NovelToon NovelToon
Istri Sang Mafia

Istri Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Cinta setelah menikah / Roman-Angst Mafia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.

Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.

Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.

Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 30 TEMA YANG BERBEDA

Malam yang sama juga terjadi di tempat yang berbeda. Zia berdiri dengan tangan terlipat di dada. Matanya menatap rak buku yang tersusun rapi di hadapannya.

Ia tampak bimbang, hingga akhirnya jemarinya menyentuh satu buku tua tentang astronomi.

“Sumpah, buku kayak gini juga ada di sini?” gumamnya kagum.

Biasanya, orang-orang hanya menyimpan novel sebagai koleksi. Tapi di tempat ini, semua terasa... berbeda.

Zia membuka buku itu sambil melangkah keluar. Suara lembar kertas yang terbuka menggema di telinganya dengan aroma apak yang menyengat. Halaman-halaman itu tampak kuning, beberapa di antaranya bergelombang di sudut seperti pernah terkena air. Tapi justru di sanalah pesonanya—sebuah buku tua yang menyimpan cerita tentang langit, bintang, dan dunia yang tak bisa dijangkau tangan.

Ia melewati koridor panjang menuju balkon kamarnya di lantai atas. Malam menggulung pekat di luar sana. Langit seperti kanvas gelap dengan titik-titik putih yang berkedip—diam, namun hidup. Angin menyambutnya dengan lembut, menyibak sedikit helaian rambutnya, membawa serta dingin yang menggelitik.

Zia menarik napas panjang. Buku itu kini terbuka di tangannya, dan ia menyandarkan punggung di sofa yang sengaja ia gusur dari kamar. Cahaya dari dalam ruangan membentuk garis samar di permukaan halaman, cukup untuk membuat tulisan-tulisan kecil itu terbaca.

"Astronomi bukan sekadar tentang bintang," begitu kalimat pertama di paragraf pembuka, "tetapi tentang memahami waktu, ruang, dan tempat manusia dalam semesta."

Zia berhenti sejenak. Ia mengangkat wajahnya ke langit—ke arah tempat-tempat asing yang dibicarakan buku itu. Entah mengapa, malam ini terasa berbeda. Seperti ada yang mengawasinya dari kejauhan, namun tanpa ancaman. Hanya kehadiran—diam dan tak terlihat.

Langkah pelan terdengar setelah pintu terbuka. Ia tidak menoleh, hanya melipat salah satu sudut halaman sebagai penanda, sebelum menutup buku itu pelan.

“Aku tidak tahu kau suka bintang,” suara itu datang dari belakang, dalam dan tenang—suara yang kini mulai akrab di telinganya.

Zia menoleh, melihat siluet Viren yang berdiri di ambang pintu balkon. Kemeja hitamnya terbuka satu kancing di bagian atas, dan rambutnya tampak sedikit acak, seperti seseorang yang terlalu lama termenung.

"Aku tidak tahu juga," jawab Zia jujur. "Mungkin karena bintang... tidak pernah jatuh walau dilihat jutaan orang."

Viren melangkah mendekat, pelan. Lalu ia duduk di samping Zia tanpa banyak kata. Udara di antara mereka diam, tapi tidak hampa. Ada sesuatu di sana—percakapan tak terucap, pertanyaan yang tak perlu dijawab.

"Ada yang kau pikirkan?" tanya Zia, masih menatap langit.

"Selalu."

Zia menoleh pelan. "Malam ini juga?"

"Malam ini lebih dari biasanya."

Viren menyodorkan segelas susu hangat ke hadapan Zia tanpa banyak kata. Sementara ia memutar perlahan gelas kaca berisi cairan ungu yang berkilau samar di bawah cahaya lampu di halaman.

Zia menatapnya sekilas, lalu menunduk pada gelas pria itu. Warna asing yang tak ia kenali memantul di matanya. Ia mengernyit.

"Aku pikir kau tidak minum alkohol," ucapnya, terdengar seperti gumaman polos tapi jelas ditujukan pada pria di depannya.

Viren hanya tersenyum kecil, tipis, seperti enggan menjelaskan lebih jauh. "Hanya sesekali," jawabnya singkat.

Zia memiringkan kepala, masih menatap gelas itu. Ada sesuatu yang asing, mencurigakan, tapi juga menarik. Seolah dalam cairan itu tersembunyi sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa.

Lalu, tanpa berpikir panjang, ia bertanya, "Apa aku boleh coba?"

