Demi nama baik keluarga dan mamanya, Nami menyanggupi menggantikan adiknya menikah. Perempuan ini akhirnya menikah dengan laki-laki yang lebih muda 4 tahun darinya.
Ia pikir hanya sampai di situ kemalangan karena adiknya, tapi ternyata masih ada fakta lainnya yang membuat Nami terguncang.
Apa takdir sedang sengaja menyengsarakannya atau justru ada kejutan yang bahagia untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 30 : Gaun yang berbeda
"Bukan. Bukan karena Yugi suka berteman. Dia bahagia karena ada istrinya di sampingnya. Kamu tidak tahu betapa bangganya dia memperkenalkan istrinya yang tampak kebingungan?" tanya Sifa yang melihat itu.
"Menurutku itu hal wajar. Seandainya aku sudah menikah, aku juga akan memperlakukan istriku seperti itu. Aku juga bangga pada istriku karena aku mencintainya," tutur Reno.
Sifa mengangguk mengerti apa yang dikatakan Reno.
"Itulah. Sepertinya, walaupun istrinya mungkin tidak sempurna, bola mata Yugi akan tetap berbinar seperti tadi. Itu artinya tidak akan tempat buat aku memaksa masuk ke dalamnya. Baik itu hanya sebesar lubang jarum." Sifa langsung mengambil kesimpulan dengan tepat.
"Baguslah kamu mengerti tentang Yugi yang sangat mencintai istrinya. Karena jika tidak, kamu akan sia-sia menyibukkan diri dengan mencintai Yugi. Dia sudah memberi papan besar pada dadanya kalau dia sudah ada yang punya."
"Ya, itu benar," cibir Sifa. Reno tergelak.
"Aku khawatir kalau kamu terus mengharapkan Yugi," kata Reno.
"Kenapa khawatir?" tanya Sifa menyipitkan mata.
"Ya, khawatir aja. Kamu kan sudah seperti orang buta yang enggak bisa lihat laki-laki lain selain Yugi. Bukannya enggak dapat jodoh, tapi kamu sendiri yang menutup kemungkinan orang lain yang punya perhatian sama kamu," kata Reno.
"Orang lain yang punya perhatian untuk aku itu, apa kamu?" tebak Sifa mengejutkan. Reno tidak menjawab. Dia tetap fokus untuk menyetir.
**
Nami bersiap menuju ke pesta adiknya, Vera. Awalnya Yugi ingin membelikannya pakaian pesta baru, tapi Nami enggan. Dia ingin memakai pakaian lamanya saja. Karena waktu itu hanya beberapa kali saja di pakai. Kemungkinan itu masih baru.
Meskipun warna dan modelnya masih tergolong modern, tapi ukurannya agak sempit untuk Nami. Hingga dia kesusahan saat memakainya.
"Ufff ... tinggal sedikit lagi muat. Aku pikir makin banyak pikiran, tubuhku makin kurus. Namun ternyata tidak. Tubuhnya sepertinya makin membesar saja. Ufff ... HH .... akhirnya. " Nami menghela napas lega.
Akhirnya gaun dengan berbahan brokat untuk melekat di tubuhnya. Hanya saja resleting di belakang belum bisa tertutup dengan sempurna.
"Oh, tidak. Ayolah. Aku sudah menolak Yugi untuk membeli gaun lagi. Kalau ini tidak muat, aku akan malu."
Setelah berulang kali percobaan, Nami gagal menggerakkan kepala resleting. Ia sampai kelelahan.
"Hhh ... Apa aku jujur saja kalau aku harus beli gaun baru? Tidak. Waktunya enggak cukup. Sangat mepet." Nami melihat jam di dinding dengan panik.
Tok! Tok!
"Nami, apa kamu sudah selesai?" panggil Yugi dari luar kamar.
"E ... ya. Sebentar lagi," sahut Nami.
"Baiklah."
"Bagaimana ini ...," keluh Nami.
"Nami, apa kamu perlu bantuan?" tanya Yugi lagi.
"Tidak. Apa yang di pikirkan Yugi? Aku kan sedang ganti baju. Apa yang perlu bantuan?" Nami menipiskan bibir. Namun kemudian dia menyerah. Akhirnya dia membuka pintu perlahan.
Yugi yang belum jauh membalikkan badannya.
"Sudah selesai?" tanya Yugi yang mengira perempuan ini sudah siap berangkat.
"Belum." Kepala Nami menggeleng. Yugi heran. Karena yang dia lihat perempuan ini sudah siap.
"Belum?" tanya Yugi tidak mengerti.
"Bisa bantu aku?" tanya Nami dengan wajah sedikit menunduk. Perempuan ini sedang ragu tapi butuh. Namun untuk mengatakannya, dia malu.
