Nayanika memang tidak pandai mencari kekasih, tapi bukan berarti dia ingin dijodohkan.
Sialnya, kedua orangtuanya sudah merancang perjodohan untuk dirinya. Terpaksa Naya menikah dengan teman masa kecilnya itu, teman yang paling dia benci.
Setiap hari, ada saja perdebatan diantara mereka. Naya si pencari masalah dan Sagara si yang paling sabar.
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Tiga bulan sudah Naya dan Sagara tinggal bersama. Semua suka duka mereka lalui bersama. Susah senang mereka lewati juga. Dan tiga bulan ini, Naya sudah bisa memasak dengan baik. Dia juga tidak ceroboh hingga menimbulkan luka bakar lagi. Intinya dia sudah benar-benar menjadi istri yang baik untuk Sagara. Ya meskipun masih sering mengomel.
Huek
Sagara menoleh ke arah Naya yang berlari ke kamar mandi. Dia meletakkan laptopnya ke meja dan menyusul Naya yang sudah bersimpuh di depan closet.
"Jangan kesini!"
Tapi Sagara tetap menghampirinya. Dia memijat tengkuk Naya, membantu gadis itu untuk mengeluarkan isi perutnya.
Sagara tidak bicara apapun. Dia hanya dia meskipun ingin bertanya sesuatu. Raut wajahnya datar, tapi tersirat kekhawatiran di sana.
Setelah selesai, Naya beranjak membasuh mukanya di wastafel.
Merasa Naya sudah selesai, Sagara langsung menggendongnya tanpa aba-aba.
"Mas!" pekik Naya terkejut. Untung saja dia langsung merangkul leher suaminya.
"Aku telpon Rahayu."
"Jangan!" Naya memegang tangan Sagara. "Kayanya aku cuma masuk angin," imbuhnya.
Sagara menatap Naya yang berbaring, dia menghela nafas. "Cuma diperiksa, gak akan disuntik. Mau ya?"
"Nggak, Mas! Dibilang gak juga!" kesal Naya. Dia berbalik memunggungi Sagara.
Sagara terdiam menatap punggung istrinya.
"Kamu ... hamil?"
Bugh
Tiba-tiba Naya melempar bantal yang dia peluk ke arah Sagara.
"Kita aja belum ngelakuin itu, hamil anak siapa?! Anak setan?!" sentak Naya.
Akhir-akhir ini Sagara sering membuatnya kesal. Naya yang memang memiliki kesabaran setipis tisu pun merasa geram dengan suaminya tersebut.
"Udahlah, kamu pergi aja sana!" Naya kembali memalingkan wajahnya.
Sagara mengusap tengkuknya. Pertanyaan itu reflek dia lontarkan. Benar kata Naya, mereka belum pernah melakukan itu, mau hamil gimana coba?
"Mau makan sesuatu?" tawar Sagara.
"Gak!"
"Kalau gitu aku hubungi Rahayu—"
"Jangan mulai!" Naya menoleh dan menatap Sagara dengan mata melotot.
"Habisnya kamu gak mau semua. Aku harus apa? Jangan begini, Naya, aku bingung," keluh Sagara.
Mungkin Sagara sudah di tahap lelah dengan sifat Naya.
Raut wajah Naya melunak, meski tidak tertekuk seperti tadi, setidaknya kali ini terlihat lebih ramah.
"Ya udah, aku pengen minum teh aja. Tapi dikasih jahe geprek, ya?" pinta Naya pada akhirnya.
"Teh dikasih jahe geprek?" tanya Sagara kebingungan. Okelah kalau Naya minta wedang jahe, tapi teh dikasih jahe? Baru kali ini dia tau.
Naya mengangguk. Dia beranjak duduk dan menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang.
"Apa gak beracun?" Sagara bertanya lagi.
"Beracun dari mana?! Terus kalau teh campur jahe itu beracun, kalau kopi sama jahe gimana tuh?" sinis Naya. "Kalau gak mau ya udah!"
"Iya aku bikinkan," putus Sagara. Dia segera keluar dan meminta pembantu untuk membuatkan apa yang Naya minta.
Esoknya, Naya kembali mual-mual. Dia tidak tau apa yang terjadi pada perutnya. Kalau hamil kan tidak mungkin.
Kerena Naya tetap seperti itu, akhirnya Sagara menghubungi Rahayu untuk datang memeriksa Naya. Meskipun berulang kali Naya menolak, tetap saja Sagara tak tega membiarkan istrinya kesakitan.
Sambil menunggu Rahayu datang, Sagara mengoleskan minyak angin ke perut dan leher Naya.