Tangannya terulur pelan, mengabaikan jarak dan segala batas. Ia tahu pria itu tidak mudah dijangkau, tapi malam ini berbeda. Ada ketenangan aneh di ruangan itu—tak ada Jake, tak ada suara penjaga, tak ada instruksi atau perintah. Hanya mereka berdua, dan rasa ingin tahu yang tumbuh diam-diam.

Viren menatap tangannya. Lama. Ada jeda yang membuat udara di antara mereka mengeras. Tapi ia tidak segera menjawab.

“Ini bukan untuk anak kecil sepertimu,” gumam Viren datar. Nada sarkastiknya tidak sepenuhnya dingin—seolah ada senyum kecil tersembunyi di balik kalimat itu.

Zia mengerling tajam ke arahnya. “Aku bukan anak kecil,” balasnya dengan nada pelan namun jelas.

Viren hanya mengangkat bahu ringan, lalu menaruh gelasnya di atas meja kecil di samping kursi. Ia bersandar, menutup mata, dan menarik napas panjang seperti hendak meluruhkan segala beban dari pikirannya.

Zia masih menatapnya. Ada keinginan di matanya untuk membantah lebih jauh, tapi ia memilih menyeruput susu hangatnya. Tangannya memeluk lutut, duduk membungkuk seperti anak kecil mencari kenyamanan, meskipun hati dan pikirannya sudah jauh dari kepolosan masa kanak-kanak.

Akhirnya, tanpa membuka mata, Viren berkata pelan, “Kalau kau tetap ingin tahu rasanya, cicipi saja. Tapi jangan terlalu banyak.”

Ia meraih gelas di sampingnya dan menyodorkannya ke Zia.

“Ini bukan soal alkoholnya,” lanjutnya. “Ini soal apa yang muncul setelahnya.”

Zia menatap gelas itu ragu-ragu, lalu menerimanya hati-hati. Jemarinya menyentuh jari Viren secara tak sengaja—singkat, namun cukup untuk menghantarkan percikan aneh ke jantungnya.

Ia menyesap sedikit. Rasa hangat itu mengalir ke tenggorokannya—manis, pahit, dan samar seperti sesuatu yang menyimpan cerita lama. Ia tidak langsung berkomentar, hanya menatap pria itu dalam diam.

“Bagaimana?” tanya Viren kemudian, membuka mata sekilas.

Zia mengangkat bahu. “Seperti... kenangan yang tidak selesai,” ucapnya pelan.

Senyum tipis muncul di sudut bibir Viren. Ada pengakuan diam-diam dalam tatapan itu. Ia tidak mengomentari jawaban Zia, tapi tatapan mereka bertaut beberapa detik lebih lama dari biasanya.

Suasana hening kembali mengisi ruangan, tapi kali ini terasa hangat. Nyaman.

Viren memejamkan mata lagi. Wajahnya yang biasanya keras kini tampak lebih lembut, meski garis lelah belum sepenuhnya pudar dari bawah matanya.

Zia menatapnya diam-diam. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang selalu terasa jauh dan sulit dijangkau. Tapi malam ini, ia bisa melihat sedikit lebih dalam—seperti berdiri di ambang pintu yang selama ini tertutup rapat.

“Apa tanganmu masih sakit?” tanyanya pelan.

Viren membuka mata perlahan, lalu menunduk menatap lengan kirinya. “Sudah membaik.”

“Boleh kulihat?”

Ia diam sebentar. Tak menjawab, hanya mengangkat tangannya mendekat ke arah lampu. Zia perlahan meletakkan gelasnya dan berpindah duduk ke tepi kursi tempat Viren bersandar. Ia mulai membuka gulungan kemeja pria itu, tapi segera mendesah kecil.

“Lenganmu terlalu besar,” gumamnya pelan, hampir kesal.

Viren terkekeh lirih, lalu membuka kancing kemejanya satu per satu. Gerakan itu membuat Zia menoleh cepat dan menutup matanya.

“Aku hanya ingin melihat lukanya, bukan—semuanya,” katanya, berusaha terdengar tenang.

“Sudah terlambat,” sahut Viren ringan.

Ketika Zia membuka mata, ia menatap bekas luka di lengan pria itu. Jahitannya telah dilepas, menyisakan guratan memanjang yang hampir sembuh.

“Kapan benangnya dilepas?”

“Aku yang melepasnya sendiri.”

Zia menghela napas dalam. “Bodoh,” bisiknya. “Kau punya banyak orang. Tapi tetap saja memilih melukai dan merawat diri sendiri.”

