Sadiyah, seorang gadis yatim piatu, terpaksa harus menerima perjodohan dengan cucu dari sahabat kakeknya. Demi mengabulkan permintaan terakhir sahabat kakeknya itu, Sadiyah harus rela mengorbankan masa depannya dengan menikahi pria yang belum pernah ia temui sama sekali.
Kagendra, pengusaha muda yang sukses, terpaksa harus menerima perjodohan dengan cucu dari sahabat kakeknya. Disaat ia sedang menanti kekasih hatinya kembali, dengan terpaksa ia menerima gadis pilihan kakeknya untuk dinikahi.
Setelah pernikahan itu terjadi, Natasha, cinta sejati dari Kagendra kembali untuk menawarkan dan mengembalikan hari-hari bahagia untuk Kagendra.
Apakah Sadiyah harus merelakan pernikahannya dan kembali mengejar cita-citanya yang tertunda? Akankan Kagendra dan Natasha mendapatkan cinta sejati mereka?
Siapa yang akan bersama-sama menemukan cinta sejati? Apakah Sadiyah dan Kagendra? Ataukah Natasha dan Kagendra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raira Megumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Cemburu Lagi
Jam tujuh malam, Kagendra berhasil menyelesaikan semua berkas yang harus ia periksa. Dengan segera ia memerintahkan sekertarisnya untuk membereskan berkas-berkas tersebut.
“Besok penerbangannya jam enam pagi, Bos. Saya jemput Bos jam empat pagi ya, kita salat subuh di bandara saja.” Rudi, sekretaris Kagendra memberitahukan jadwal penerbangan.
“Hm, semua sudah kamu siapkan?” tanya Kagendra.
“Semua beres, Bos.”
Kagendra menaiki lift gedung apartemennya dengan hati berbunga-bunga, membayangkan kegiatan yang akan ia lakukan bersama Natasha saat di Lombok nanti. Walaupun ia dan Natasha hanya bisa menikmati satu atau dua hari saja setelah dirinya menyelesaikan urusan bisnis, tapi ia rasa dua hari saja sudah cukup untuk bisa bersenang-senang berdua saja bersama kekasih hatinya.
Ketika lift yang dinaiki Kagendra berhenti di lantai unitnya, ia berpapasan dengan sorang pria yang wajahnya cukup familiar. Kagendra mencoba mengingat-ngingat dimana ia pernah melihat wajah pria tersebut.
Karena pekerjaannya dulu yang menuntut ia untuk bisa mengingat banyak wajah orang, ia terlatih untuk dengan mudah mengingat wajah banyak orang. Jantungnya berdegup kencang saat ia mengingat wajah pria yang pernah berduaan dengan istrinya di restoran. Ia mengepalkan tangan menahan emosi mendapati pria tersebut berada di gedung apartemen yang sama dan juga berada di lantai yang sama dengan lokasi unitnya berada. Dengan emosi yang telah memuncak, ia menyimpulkan bahwa pria tersebut telah menemui istrinya ketika ia sedang tidak ada.
“Dasar istri kurang ajar, membiarkan pria lain memasuki rumah ketika suami tidak ada di tempat,” geram Kagendra yang belum menyadari bahwa dirinya sangat cemburu pada pria tersebut.
Dengan berlari, Kagendra memasuki unitnya.
“Sadiyah! Sadiyah!” Kagendra berteriak-teriak memanggil istrinya.
Sadiyah yang baru membaringkan tubuh di atas kasur tidak berniat menjawab teriakan Kagendra. Ia masih marah pada Kagendra dan tidak ingin bertemu muka dengan suaminya itu. Sadiyah menaikkan selimut sampai ujung kepala dan menutup telinga dengan bantal.
Tidak mendapatkan sahutan dari Sadiyah, Kagendra bergegas memasuki kamar utama tapi ia tidak melihat Sadiyah di sana. Kemudian Kagendra menuju ke kamar lain dan mencoba membuka pintu kamarnya tapi terkunci.
Kagendra menggedor pintu kamar dengan keras.
“Sadiyah, buka pintunya!” perintah Kagendra sambil terus menggedor.
Tak tahan dengan suara berisik Kagendra yang berteriak-teriak ditambah suara gedoran pintu, Sadiyah beranjak dari tempat tidur dan membukakan pintu kamar.
Setelah pintu terbuka sedikit, Kagendra langsung membanting pintu tersebut hingga terbuka lebar.
“Jangan berani-beraninya kamu mengunci kamar tidur. Ini terakhir kalinya kamu berbuat kurang ajar seperti ini," bentak Kagendra.
Sadiyah berjalan keluar kamar melewati tubuh kagendra yang menghalangi jalan keluar.
“Jawab saya!” bentak Kagendra lagi.
“Saya harus menjawab apa?” tanya Sadiyah polos.
Kagendra mendengus kesal.
“Siapkan pakaian dan keperluan saya untuk tujuh hari!” perintah Kagendra.
Sadiyah menatap wajah Kagendra heran. Ini pertama kalinya Sadiyah menatap wajah Kagendra setelah kejadian tadi malam.
“Saya keluar kota seminggu untuk business trip.” ucap Kagendra menjawab pertanyaan Sadiyah yang tak terucapkan.
Sadiyah mengangguk dan berjalan menuju kamar utama, lalu menyiapkan segala keperluan Kagendra untuk perjalanan bisnisnya.
Setelah selesai menyiapkan keperluan Kagendra, Sadiyah keluar dari kamar dan mendapati Kagendra sedang duduk santai sambil senyam senyum di hadapan ponselnya.
“Sudah makan malam?” tanya Sadiyah
“Belum.” Kagendra mendongakkan kepala.