"Aku gak mau diinfus lagi," ujar Naya. Dia memejamkan matanya menikmati tangan Sagara yang mengurut lehernya dengan lembut.
"Cuma dikasih obat," ujar Sagara.
"Mau tiduran aja?" tawarnya pada sang istri yang sedang duduk bersandar pada ranjang.
"Aku pusing, tapi badanku gak panas, kan? Aneh. Kenapa ya?" Bukannya menjawab tawaran Sagara, Naya malah balik bertanya.
"Kita tunggu Rahayu, biar dia yang periksa."
Naya menghela nafas, dia pun merebahkan tubuhnya dan memeluk guling.
"Miring, Sayang, biar aku kasih minyak angin ke punggung kamu."
Naya menurut. Dia membiarkan Sagara melakukan apapun. Bahkan pria itu rela tidak masuk kerja demi merawatnya.
Beberapa menit kemudian, Rahayu datang dengan membawa tas hitam.
"Gimana, Mas?" tanya Rahayu seraya duduk di pinggiran ranjang tepat di samping Naya.
"Dia mual dari tadi malam, kamu periksa aja," ujar Sagara, dia sedikit menyingkir dari sana.
Rahayu pun segera memeriksa Naya. Sedangkan Naya hanya diam saja, dia berharap tidak diinfus lagi seperti kemarin.
Setelah memeriksa, Rahayu menghela nafas. Dia menatap Naya, lalu berkata, "Asam lambung kamu naik, Nay."
"Aku kasih obatnya, nanti diminum rutin ya." Rahayu mengobrak-abrik tasnya. "Mas Saga gak jaga kamu ya sampai kamu sakit gini?"
"Sok tau kamu," celetuk Sagara.
"Dia jaga aku kok, cuma akunya yang kadang suka ngeyel," jelas Naya tak ingin menimbulkan kesalahpahaman.
"Tuh dengar!"
Rahayu berdecak mendengar ucapan sang kakak. Tanpa menghiraukan Sagara, Rahayu memberikan tiga macam obat pada Naya.
"Banyak banget..." Naya meringis melihat obat tersebut.
"Kalau mau sembuh, harus minum obat. Selain itu, jaga makan kamu. Jangan sering makan gorengan—"
Rahayu menjelaskan apa-apa saja yang tidak boleh dimakan Naya. Sepasang suami istri itu menyimak dengan baik apa yang dikatakan Rahayu.
"Kamu juga, Mas. Perhatiin Naya biar gak sakit, jangan sibuk kerja terus." Kini Rahayu menatap kakaknya. "Tugas kamu jaga Naya, ingat apa yang aku jelasin tadi." Rahayu beranjak berdiri, begitupun Naya yang beranjak duduk.
"Makasih, Mba Rahayu, maaf ngerepotin," ujar Naya.
Rahayu tersenyum. "Sama-sama. Jaga diri kamu, ya. Kalau Mas Saga macam-macam, langsung kabarin aku. Oke?"
Naya mengangguk. Rahayu pun segera pamit ke luar. Sedangkan Sagara mengambilkan air untuk Naya.
"Karena kamu udah makan, sekarang minum obat," ujar pria itu.
Naya menatap ngeri obat yang sudah Sagara bukakan. "Gede banget, Mas."
"H-hah?" Sagara mendadak blank.
"Itu, obatnya besar-besar. Aku gak yakin bisa nelen semuanya," jelas Naya.
"Oh..." Sagara menelan kasar ludahnya. Ucapan Naya terasa ambigu tadi. Ah, apa pikirannya yang kotor?
"Mau dihancurin aja?" tawar Sagara.
Tanpa menunggu lama, Naya mengangguk. Dan Sagara pun menghancurkan obat-obat tersebut, lalu dilarutkan dengan air yang ada di sendok makan.
Hari itu, Sagara benar-benar merawat Naya sampai sembuh. Bahkan dia sengaja mengosongkan jadwalnya hanya untuk merawat sang istri.
****
Malam harinya keadaan Naya sudah membaik. Tapi, dia tetap tidak diperbolehkan memakan makanan yang tidak sehat. Jadi, Sagara menyuruh pelayan untuk memasakkan makanan sehat mulai hari ini dan seterusnya.
Sekarang, Naya sedang bermanja dengan suaminya. Sambil rebahan, dia memeluk Sagara yang sedang sibuk memainkan ponsel seraya duduk bersandar pada kepala ranjang.
"Mas."
"Hm?" Sagara menoleh sekilas, lalu dia kembali mengecek dokumen yang dikirim oleh Alzio.