Nada suaranya bukan sekadar kecewa. Ada kepedulian, kemarahan yang halus. Seperti seseorang yang terlalu lama diam dan akhirnya berbicara.

“Aku tidak terbiasa memperlihatkan lukaku pada orang,” gumam Viren. “Aku tidak tahu bagaimana.”

Zia menatapnya lama. “Maka belajarlah,” ucapnya. “Karena aku di sini. Dan aku ingin tahu jika kau terluka.”

Kata-kata itu jatuh seperti air, jujur, tanpa beban. Tapi justru karena kejujuran itulah, kata-kata itu terasa berat bagi Viren.

Ia menoleh, matanya menatap Zia dalam diam.

“Jika aku adalah alasan orang lain terluka... kau akan tetap di sini?” tanyanya.

Zia membeku. “Siapa yang kau maksud? Kak El? Jake? Manuel?”

“Bukan mereka,” sahut Viren tenang.

“Lalu siapa?” bisiknya, tapi pria itu tidak menjawab. Hanya meraih tangannya perlahan, menarik Zia mendekat hingga ia duduk di pangkuannya.

Jantung Zia berdebar cepat saat Viren mengangkat tangannya, menyentuh dagunya. Tatapan mereka bertaut—dalam, rumit, dan nyaris menyakitkan.

Di bawah sinar lampu temaram dan bintang yang berpendar dari jendela, bibir mereka akhirnya bertemu. Tidak terburu-buru. Tidak meledak-ledak. Hanya dua jiwa yang lelah mencoba saling memahami melalui keheningan dan rasa yang tak sempat diucapkan.

Ciuman mereka malam itu bukan sekadar luapan emosi, tapi janji samar di antara luka-luka lama—bahwa meski tak saling menyembuhkan, mereka akan tetap memilih untuk tinggal.

Ciuman itu berakhir… tapi dunia belum kembali normal.

Zia masih memejamkan mata selama beberapa detik setelah bibir mereka berpisah, seolah otaknya perlu waktu loading. Ketika akhirnya ia membuka mata, hal pertama yang ia lihat adalah wajah Viren—terlalu dekat, terlalu tenang, terlalu… serius.

Lalu, tiba-tiba ia bicara, pelan.

“Aku... tidak tahu harus bilang apa.”

Viren menatapnya sejenak, lalu dengan nada kering yang khas, ia menjawab,

“Bilang terima kasih mungkin cukup.”

Zia langsung meninju pelan bahunya. “Ih, sombong.”

Viren tidak menangkis, hanya meringis sedikit sambil mengangkat satu alis. “Aku hanya bantu memperbaiki suasana.”

Zia tertawa gugup. “Apa ini hal biasa bagimu?”

Viren menunduk sedikit, menatapnya lebih dekat. “Tidak. Tapi aku pikir malam ini memang harus aneh sedikit.”

Zia menggigit bibir bawahnya. “Aneh ya?”

“Ya. Seperti kau yang hilang kendali setelah seteguk minuman.”

Zia melotot. “Viren!”

“Apa?” Ia mengangkat bahu. “Aku hanya menyebut fakta.”

Ia ingin marah. Atau membantah. Tapi pipinya sudah lebih dulu memerah sampai ke telinga. Ia menunduk dan menatap tangan sendiri.

Lalu, dengan suara pelan dan agak malu, ia berbisik. “Lalu bagaimana rasaku sekarang?"

Viren menoleh ke samping, seolah sedang berpikir keras. "Aku tidak merasakan apa-apa."

Zia langsung mengerutkan alis, hampir kecewa.

Namun pria itu memutar tubuhnya sedikit, mencondongkan badan, lalu dengan wajah sok serius dan alis terangkat, ia berbisik, “Mungkin lain kali harus lebih lama.”

Zia mendesah tajam sambil menyikut perutnya. “Dasar!”

Viren tertawa kecil—jarang sekali ia tertawa seperti itu. “Hei, jangan marah. Itu tawaran, bukan hinaan.”

Zia mendongak ke langit, lalu menatap Viren sekilas. “Kau tahu? Kau menyebalkan... tapi malam ini, kau menyebalkan dengan cara yang... menyenangkan.”

Viren menyender pada pagar balkon, menatapnya lekat-lekat. “Kalau begitu, boleh aku jadi lebih menyebalkan besok?”

Zia pura-pura berpikir. “Tergantung. Apakah ‘menyebalkan’ itu akan disertai kopi pagi?”

