penasaran, anak perempuannya bisa punya apa sih?
Mu Yao nggak langsung jawab. Dia keluar sebentar buat lihat keadaan di luar, lalu balik lagi, kunci pintu, dan baru masuk ke dalam. Nyonya Liu bingung sendiri, siang-siang kok ngunci pintu?
Tanpa banyak ngomong, Mu Yao ngeluarin sebuah kantong kulit dari pelukannya.
Mu Xiao langsung komentar, “Kak, kok kantongnya jelek banget sih? Mau buat simpen perak?”
Nyonya Liu juga bilang, “Ini kecil dan kelihatan tua banget, dua batangan perak aja udah pasti robek!”
Mu Yao malah bingung sendiri, kenapa mata ibu dan adiknya jelek banget ya? Padahal itu kantong kulitnya masih baru dan bagus, lho! Tapi ya sudahlah, mereka nggak percaya juga. Mungkin memang kantong itu cuma bisa dilihat bagus sama dia sendiri. Di mata orang lain, itu cuma kantong jelek yang kalau dibuang ke jalan juga nggak ada yang ambil.
Mu Yao langsung buka kantongnya dan ngeluarin isinya. Dan begitu lihat isinya, Nyonya Liu dan Mu Xiao langsung melongo!
“Yao Yao, gimana bisa kantong sekecil itu bisa keluarin banyak barang begini?! Kok bisa keranjang bambu juga ada di dalam?” Nyonya Liu sampai ngucek-ngucek mata.
Mu Xiao juga nggak percaya, dia colok-colok barang-barangnya, “Kakak, ini kotak serbaguna kayak di cerita yang dulu kamu ceritain itu, ya?”
Karena beberapa hari ini sibuk urusan perampok, Mu Yao sampai lupa soal perjalanannya ke gunung. Akhirnya dia ceritain semuanya ke ibu dan adiknya.
Nyonya Liu sampai bengong lama. Dia cubit pahanya sendiri—sakit juga, ternyata ini bukan mimpi. Mu Yao baru mau ketawa, tapi ibunya langsung keluar rumah. Nggak lama, dia balik lagi dan langsung nutup semua pintu dalam rumah.
Dengan wajah panik, Nyonya Liu menepuk dadanya. “Aduh, Yao Yao, barang kayak gini nggak boleh kamu tunjuk-tunjukin ke orang! Bahaya banget! Cepat, simpan lagi. Dan jangan pernah bilang ke siapa pun!”
Dia lalu menoleh ke Mu Xiao dan memperingatkan, “Xiao'er, hari ini kamu nggak boleh cerita ke siapa pun. Ini bisa mencelakakan kakakmu, paham?”
Mu Xiao langsung mengangguk, “Iya, Ibu. Ayah juga nggak boleh dikasih tahu?”
Nyonya Liu mikir sebentar, lalu berkata, “Ayahmu juga jangan. Semakin sedikit orang yang tahu, semakin aman kakakmu.”
Bukan berarti dia nggak percaya suaminya, tapi ini menyangkut keselamatan anak perempuannya. Lebih baik hati-hati.
Mu Yao terharu. Reaksi pertama ibunya bukan girang atau pamer, tapi khawatir soal keselamatannya. Tapi dia sendiri nggak terlalu khawatir. Kantong kulit itu melekat erat dengannya, orang lain nggak akan bisa ambil begitu saja. Apalagi kalau dilihat orang lain, bentuknya cuma kayak kantong tua nggak berharga. Tapi demi menenangkan hati ibunya, Mu Yao tetap janji nggak akan sembarangan tunjukin ke orang.
Beberapa hari kemudian, Ayah mereka, Mu Cheng, juga tahu soal itu. Mu Yao yang cerita sendiri. Dia percaya ayahnya nggak akan menyusahkannya. Tapi reaksi ayahnya sama aja kayak ibunya: berpesan berkali-kali supaya jangan pamer atau kasih tahu siapa pun. Mu Yao tentu paham betul pepatah “membawa permata di tengah jalan hanya mengundang bahaya.”
Mu Yao lalu memasukkan semua perak hadiah dan uang yang ada di rumah ke dalam kantong itu. Benih-benih sayuran juga dimasukkan, karena sekarang belum bisa ditanam. Nyonya Liu senang sekali waktu tahu kalau tahun depan mereka bisa panen banyak sayuran. Rumah jadi punya lebih banyak makanan!
Mu Xiao penasaran banget sama kantong itu. Dia bolak-balik lihat, kok kantongnya tetap tipis ya? Dia coba buka mulut kantong, tapi nggak bisa dibuka. Nyonya Liu heran, lalu ambil alih karena mikir Mu Xiao kurang tenaga. Tapi dia sendiri juga udah pakai seluruh tenaga tetap nggak bisa buka!
Mu Yao mendadak sadar, “Jangan-jangan kantong ini cuma bisa dibuka sama aku.”
Mereka coba berulang kali, dan benar saja. Nggak cuma nggak bisa dibuka, tapi tanpa izin dari Mu Yao pun kantong itu nggak akan bisa direbut siapa pun. Nyonya Liu jadi jauh lebih tenang.
Lalu Mu Yao coba masukkan satu-satunya ayam betina tua milik mereka. Tapi meskipun dia coba berkali-kali, ayam itu tetap nggak bisa masuk ke kantong. Bulu ayam berterbangan ke mana-mana. Akhirnya, Mu Yao paham: kantong itu nggak bisa menyimpan makhluk hidup. Tapi tetap saja, ini sudah termasuk harta karun luar biasa.
Setelah puas, Nyonya Liu pun siap-siap masak karena hari masih siang dan menyiapkan pakaian buat putrinya. Tapi, karena cuaca mendung meski sudah siang, dia pun memutuskan buat tetap kerja di dalam rumah, duduk di depan Zhenzhu, yang sekilas mengingatkannya pada Mu Yao.
Tiba-tiba, terdengar suara ceria.
"Mutiara bercahaya di malam hari, Bu! Aku nemu lagi mutiara yang bersinar di malam hari!" seru Mu Yao sambil membuka tas kulitnya dengan semangat.
Nyonya Liu yang sedang menjahit kaget setengah mati. Jarumnya hampir saja menusuk tangan karena teriakan tiba-tiba dari putrinya.
Mu Yao langsung mengobrak-abrik isi tas kulit itu, tapi dia tidak menemukan apa pun. Dia balik tasnya, mengosongkannya sampai habis, tapi tetap saja mutiara malam itu tidak ada. Seketika dia teringat pada teratai salju yang dulu juga tiba-tiba hilang entah ke mana.
Liu, yang sudah mulai paham situasinya, hanya bisa menenangkan putrinya sambil bicara pelan, "Yaoyao, jangan serakah, ya. Kalau barang itu hilang, mungkin memang bukan rezeki kita. Jangan dipaksain. Paham, kan?"
Mu Yao sih nggak sampai sedih banget, tapi tetap saja hatinya agak kecewa. Kenapa semuanya menghilang satu per satu? Apa karena dia masih kecil, jadi bisa seenaknya ditindas? Tapi yang nggak dia tahu... suatu saat nanti, justru dia sendiri yang akan menghilang!