Para tamu undangan telah memenuhi ruangan, dan Hari H berada di depan mata. Hanya tinggal menanti sepasang calon mempelai mengucap janji suci, pernikahan pun sah di mata publik dan agama.
Namun, apa jadinya jika kedua calon mempelai tak kunjung memasuki acara? Pesan singkat yang dikirim hampir bersamaan dari kedua mempelai dengan maksud; berpisah tepat di hari pernikahan mereka, membuat dua keluarga dilanda panik dan berujung histeris.
Demi menutupi kekacauan, dua keluarga itu memojokkan masing-masing anak bungsu mereka yang kebetulan usianya hampir seumuran.
Sharon dan Alaska. Dua orang yang tak pernah terduga itu mau tidak mau harus menuruti perintah keluarga.
Fine! Hanya menikah!
Tahukah jika Alaska sudah punya pacar? Setelah hari ini menikah bersama Sharon, besok Alaska akan langsung membubarkan pernikahan gila ini!
Namun, keinginan itu seolah pupus saat mereka berdua malah menghabiskan malam pertama mereka, selayaknya pasutri sungguhan.
Sial.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Berita Baik
Entah untuk yang keberapa kali, Vilia terus mendengus sebal. Sudah lewat beberapa hari dari pernikahaannya dengan Gibran. Namun, tidak ada tanda-tanda perubahan dari sikap Gibran yang menjadi semakin lebih baik.
Minimal perhatian akan Vilia yang tengah hamil muda. Jujur saja, hamil itu tidak mudah. Kadang moodnya naik, kadang juga turun. Rasa mual yang berlebih juga sering Vilia rasakan.
Sayangnya, Gibran benar-benar tidak pernah memiliki waktu. Pria itu seolah sengaja menyibukkan diri dengan profesi sebagai seorang dokter di rumah sakit.
Menyebalkan!
Dan malam ini, ngidam Vilia kumat. Wanita itu menahan debaran sesak di dada, mengingat saat ini di apartemennya, dia tinggal seorang diri.
Gibran?
Dengan alasan memiliki operasi besar sampai memerlukan waktu berjam-jam, Gibran tidak bisa pulang untuk menemani Vilia. Lagi.
Perlahan, air mata Vilia luruh menuruni wajah cantiknya. Kedua tangannya dengan gerakan perlahan memeluk perutnya yang mulai agak menonjol.
"Apa aku seenggak diperlukan itu sampai kamu selalu menghindar? Lalu, untuk apa kita menikah jika akhirnya aku tetap sendirian?" Tangis Vilia semakin menjadi dan air matanya pun kian membanjir deras.
"Aku kepengen makan nasi goreng buatan kamu, Gibran! Aku tuh lagi hamil, aku ngidam sesuatu, tapi kamu nggak pernah ada buat aku!" Raungnya kian menjadi.
Beberapa saat menangis seorang diri, pintu apartemennya diketuk beberapa kali dari luar. Refleks Vilia menyapu bersih sisa air mata di wajahnya.
Dengan langkah tertatih, Vilia berjalan untuk membukakan pintu. Satu tangannya berada di perut, sementara satu tangannya yang lain hendak ia gunakan untuk membuka pintu.
Tanpa berniat mengecek dari lubang kecil di daun pintu, Vilia langsung membukakan pintu tersebut. Tatapan sayunya seketika berbinar saat mengetahui siapa sosok yang tengah berdiri di hadapannya saat ini.
"Alina? Kok, kamu bisa tahu apartemen Kakak?" Vilia semakin membukakan lebar pintu apartemennya. Mempersilakan seorang gadis berambut panjang semampai untuk masuk.
"Hm, aku sempet nanya sama Tante Sevia tadi." Ujar Alina, lalu melepas sepatu dan masuk semakin dalam.
Vilia kian menyunggingkan senyumannya. Perasaannya menjadi jauh lebih baik berkat kedatangan Alina.
