Ketika sedang dihadapkan pada situasi yang sangat sulit, Farida Agustin harus rela terikat pernikahan kontrak dengan seorang pria beristri bernama Rama Arsalan.
Bagaimanakah kehidupan keduanya kelak? Akankah menumbuhkan buih-buih cinta di antara keduanya atau justru berakhir sesuai kontrak yang ada?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Hampir Saja
Bunyi dering ponsel, membuat Farida terbangun dari tidur lelapnya. Dia segera meraih ponsel yang ada di atas nakas dan melihat siapa yang menghubunginya.
"Rian." Seketika Farida langsung beranjak duduk kemudian menjawab panggilan telepon itu.
"Halo, Rian."
"Halo, Mbak. Apa kabar?"
"Alhamdulillah, mbak sehat. Kamu sendiri apa kabar? Kenapa nggak pernah hubungi mbak?" cecar Farida yang memang merindukan sang adik.
"Maaf, ya, Mbak. Aku sibuk banget, jadi jarang pegang ponsel. Ini tadi kebetulan lagi libur, makanya langsung hubungi Mbak."
"Jangan terlalu diforsir tenaganya, kamu 'kan baru sembuh."
"Enggak, kok, Mbak. Aku kerja juga sesuai waktunya. Oh, ya, Mbak, kemarin aku sempat lihat anak majikan Mbak yang pernah jenguk aku waktu itu."
"Kamu lihat di mana?" tanya Farida yang mulai gelisah.
"Di restoran semalam, sama perempuan mirip kayak Mbak Rida. Apa itu istrinya?"
"I-Iya, itu istrinya."
"Tadinya aku pikir itu Mbak Rida, soalnya mirip banget walaupun sebagian wajahnya tertutup masker. Tapi pas aku lihat lagi, ternyata perempuan itu sedang hamil."
"Kamu, kok, bisa tahu. Apa kamu udah balik ke rumah?"
"Hehe, iya. Kangen rumah soalnya, tapi nanti sore aku balik kerja lagi dan mungkin beberapa bulan ke depan aku nggak pulang dulu."
"Oh, gitu. Kamu hati-hati di sana, jaga diri baik-baik dan ingat kesehatanmu juga."
"Iya, Mbak. Mbak Rida juga jaga diri baik-baik, ya. Cepat pulang dari luar negeri, biar aku bisa obati kangen ke Mbak."
"Iya, doakan saja urusannya cepat selesai biar kita bisa ketemu."
"Pasti, Mbak. Ya sudah, aku matikan dulu teleponnya."
"Iya."
Farida meletakkan ponselnya lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Dia takut sang adik curiga dengan kondisinya saat ini dan semua kebohongan yang dia buat demi menutupi sebuah rahasia.
"Ada apa?" tanya Rama yang sejak tadi mendengar Farida mengobrol.
"Rian, Tuan. Katanya semalam lihat kita keluar dari restoran."
"Serius?" Rama langsung terduduk seraya menatap Farida dengan serius.
"Iya, tapi untungnya dia nggak curiga kalau itu saya. Karena ini," ucap Farida sembari menunjuk ke perutnya.
Rama menghela napas panjang karena sedikit lega adik iparnya itu tidak mencurigai mereka.
"Ya udahlah, nggak usah dipikirin lagi. Toh, adikmu juga nggak ngenalin kamu kemarin."
"Iya, Tuan."
Farida hendak beranjak dari ranjang, tetapi ditahan oleh Rama."
"Kenapa, Tuan?"
"Bisa nggak, mulai sekarang jangan panggil saya dengan sebutan Tuan?"
"Terus saya harus panggil gimana?"
"Terserah kamu, yang penting jangan panggil saya Tuan lagi."
"Akan saya pikirkan nanti," ujar Farida.
Farida pun bergegas ke kamar mandi, meninggalkan Rama yang masih berbaring di ranjang sembari menatapnya.
......................
Selesai sarapan, Rama berangkat ke kantor, sedangkan Farida menghabiskan waktu dengan merawat tanaman.
"Farida." Mami Sinta berjalan tergesa-gesa menghampiri Farida yang membersihkan daun-daun yang mengering dari tangkainya.
"Ada apa, Mi?" tanya Farida lalu segera mencuci tangannya.
"Nanti sore ikut mami, ya?"
"Ikut ke mana?"
"Udah, pokoknya kamu ikut aja. Jangan lupa dandan yang cantik, mami juga udah siapin gaun khusus buat kamu nanti," ucap Mami Sinta penuh antusias.
"Ada acara penting, ya, sampai harus dandan?"
"Iya, penting banget malah."
Farida duduk di kursi lalu kembali menatap Mami Sinta yang juga ikut duduk di sampingnya.
