Hutang budi membuat Aisyah terpaksa menerima permohonan majikan sang ayah. Dia bersedia meminjamkan rahimnya untuk melahirkan anak Satria dengan Zahra melalui proses bayi tabung.
Satria terpaksa melakukan hal itu karena dia tidak mau menceraikan Zahra, seperti yang Narandra minta.
Akhirnya Narandra pun setuju dengan cara tersebut, tapi dengan syarat jika kesempatan terakhir yang dia berikan ini gagal, maka Satria harus menikahi Gladis dan menceraikan Zahra.
Gladis adalah anak dari Herlina, adik tiri Narandra yang selalu berhasil menghasut dan sejak dulu ingin menguasai harta milik Narandra.
Apakah usaha Satria dan Zahra akan berhasil untuk mendapatkan anak dengan cara melakukan program bayi tabung?
Yuk ikuti terus ceritaku ya dan jangan lupa berkarya tidaklah mudah, jadi kami para penulis mohon dukungannya. Terimakasih 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia Fajar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30. KEDUA ISTRI BUTUH PERHATIAN
Zahra yang berada di kamarnya tidak bisa tidur, dia membayangkan jika Satria dan Aisyah pasti saat ini sedang bermesraan.
Ikhlas tapi tetap saja sedih, karena telah membagi miliknya yang paling berharga yaitu cinta Satria.
Zahra pun memilih keluar kamar dan dia duduk di luar sembari memandang langit agar hatinya merasa tenang.
Gladis yang melintas di sana menghampiri Zahra dan berkata, "Rasain kan, inilah akibat sok menjadi menantu serta istri idaman. Tersisih dan sendiri, belum lagi jika bayi itu lahir, pasti cinta Satria bakal full ke Aisyah serta bayi itu. Hahaha....kasihannya kamu Zahra. Mending sepertiku, jomblo, bebas kemanapun mau pergi, terutama tidak sakit hati, melihat suami mendua."
"Bukan urusanmu Gladis. Sebaiknya kamu urusi masalah mu sendiri."
"Kalau aku jadi kamu, lebih baik singkirkan mereka daripada cinta Satria semakin dalam. Ingat Ra, belum tentu Aisyah mau menyerahkan bayi itu setelah lahir bila dia sudah merasaka di cintai oleh Satria."
"Apa kamu tidak takut? jika nantinya malah kamu yang ditendang dari kehidupan Satria."
Zahra berusaha tidak peduli dengan hasutan Gladis, tapi hatinya memang mulai merasa ragu.
Agar hatinya tetap sehat, Zahra pun memilih meninggalkan Gladis, dia tidak mau mendengar mulut beracun Gladis yang terus menerus menghasutnya.
Zahra lebih baik menyibukkan diri di dapur, membantu Bibi untuk menyiapkan makanan.
Melihat Zahra murung, Bibi pun penasaran lalu bertanya, "Non Zahra sakit?"
"Enggak kok Bi, oh ya Bi sini biar aku saja yang memasak. Bibi lanjutin pekerjaan lain saja. Aku ingin membuatkan masakan Mas Satria. Dia pasti bakal senang karena sudah lama aku tidak memasak untuknya."
"Baiklah Non, Bibi bantu meracik saja ya Non."
Zahra pun memasak beberapa macam masakan, yang hampir semuanya adalah kesukaan Satria. Setelah selesai diapun pergi ke kamar Aisyah untuk memanggil mereka agar makan bareng.
Satria yang mendengar suara ketukan pintu pun segera membukanya dan Zahra tidak sengaja melihat Aisyah masih bergelung di dalam selimutnya.
"Aisyah masih tidur Ra, dia sepertinya kelelahan. Ada apa Ra?"
"Eh, maaf Mas. Aku hanya ingin mengajak Mas dan Aisyah makan. Tapi kalau Aisyah masih tidur, sebaiknya nanti saja. Tunggu dia bangun baru kita makan."
"Kamu sudah lapar ya, kalau begitu aku temani kamu makan. Biar Aisyah nanti menyusul."
"Nggak Mas, kita tunggu Aisyah saja."
"Ya sudah, nanti jika Aisyah sudah bangun aku akan mengajaknya ke ruang makan."
"Aku pergi dulu ya Mas, mau tanya papa apakah makanannya mau dibawa ke kamar atau di ruang makan saja."
Satria pun mengangguk, dia memperhatikan Zahra yang berjalan menuruni anak tangga hingga menghilang dari pandangan mata.
Satria pun kembali menutup pintu kamar dan dia memperhatikan Aisyah yang masih terlelap.
Satu jam berlalu, Aisyah pun terbangun, lalu dia terkejut saat melihat jam sudah telat untuk makan siang.
"Maaf Mas, aku ketiduran. Mas Satria sudah makan?"
"Belum Syah, kami sengaja menunggumu."
"Mbak Zahra juga?"
Satria pun mengangguk hingga membuat Aisyah merasa bersalah dan langsung bangkit.
"Sebentar Mas, aku cuci muka dulu."