"Em, ini aku bawain dua porsi nasi goreng yang aku beli di pinggir jalan. Tiba-tiba aja tadi laper nggak tahu tempat. Beli dua sekalian buat Kak Vilia juga," Alina memperlihatkan sekantung keresek berwarna putih ke hadapan Vilia.
"Hah, serius? Kok, bisa kebetulan gini? Kakak lagi kepengen nasi goreng barusan." Kepengennya sih nasi goreng buatan Gibran, tapi ...
"Oh, ya? Ya udah, kita makan bareng-bareng, yuk!" Ujar Alina, sembari memeluk lengan Vilia.
...****...
"Gimana? Enak?" Alina bertanya lembut, setelah beberapa saat dia dan juga Vilia menyelesaikan acara makan malam berdua.
Vilia menenggak air minumnya dengan terburu-buru. Dirasa haus telah hilang, barulah wanita itu mengangguk cepat.
"Makasih ya, Lin. Kalau kamu nggak dateng, Kakak bakalan kelaperan banget tadi,"
Alis Alina seketika bertaut. "Lho, emangnya bahan makanan di apartemen Kak Vilia udah pada habis? Oh, ya. Kak Gibran kok nggak kelihatan? Ke mana?" Kepalanya celingukan, mulai sadar dengan keadaan.
Vilia menghela napas berat. Kepalanya menunduk sedih. "Dia ... sibuk di rumah sakit." Ujarnya setengah berbisik. Setitik senyuman getir tersungging di wajah cantiknya.
"Sesibuk itu? Tapi 'kan kalian baru aja nikah. Kak Vilia juga lagi hamil, masa dia tega ninggalin istri yang lagi berbadan dua sendirian di apartemen?!" Alina mendengus geram. Dengan hanya mendengarkan sekilas saja sudah membuatnya ikut kesal. Apalagi jika harus turut merasakan apa yang Vilia rasakan.
Ralat. Alina juga merasakan patah hati, karena kekasihnya, Alaska, menikah dengan perempuan lain disaat hubungan keduanya masih berstatus pacaran.
"Kak, aku mau curhat." Ucap Alina. Bibirnya kembali gatal ketika memikirkan Alaska. Apalagi perempuan bernama Sharon itu yang dengan berani memperkenalkan diri sebagai istri sah Alaska waktu itu.
"Cerita aja. Kakak dengerin,"
Alina lagi-lagi mendengus. "Kak Vilia tahu nggak, cewek yang namanya Sharon-Sharon itu?"
Vilia sempat terdiam sejenak. Kedua alisnya bertaut. Tak berapa lama, raut wajahnya mulai berbinar. "Istrinya Alaska?" Tebak Vilia. Refleks Alina berdecak lalu berdeham malas.
"Kenapa emangnya?"
"Alaska itu pacar aku, Kak! Dia udah ngerebut Alaska!" Emosi Alina meluap. Tidak peduli seberapa terkejutnya Vilia yang baru saja mengetahui fakta tersebut.
"Hah? Alaska pacar kamu, kamu bilang?"
"Sekarang Alaska udah putusin aku. Tapi sampai kapan pun, aku nggak akan pernah terima hal itu dengan mudah!" Alina kian menggebu di tempatnya.
Diam-diam Vilia menghela napas gusar. Ucapan serta emosi yang diperlihatkan Alina terlalu mirip dengan Vilia ketika mengetahui sebuah kenyataan tentang dirinya yang tengah hamil waktu itu.
"Pokoknya, aku harus dapetin Alaska kembali."
Saat itu juga, Vilia kembali memokuskan perhatiannya pada Alina. Matanya terbelalak sampai mengerjap beberapa kali.
...****...
"Makannya dihabisin, jangan disisa-sisa." Alaska menyeletuk ringan. Tindakan kecil Sharon yang menjauhkan mangkuk buburnya yang masih sisa separuh, dapat terbaca dengan mudah. Apalagi mimik wajahnya yang mulai merengut tak berselera.
"Aku udah kenyang." Ujar Sharon. Satu tangannya mengelus perutnya yang tiba-tiba terasa tidak nyaman.