“Kopi dan ciuman?” godanya.

Zia pura-pura syok. “Kau gila!”

“Sedikit,” jawab Viren santai. “Tapi hanya kalau bersamamu.”

...----------------...

Pagi itu, Calligo kembali bernapas seperti biasa.

Udara segar mengalir dari celah-celah jendela tinggi, menerpa dedaunan pinus yang berjajar rapi di kejauhan. Langit cerah tanpa cela, seolah lupa bahwa malam sebelumnya menyimpan rahasia yang begitu dalam. Para pengawal berseragam gelap berdiri di pos masing-masing, diam dan siaga seperti bayangan yang menyatu dengan dinding.

Di depan pintu utama, Jake sudah menunggu. Jas hijau tua membalut tubuh tegapnya dengan presisi. Rambut hitamnya disisir rapi ke belakang, sepatu mengilap memantulkan sinar mentari pagi. Ia menatap ke arah tangga besar dengan tenang—seperti telah hafal ritme pagi keluarga ini.

Langkah-langkah lembut terdengar.

Viren muncul lebih dulu. Ia menuruni tangga dengan postur tegap dan anggun. Kacamata peraknya bertengger seperti biasa, tapi ada yang berbeda. Rambut hitam legamnya kini ditata lebih rapi, poni yang biasanya menutupi dahinya sengaja disibak. Seolah dunia pagi ini tak pantas melihatnya dalam versi lama yang selalu kelam.

Di belakangnya, Zia menyusul dengan langkah ringan. Tubuh mungilnya nyaris tertutup bayangan Viren. Ia mengenakan blus putih sederhana, dipadukan dengan rok selutut berwarna navy yang bergerak lembut mengikuti angin. Rambutnya dikuncir kuda, membuat wajahnya yang polos dan tenang tampak lebih bersinar dalam cahaya pagi.

Jake mengangguk, tersenyum kecil. “Selamat pagi.”

Viren menghentikan langkah tepat di depannya. “Pagi.”

Zia tiba satu detik kemudian, menjejakkan kaki terakhir di tangga marmer.

“Pagi, Jake,” ucapnya sembari membenarkan tali jam di pergelangan tangan.

Tanpa banyak bicara, mereka pun berangkat. Mobil hitam panjang itu meluncur melewati gerbang Calligo, menembus hutan pinus yang memagari jalan setapak, lalu menyatu dengan jalan utama menuju pusat kota.

Pemberhentian pertama adalah di depan kafe kecil yang sudah menjadi rutinitas pagi Zia. Ia turun dengan senyum kecil, melambai sebentar sebelum menghilang di balik pintu kaca.

Selanjutnya mobil hitam itu berbelok menuju distrik perkantoran.

Lift di lobi Kairotek terbuka dengan bunyi lembut. Viren melangkah masuk, jas gelap membalut tubuh tinggi dan bahunya yang lebar. Gerakannya tenang—bukan karena ia tanpa rasa takut, tapi karena ia terbiasa mengendalikannya. Jake menyusul dari belakang, membawa tablet yang tak pernah lepas dari tangannya, jari-jarinya sudah siap menggeser data demi data.

Di dalam lift, suasana sunyi, hanya suara mesin yang mendengung pelan seperti nafas dalam.

“Jake,” ucap Viren, matanya tetap lurus menatap angka digital di atas pintu.

“Ya, Tuan?”

“Apa pria itu masih mengikuti Zia?”

Jake menoleh cepat, ekspresinya kembali serius. “Manuel melaporkan tadi pagi. Tidak ada sosok mencurigakan di sekitar kafe. Sepertinya dia mundur.”

Viren menyipitkan mata. “Terlalu tiba-tiba. Itu mencurigakan.”

Jake mengangguk. “Saya akan minta tim SPEKTRA memeriksa rekaman. Kita bisa lacak dengan fitur Adaptive Tracking. Jika dia benar-benar ada di sana, walau hanya satu detik, kami akan menemukannya.”

“Lakukan,” tegas Viren. “Gunakan semua akses jika perlu.”

Begitu pintu lift terbuka di lantai tertinggi, angin dari sistem sirkulasi gedung menyambut mereka, dingin dan bersih. Langkah kaki Viren berhenti di depan pintu kaca besar yang mengarah langsung ke ruang rapat utama—tempat ia biasa membuat keputusan-keputusan yang mengguncang banyak orang, meski hanya dengan nada bicara yang tenang.

Jake membuka pintu itu lebih dulu, dan keduanya masuk.