"Kamu gak mau punya anak?" tanya Naya.
Sagara langsung menatap istrinya yang juga menatapnya dengan senyum polos.
"Kalau kamu udah siap, ya aku mau-mau aja," jawab Sagara. Dia mengelus kepala Naya dengan lembut.
"Terus, kenapa gak itu ituan?"
Sagara mengerjap. "Itu ituan ... apa maksudnya?"
"Buat anak, masa gak paham sih?" Naya mencebik.
"Kan aku bilang, kalau kamu sudah siap, Nayanika," balas Sagara.
"Ya udah sekarang aja, aku udah siap!" seru Naya. Dia beranjak duduk dan hendak melepas bajunya, tapi Sagara buru-buru menahan.
"No, jangan sekarang, kamu masih sakit," ujar Sagara.
Naya cemberut. "Udah enggak kok!" katanya.
Sagara tetap menggeleng. Berada di dekat Naya yang liar seperti ini membuat jantungnya tidak aman, sebab itu ia memilih menjauh.
"Aku mau periksa dokumen dari Alzio dulu," ujar Sagara lalu dia segera keluar dari kamar.
Naya memutar bola matanya malas. "Lihat, dia sendiri yang gak mau. Mama malah ngomelin aku mulu!"
Tapi, kasihan juga Mas Saga. Masa aku goda duluan sih? Kata mama gak apa-apa kalau aku duluan. Batin Naya. Dia menatap langit-langit kamar.
"Aku goda dia pake apa, ya?" gumamnya.
Naya tidak punya baju kurang bahan alias lingerie. Dia juga tidak berbakat menggoda pria.
"Eh?" Dia menegakkan tubuhnya. "Waktu itu aku beli baju sama Loli di mall. Belum aku pakai."
Buru-buru Naya berlari ke ruang ganti dan membuka lemarinya. Baju yang dia beli masih tergantung di sana dengan apik, wanginya pun masih baru.
Naya tersenyum penuh arti.
Sedangkan Sagara sangat fokus membaca dokumen yang dikirimkan oleh Alzio tadi.
Tiba-tiba ponselnya berdering tanda panggilan masuk. Melihat nama Alzio yang tertera di sana, Sagara langsung menjawabnya.
"Pak, beberapa rekan membatalkan kerjasamanya dengan perusahaan!"
"Saya tau."
"Terus gimana, Pak? Keuntungan yang harusnya kita dapat bisa jadi kerugian."
"Biarkan saja. Perusahan tidak akan rugi hanya karena kehilangan mereka." Sagara mengetukkan jari telunjuknya ke meja kerjanya.
"Tapi, Pak—"
"Sudah dulu, saya sibuk. Pantau saja pergerakan Felix dan antek-anteknya."
Setelah itu Sagara memutuskan sambungannya. Ketika hendak melanjutkan pekerjaannya, bunyi pintu terbuka membuatnya urung.
Sagara terdiam melihat Naya masuk ke ruangannya.
Penampilan gadis itu membuat Sagara merasa tenggorokannya kering.
Naya datang memakai baju pink yang dia beli beberapa waktu lalu bersama Loli. Baju tersebut sangat mencetak lekuk tubuhnya dan panjangnya hanya sepaha.
Bukan hanya itu yang membuat Sagara kepanasan, ekspresi dan gaya Naya yang centil semakin membuatnya was-was. Ekspresi nakal, lalu tangannya memainkan rambut panjangnya yang lebat, dan cara jalannya meliukkan tubuhnya dengan apik. Tak berbohong, Sagara sangat terpesona dengan istrinya. Bahkan sampai membuat kepalanya pening.
Sesampainya di depan Sagara, Naya semakin menjadi.
"Kenapa diam? Mangsa kamu datang, nih," ujar Naya, lalu dia mengedipkan sebelah matanya menggoda sang suami.
Sagara menelan ludahnya dengan kasar. Sungguh, penampilan Naya sangatlah terbuka dan menggodda.
"Naya, jangan begini—"
"Kenapa? Aku udah siap kamu terkam. Ayo, tunggu apa lagi?" sela Naya. Dia naik ke pangkuan Sagara.
"Kamu yakin?" Pria itu mengelus lekukan pinggang Naya.
Naya mengangguk cepat. Karena Sagara terlalu lama, dia pun bergerak mencium bibir tipis suaminya. Dan benar saja, setelah itu Sagara langsung menekan tengkuknya dan memperdalam ciuman mereka.
Malam itu Naya melepaskan apa yang telah dia jaga selama ini pada Sagara.
bersambung...
Like nya qaq