Alaska berdecak. "Dibilang tadi juga apa? Periksa ke klinik! Ngeyel aja bisanya. Malah ke apotek beli obat yang nggak jelas buat sakit apa." Raut wajah Alaska tampak begitu dingin. Rasa kesal dalam diri seolah belum juga menguap sedari tadi.
Sharon mendengus seraya bangkit dari kursi makan. "Palingan juga maag sama gula darah rendah lagi. Biasanya beli obat gini juga nanti langsung sembuh, kok."
"Terserah. Awas aja kalau nanti makin parah!" Ketus Alaska, lalu membereskan bekas makan Sharon dan mencucinya di wastafel.
Sharon tak lagi membalas. Langkah kakinya yang pelan melangkah menuju ruang tengah. Masing-masing kedua tangannya sibuk membawa beberapa lembar tablet obat dan juga segelas air putih.
Sampai di sofa, tanpa bergerak lama, Sharon langsung membuka satu persatu tablet obat tersebut. Meminumnya sekaligus lalu lanjut minum air putih sebanyak-banyaknya.
Dirasa usai, Sharon lalu bangkit hendak menuju kamar. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti saat sesuatu yang sangat tidak nyaman terasa seperti hendak meluap dari dalam lambung menuju kerongkongannya.
Detik itu juga, langkahnya yang secepat kilat kembali menuju dapur, atau lebih tepatnya menuju wastafel. Mati-matian Sharon membekap mulutnya agar sesuatu tidak langsung lolos dari mulutnya.
"Huwek! Huwek!" Dengan tubuh bergetar, Sharon menumpahkan cairan bening dari mulutnya. Tak hanya itu. Beberapa tablet obat dan juga bubur yang sempat dia konsumsi kembali dikeluarkan.
Alaska yang pada saat itu tengah membereskan alat makan ke dalam rak, sontak berlari menghampiri Sharon.
"Shar? Kamu nggak pa-pa?" Alaska menyentuh pundak Sharon lalu menahan tubuhnya yang terasa bertegar.
Sharon pun tak lagi memuntahkan isi perutnya. Kedua tangannya yang semula berpegang pada sisi wastafel dia gunakan untuk mencuci mulutnya.
"A-alaska!" Panggilan lemah diiringi sentuhan dingin di lengan, mengundang perhatian Alaska. Tanpa berpikir panjang, Alaska langsung membopong tubuh Sharon dan membawanya ke sebuah sofa.
"Kita ke klinik sekarang, ya?" Dengan lembut, Alaska menyampirkan surai hitam Sharon yang menghalangi sebagian wajahnya.
Raut wajah Sharon begitu pucat pasi. Kepalanya mengangguk lemah membalas ajakan Alaska.
...****...
Di luar dugaan, sesampainya di klinik, Sharon langsung dirawat di UGD. Kondisinya yang semakin menurun mengharuskan Sharon dirawat sampai sebegitunya.
Dan sekarang, di sinilah Alaska. Duduk di sebuah kursi dingin tepat di samping tubuh Sharon yang terlentang di atas ranjang. Satu tangannya diinfus dan hidungnya dipakaikan sebuah alat bantu pernapasan.
Sharon sendiri sempat kembali pingsan saat setibanya di klinik tadi. Alaska bahkan hampir membawa Sharon ke rumah sakit. Namun kembali lagi. Kesehatan Sharon lebih utama. Tak ada salahnya juga dirawat terlebih dahulu di klinik.
Jika memang nanti keluhan yang dialami Sharon semakin memburuk, Alaska pasti akan merujuk Sharon ke rumah sakit.
Untuk kesadaran Sharon sendiri telah kembali. Dia juga telah diperiksa ini dan itu oleh perawat. Hanya saja, kondisi Sharon masih begitu lemah.
Ketukan di depan pintu seketika mengalihkan perhatian Alaska. Tubuhnya spontan berdiri saat seorang wanita paruh baya bersetelan jas putih berjalan memasuki ruang UGD.