"Tapi saya nggak bisa dandan, Mi. Saya di rumah aja, daripada nanti bikin malu Mami."
"Eits, nggak ada alasan penolakan. Kamu wajib ikut, titik nggak pake koma."
Farida pun hanya bisa pasrah, terlebih setelah mendapat tatapan tajam dari mami.
"Nanti mami yang bakal dandanin kamu, kamu tinggal terima beres."
"Terserah Mami sajalah."
Mami Sinta mengacungkan dua jempolnya saat Farida mau menuruti permintaannya.
Jam 4 sore, Mami Sinta sudah sibuk merias Farida yang tampak pasrah. Entah ke mana dan acara apa, hingga dia harus dirias dan memakai gaun.
Setelah kurang lebih 30 menit, Farida sudah selesai dirias. Dia begitu takjub dan tak percaya jika pantulan wajah di cermin itu adalah dirinya.
"Sangat cantik," puji Mami Sinta.
Farida langsung tersenyum dan tersipu malu mendengar pujian dari mertuanya.
"Kalau Rama tahu, dia pasti bakal mengatakan hal yang sama seperti mami."
"Apa Tuan Rama juga ikut, Mi?"
"Harusnya, sih, ikut. Tapi nggak tahu juga, dia bisa ikut apa enggak."
Mami Sinta berjalan menuju sofa, mengambil sesuatu dari dalam paperbag.
"Sekarang ganti pakaianmu." Mami Sinta memberikan sebuah gaun berwarna burgundy yang sangat cocok dengan warna kulit Farida.
Farida bergegas ke kamar mandi dan mengganti pakaiannya dengan gaun tadi. Selang lima menit kemudian, Farida keluar dengan mengenakan gaun yang ukurannya pas dengan tubuhnya. Gaun berlengan panjang yang terlihat mewah saat dikenakannya.
"Ah, pilihan mami emang nggak salah. Kamu jadi terlihat semakin cantik dan anggun memaki gaun itu."
Mami Sinta menghampiri Farida lalu menggandengnya agar duduk di sofa.
"Perut kamu ngerasa sesak nggak?"
"Enggak, Mi. Ini juga sedikit longgar di bagian pinggang."
"Syukurlah, takutnya nanti kamu nggak nyaman karena perut kamu sesak."
"Pakai sandal ini saja, terus kita langsung berangkat." Mami Sinta memberikan sandal biasa, tetapi masih terlihat cocok dengan gaun dan riasannya.
Setelah itu, mereka segera berangkat ke suatu tempat yang telah dipersiapkan. Tempat yang akan menjadi satu kenangan indah bagi Farida.
Sesampainya di sebuah hotel, Farida dan Mami Sinta berjalan memasuki hotel menuju aula yang menjadi tempat berlangsungnya acara.
"Mi, kok, tempatnya sepi begini? Kita nggak salah alamat 'kan?" tanya Farida dengan suara pelan.
"Bener di sini acaranya, mungkin tamunya belum ada yang datang. Ayo, kita masuk duluan."
Mami Sinta berjalan sambil terus menggandeng Farida. Dan setibanya di dalam aula, yang terlihat hanya hiasan yang memenuhi ruangan serta sebuah meja yang berada di tengah-tengah aula. Di meja itu ada kue yang berukuran cukup besar yang sudah dihias sangat indah.
"Fa, mami ke toilet sebentar, ya. Kamu tunggu di sini nggak apa-apa 'kan?"
"Lama nggak? Saya takut di sini sendirian, apalagi kalau nanti ada tamu yang datang."
"Mami cuma sebentar, kok. Lima menit langsung balik ke sini."
"Ya sudah."
Mami Sinta pun bergegas keluar dari aula dan pergi ke toilet. Sementara Farida memilih duduk di sebuah kursi yang ada di sana sembari menunggu Mami Sinta.
Lima menit berlalu, tetapi belum ada tanda-tanda Mami Sinta kembali. Farida duduk dengan gelisah, takut mertuanya itu tidak kembali lagi.
"Mami lama banget, ya. Apa aku susul saja ke toilet, takutnya terjadi sesuatu sama mami?" gumam Farida.
Baru saja hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba saja lampu di ruangan tersebut padam.
"Ya Allah, kenapa ini tiba-tiba lampu padam? Aku lupa nggak bawa ponsel tadi karena buru-buru."
Keringat dingin sudah membasahi pelipis Farida karena tak ada seorang pun di sana.
"Mami," panggil Farida.
Farida berjongkok di dekat kursi sembari menutupi wajahnya yang sudah berderai air mata.
Tak berselang lama, lampu kembali menyala dan Farida seketika mendongakkan kepalanya. Betapa terkejutnya dia saat melihat Mami Sinta bersama seseorang yang wajahnya tertutup buket bunga besar.
'Siapa itu?'