Tanpa banyak basa-basi, Viren berdiri menghadap jendela kaca besar yang menampilkan panorama kota di pagi hari. Kabut belum sepenuhnya menghilang dari bangunan tinggi di kejauhan. Tangannya menyelip ke dalam saku celana. Diam. Lalu, tiba-tiba ia berbicara tanpa menoleh.

“Untuk perayaan tahunan kali ini,” ujarnya tenang, “gunakan tema Disney.”

Jake, yang awalnya sudah bersiap mencatat daftar strategi internal untuk Kairotek, mengangkat kepalanya dengan alis sedikit naik. “Disney, Tuan?”

Viren hanya mengangguk sekali.

“Tahun ini perayaan satu dekade Kairotek,” ucapnya pelan namun tegas. “Aku ingin sesuatu yang berbeda. Tapi bukan berarti harus seperti karakter asli Disney…”

Jake mengangkat wajahnya, menunggu kelanjutannya.

“...hanya saja, mungkin kali ini, lebih banyak warna. Seperti pelangi.”

Kalimat itu menggantung di udara, tak dijawab langsung oleh Jake—karena ia tahu, kalimat seperti itu dari Viren bukan untuk didiskusikan, melainkan dilaksanakan. Dan entah bagaimana, pernyataan nyentrik itu justru terasa sangat tepat. Kontras dari semua tahun sebelumnya yang serba gelap, formal, dan membosankan.

“Segera siapkan undangan dan beri tahu semua kepala divisi,” lanjut Viren. “Pastikan tamu-tamu eksternal juga mendapat informasi. Aku ingin semua karyawan mengenakan kostum. Tidak ada pengecualian.”

Jake mengetik cepat di tabletnya. “Apakah saya boleh bertanya… Anda akan menjadi karakter siapa?”

Viren menoleh pelan. Tatapannya datar seperti biasa, tapi di ujung matanya ada sesuatu yang nyaris seperti senyum.

“Itu rahasia,” jawabnya datar.

Jake terkekeh pelan, lebih kepada dirinya sendiri. “Baiklah. Saya akan pastikan ini jadi perayaan paling tidak terlupakan sepanjang tahun.”

“Dan jangan lupa,” ujar Viren sambil kembali menatap jendela, “pastikan dekorasi tidak murahan. Ini Disney dalam versi Kairotek. Lakukan dengan elegan.”

Jake mencatat sambil tersenyum kecut. Ia tahu, definisi “elegan” Viren berarti: tidak ada balon plastik, tidak ada kostum yang dibeli dari toko pesta anak-anak, dan tidak ada musik Disney versi karaoke. Semua harus dikurasi, setingkat produksi film.

Ia segera meninggalkan ruangan, langkah cepat dan ringan, bersiap memulai hari yang akan sangat panjang. Di tangannya sudah ada daftar panjang yang akan segera ia sebarkan ke seluruh tim.

Sementara itu, Viren masih berdiri sendiri di balik kaca. Matanya menatap langit yang mulai biru sepenuhnya. Dalam diamnya, mungkin ia sedang membayangkan sesuatu—bukan tentang gala, tapi tentang seseorang yang akhir-akhir ini diam-diam mengisi pikirannya lebih dari yang ia sadari.

Seseorang yang mungkin akan ia pakaikan mahkota malam itu. Entah sebagai ratu salju… atau sekadar Zia, yang ia temui di kafe kecil itu, dan perlahan mengubah cara ia memandang dunia.

.

.

.

.

Jangan lupa like nya😘 karena itu bikin author semangat 🤗

1
Denni Siahaan
bagus b ya
Laruan
Kalo udah gini menurut kalian lanjutannya bakalan kayak gimana? coba kasih tau aku pendapat kalian dong
Rima Putri Melaty
aku kaya lagi bca puisi ... pemilihan bahasanya punya nilai kualitas yg tinggi.
Rima Putri Melaty
penasaraann sekali kaka... jngan lupa up setiap hari yaaa...
semangaatt dari tegal. 🤗
Laruan: Aku usahain up tiap hari ya, jadi terus support karya aku yaa🤗 ohiya untuk visualnya, coming soon..
total 1 replies
Rima Putri Melaty
luar biasa.
Rima Putri Melaty
penulisannya keren, bahasanya tinggi, the best pokonya...
Enz99
bagus
Enz99: makasih
Laruan: Aku udah up 2 bab, hadiah buat kamu karena udah support karyaku🤏❤️
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!