Setelah mencuci mukanya, Aisyah pun mengajak Satria turun dan ternyata Zahra sedang menunggu mereka sambil menonton acara televisi.
Aisyah yang merasa bersalah pun segera meminta maaf, karena dia semua jadi ikut telat makan.
Zahra pun meminta Bibi untuk menghangatkan makanan, sementara mereka menunggu di ruangan makan.
Zahra mengambilkan makanan untuk Satria, dia memilihkan menu-menu yang Satria sukai. Ternyata makanan itu membuat perut Aisyah mual.
Aisyah mencoba menahannya tapi akhirnya dia berlari ke kamar mandi dan memuntahkan makanan yang baru sedikit masuk ke dalam mulutnya.
Satria pun meninggalkan makannya, untuk membantu Aisyah yang terlihat lemas. Selera makannya hilang dan Satria pun memutuskan untuk tidak melanjutkannya.
Zahra kecewa, jerih payahnya memasak sia-sia. Satria hanya memakan sedikit, semua itu karena Aisyah.
Melihat Satria tidak kembali ke meja makan, Zahra pun menghentikan ritual makannya dan meminta Bibi untuk membereskan serta menyimpan sisa makanan tersebut.
Satria menemani Aisyah di kamar, dia meminta pembantu untuk menyiapkan air jahe.
Aisyah kembali merasa bersalah, lalu dia meminta Satria untuk melanjutkan makannya. Tapi Satria menolak dan dia tidak mau meninggalkan Aisyah yang masih terlihat lemah.
Satria kemudian mengupas buah untuk mengganjal rasa laparnya dan dia juga menyuapkan buah tersebut ke mulut Aisyah. Akhirnya mereka berdua hanya makan buah.
Karena fokus dengan Aisyah, Satria sampai lupa untuk menanyakan tentang Zahra yang entah melanjutkan ritual makannya atau tidak.
Zahra yang berada di kamar merasakan perutnya sakit, lalu dia meminta pembantu untuk mengambilkan obat.
Satria yang kebetulan turun hendak mengambil sesuatu di dapur, bertanya kepada Bibi yang membawa nampan berisi segelas air serta obat.
"Untuk siapa obat itu Bi?"
"Non Zahra Den. Non tadi tidak jadi makan, makanya sekarang sakit perut."
Satria menepuk keningnya sendiri, kenapa dia sampai lupa memperhatikan Zahra.
Kemudian Satria meminta nampan tersebut, lalu membawanya sendiri ke kamar Zahra.
Satria melihat wajah Zahra pucat dan keringat dingin membasahi keningnya. Zahra menyeringai menahan rasa sakit pada perutnya.
"Ra, minum obat ini! maafkan aku karena terlalu fokus dengan Aisyah, jadi membuatmu sakit. Kenapa kamu tidak melanjutkan makan Ra?"
Zahra tidak menjawab dan setelah menelan obatnya diapun meringkuk sambil menarik selimut.
Satria saat ini bingung, kedua istrinya sama membutuhkan perhatian.
"Kita ke rumah sakit saja yuk Ra, lihatlah wajahmu tambah pucat. Pasti sakit sekali ya?"
Zahra kembali tidak menjawab tapi kali ini dia menggelengkan kepala.
Satriapun duduk, mengambil minyak kayu putih, lalu membalurkan ke bagian perut serta punggung Zahra.
Sementara Satria mengurus Zahra, dia lupa jika tadi akan membuatkan susu untuk Aisyah.
Aisyah yang menunggu Satria tidak kunjung datang membawakan susu yang dia mau, akhirnya keluar kamar dan mencari Satria ke dapur.
Tapi saat tidak menemukan Satria di sana, Aisyah pun menuju kamar Zahra dan dia mendengar suara Zahra mendesis dan mengaduh.
Tiba-tiba saja Aisyah jadi sedih, ternyata Satria lupa membuatkannya susu karena sedang bermesraan dengan Zahra.
Aisyah pun bergegas pergi dan dia keluar rumah menuju kolam renang. Di sana Aisyah duduk di tepi kolam sambil menangis dan memegangi dadanya yang terasa sakit.
Dia tidak menyadari jika ada seseorang yang sedang membuntutinya. Orang tersebut adalah Herlina.
Herlina bermaksud mencelakai Aisyah yang saat ini sedang duduk sendirian.
Setelah melihat sekeliling aman, Herlina pun mengendap-endap, lalu dengan sekuat tenaga dia berhasil mendorong Aisyah, hingga kecebur di dalam kolam.
Aisyah yang memang tidak pandai berenang menjadi kelabakan. Dia berusaha menghirup udara sembari tangannya keatas untuk meminta pertolongan.
Herlina sembunyi sambil memperhatikan Aisyah yang tubuhnya mulai tenggelam.
Dengan senyum penuh kemenangan, Herlinapun buru-buru masuk ke dalam rumah.
Herlina takut ada orang yang akan melihat jika dia tetap bersembunyi dan mengintai di sana.
Bersambung....