"Ya. Ada apa?" tanya Yugi antusias.
"Masuklah," ajak Nami.
"Masuk?" tanya Yugi. Nami berjalan mundur seraya mengangguk.
Yugi terheran-heran Nami mengajaknya masuk ke dalam kamar yang sejak tadi di kuasai oleh perempuan ini. Karena saat Nami mengganti pakaian, dia harus keluar. Dalam keheranan itu, Yugi tetap patuh melangkah masuk.
Setelah beberapa langkah, Nami berhenti. Yugi ikut berhenti.
"Bisa kamu bantu aku menarik resleting gaun ini?" tanya Nami seraya membalikkan badan. Kemudian menunjukkan punggungnya yang terbuka. Yugi terkejut. Ternyata baju itu belum tertutup dengan sempurna.
"Ya," sahut Yugi singkat setelah menelan rasa menyengat di tubuhnya. Kemudian ia mendekat dan mulai mengulurkan tangan untuk menutup resleting baju itu. "Agak sempit ya," celetuk Yugi membuat Nami malu setengah mati. Bahkan saat ia mendengar dengusan lucu di belakang punggungnya.
"Itu hanya karena bahan gaunnya bagus. Dia tidak melar," kata Nami masih sempat mengelak. Yugi makin tergelak.
"Aku tidak menduga kamu sangat lucu," kata Yugi masih dengan sisa tawa. Nami tentu berwajah merah karena malu. Dia hanya berpura-pura tenang. "Juga membuat ku ingin memelukmu erat," bisik Yugi tepat di telinganya.
Nami tercekat. Ia menahan napas sejenak. Bisikan Yugi di telinganya membuat tubuhnya meremang juga tegang. Nami membeku tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Ia hanya diam.
Yugi melirik ke wajah perempuan ini. Lalu bergerak hingga berdiri tepat di depan tubuh Nami. Bola mata Nami menatap Yugi. Mengerjap lambat seraya menata detak jantungnya yang terasa lebih cepat. Pria di depannya tengah menatapnya dalam.
"Juga ingin mencium mu," lanjut Yugi.
Atmosfir di antara mereka tiba-tiba berubah romantis. Sampai-sampai Nami tidak bisa mengatakan apa-apa. Dia hanya kebingungan karena Yugi mendekatkan wajahnya. Namun tiba-tiba dia teringat sesuatu.
"Kita harus berangkat," lirih Nami cepat. Yugi langsung spontan berhenti. Dia diam menatap Nami dengan wajah tertegun. Namun kemudian ia membungkam mulutnya karena menahan tawa. Nami tahu pria ini sedang menertawakannya. Dia hanya menggerak-gerakkan bola matanya gugup.
"Aku tahu." Yugi masih tertawa. Nami merasakan debaran di dadanya saat pria ini tertawa. Yugi memang tampan. "Kamu sungguh sesuatu. Bisakah membiarkan aku melakukannya tanpa mengatakan kita harus berangkat?" tanya Yugi dengan lucu. Seperti meledek Nami.
"Waktunya kita berangkat, bukan?" Nami menegaskan lagi seraya menyembunyikan rasa panas di wajahnya.
"Benar. Kita memang harus berangkat. Ayo," kata Yugi. Nami segera mengambil clucth bag-nya dan menghampiri Yugi yang menunggunya di pintu.
...***...
"Ayo," ujar Yugi seraya mengulurkan tangan. Nami mengerjapkan mata melihat tangan itu. "Kita harus terlihat lebih mesra dari pengantin itu, kan?" Yugi memberi kode. Nami mengerjap. Sedikit tertegun. Namun kemudian menerima uluran tangan Yugi. Mereka pun berjalan seraya menggenggam tangan.
Pesta Vera tampak mewah. Begitu berbeda dengan pernikahannya yang terkesan sederhana. Entah bagaimana, Vera dan Nami memang selalu berbeda. Nami menyadari itu dan tidak memikirkannya lagi.
Bahkan pakaian Nami pun tidak seperti kedua keluarga. Mereka memakai gaun yang sama. Nami sendiri justru memakai pakaian bekas. Dari sini makin memperkuat perlakuan buruk keluarga Nami pada dirinya.
“Maaf, Gi. Kamu jadi ikutan enggak di anggap sama mama,” kata Nami merasa tidak enak pada pria ini.
“Aku enggak peduli soal itu. Aku datang kesini itu, hanya karena mengikuti istriku yang masih bersedia datang meskipun di perlakukan tidak adil. Aku menghormati kamu, bukan mereka,” ujar Yugi. Nami tersenyum.
“Terima kasih.”
...________...