"Ini dengan ..." Wanita paruh baya yang tak lain ialah dokter itu pun menjeda ucapannya. Kedua alisnya bertaut saat menatap Alaska.
"Saya Alaska, suaminya. Jadi, istri saya sakit apa ya, Dok?"
Raut wajah sang dokter seketika berganti cerah. Kekehan kecil di wajahnya, tanpa sadar membuat Alaska mengerutkan kening.
"Saya jadi lega. Saya kira kalian cuma pacaran. Soalnya beberapa waktu lalu ada kasus anak muda dirawat juga di sini. Jadi, mohon maaf sudah curiga sebelumnya." Ujar sang dokter. Jelas kurang dimengerti.
"Kasus?" Alaska jadi melupakan berbagai pertanyaan penting berkat ucapan sang dokter.
Dokter tersebut mengangguk seraya mengeluarkan hasil pemeriksaan Sharon pada Alaska. "Selamat ya. Sebentar lagi Anda akan menjadi seorang ayah."
Saat itu juga, baik Alaska maupun Sharon, keduanya langsung memelotot. Dengan cepat Alaska membuka hasil pemeriksaan tersebut yang masih berbalut amplop putih.
"Maksud dokter, saya hamil?" Sharon menyahut lemah seraya berusaha bangun dari posisi terlentang.
Perhatian dokter beralih pada Sharon. Senyuman manisnya menyungging seolah ikut berbahagia.
"Selamat ya. Tetapi, kandungannya masih lemah. Diusahakan beberapa hari ke depan untuk tetap beristirahat di rumah, jangan terlalu kecapekan dan tidak boleh stres. Jangan lupa untuk makan makanan yang bergizi dengan teratur. Obatnya juga harus diminum rutin sesuai anjuran."
Sharon terdiam memaku antara bingung dan terkejut. Namun, tak dapat dipungkiri jika berita itu pun membuat Sharon diam-diam mengulum senyuman bahagia.
...****...
"Udah kenyang." Sharon menepis pelan suapan bubur polos dari Alaska.
Rasanya hambar dan membuat mual. Jika saja Sharon memakannya bukan karena paksaan, Sharon tidak akan mau mencicipi bubur itu.
Alaska mendengus. "Habisin! Nggak baik buang-buang makanan. Habis ini kamu masih harus minum obat." Tegas Alaska. Saat hendak kembali menyuapi Sharon, perempuan itu menghindar.
"Nggak mau, iih, nggak enak! Lagian aku udah kenyang. Udah, langsung siniin aja obatnya." Saat Sharon hendak meraih plastik obat, Alaska langsung menahannya.
"Ini baru tiga suap, ya kali udah kenyang? Udah, cepetan buka mulutnya. Aa!" Suruh Alaska.
Sharon sudah mau menangis sebab benar-benar tidak ingin makan lagi. "Nggak mau, Alaska! Ini tuh bikin mual- huwek! Tuh 'kannn! Sana, ah, nggak mau!"
"Shar, inget nggak barusan dokter bilang apa? Kandungan kamu itu lemah, harus banyak makan makanan bergizi. Kamu nggak kasihan sama calon anak kita?" Berkat ucapan Alaska, Sharon langsung menunduk dalam. "Tapi 'kan nggak enak."
Diam-diam Alaska menghela napas panjang seraya menaruh mangkuk bubur tersebut ke atas meja. "Ya udah, kamu mau makan apa, biar aku beliin."
"Hm. Roti boleh. Yang isinya cokelat atau yang isinya susu."
"Ya udah, aku beliin sekarang ya," Sharon menggeleng cepat. "Ikut!"
"Shar!" Peringat Alaska. Tak mengizinkan Sharon untuk ikut serta.
"Pleaseee! Di sini sepi, takuttt!" Sharon memasang wajah memelas. Kedua matanya bahkan turut berkaca-kaca sehingga membuat Alaska spontan mengurut wajahnya.
"Fine! Aku nggak bisa bilang 'nggak' kalau kamu kayak gini."
^^^To be continued...^^^
happy ending 👍