“Saya siapkan makan malamnya,” ujar Sadiyah sambil membuka kulkas dan memanaskan makanan yang ada di kulkas ke dalam microwave.
Sadiyah sudah mengetahui jika Kagendra tidak menyukai makanan berkalori tinggi untuk makan malamnya. Ia memanaskan capcay yang tadi sore dikirimkan Rika, tetangganya.
“Makanannya sudah siap.” Sadiyah masih belum mau memanggil Kagendra dengan panggilan yang biasa ia gunakan. Ini adalah bentuk kemarahan dan protesnya pada Kagendra.
Kagendra yang tidak menyadari kemarahan Sadiyah, segera duduk untuk menikmati makan malamnya. Sudah seminggu lebih ia tidak makan masakan buatan istrinya dan ia rindu dengan rasa masakan buatan Sadiyah.
Dengan hati senang, Kagendra mulai menyendokkan nasi dan sayur capcay ke dalam mulut. Setelah mengunyah beberapa saat, ia merasakan bahwa rasa dari masakan itu tidak seperti masakan Sadiyah seperti biasanya.
“Ini siapa yang masak?” tanya Kagendra dingin.
“Tadi ada yang kirim,” jawab Sadiyah.
“Kenapa bukan kamu yang masak?” desak Kagendra.
“Mubazir kalau saya masak lagi,” jawab Sadiyah asal.
“Salah satu tugas kamu itu memasak makanan untuk saya. Jangan seenaknya memberi saya makanan sembarangan,” bentak Kagendra.
“Maaf,” sahut Sadiyah lirih.
“Siapa yang kirim?” tanya Kagendra kasar
“Tetangga.”
Kagendra teringat kembali pria yang berpapasan dengannya saat ia keluar dari lift.
“Apa laki-laki itu yang kirim?” tanya Kagendra dengan nada tinggi.
“Laki-laki mana?” tanya Sadiyah polos.
“Jangan pura-pura kamu. Saya tahu kalau kamu menemui laki-laki itu ketika saya sedang tidak ada,” tuduh Kagendra.
“Laki-laki yang mana sih maksud kamu?” Sadiyah kembali bertanya dengan wajah polosnya.
Kagendra membanting piring berisi nasi dan sayur capcay ke lantai dan menyebabkan piringnya pecah dan isinya berhamburan.
Suara piring pecah mengagetkan Sadiyah dan reflek ia menutup telinga dengan kedua tangannya.
Emosi sudah menguasai Kagendra. Ia mencengkram tangan kiri Sadiyah dan menyeretnya ke dalam kamar.
“Kamu tidak mau mengaku?” bentak Kagendra.
“Mengakui apa?” Sadiyah semakin heran dengan pertanyaan-pertanyaan Kagendra.
“Masih saja pura-pura.” Kagendra menatap tajam wajah Sadiyah.
Sadiyah merasa ketakutan melihat ekspresi wajah Kagendra dan dengan spontan ia menundukkan kepala.
Tangan kanan Kagendra merangkum dagu Sadiyah dan mendongakkan kepalanya dengan paksa.
“Masih belum mau mengaku?” Kagendra semakin mengeratkan rangkuman tangannya pada dagu Sadiyah.
Sadiyah menatap Kagendra dengan mata berair.
“Jangan berani-beraninya kamu bermain api.” Kagendra menghentakkan tangannya dan menyerang bibir Sadiyah dengan bibirnya.
Sadiyah memukul-mukul dada Kagendra dengan kepalan tangan. Bukannya melepaskan pagutan bibirnya, Kagendra malah semakin memperdalam ciumannya.
Sadiyah mencoba menggigit bibir Kagendra, tapi saat ini bibir Kagendra menguasai sepenuhnya. Ketika Sadiyah berhasil menggigit sedikit ujung bibir Kagendra, bibir Kagendra terlepas sesaat karena kesakitan tapi hanya sebentar saja, kemudian bibirnya kembali menguasai bibir Sadiyah.
Emosi dan nafsu semakin menguasai Kagendra, ia kembali meluapkan gairahnya pada Sadiyah. Setelah semua terpampang jelas, ia menikmati apa yang ada di hadapannya sepanjang sisa malam. Entah berapa kali Kagendra menggapai puncak kepuasannya.
Serangan demi serangan yang dilancarkan Kagendra membuat Sadiyah luluh lantak. Ia tertidur dengan posisi miring menghadap Kagendra dengan selimut yang menutupi tubuh polosnya hingga batas bahu. Ada banyak tanda yang diciptakan Kagendra sebagai bukti kepemilikannya di area leher, bahu, dan dada Sadiyah.
Kagendra menatap wajah Sadiyah yang kelelahan. Ia sibakkan rambut yang menghalangi wajah cantik Sadiyah. Ada kata maaf yang tidak mampu ia ucapkan, tersangkut di kerongkongannya.
Kagendra mengecup kening Sadiyah sebelum ia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap untuk pergi ke bandara.
Tepat jam empat pagi, Kagendra sudah siap untuk pergi ke bandara. Rudi, sekertarisnya telah siap menunggu di tempat parkir.
Kagendra berjalan menghampiri Sadiyah yang masih tertidur lelap. Ia elus rambut Sadiyah dan mengecup keningnya dengan lembut. Tak tahan melihat bibir Sadiyah yang terlihat sedikit membengkak hasil dari serangannya, Kagendra mencium bibir Sadiyah cukup lama.
Setelah Kagendra berlalu, Sadiyah membuka mata dan meluncurlah air mata yang sedari tadi ditahannya. Jari-jari tangannya menyentuh bibir yang membengkak karena mendapatkan serangan bibir Kagendra sejak tadi malam hingga kecupan ringan yang tadi diberikan sebelum Kagendra pergi.
Sadiyah tidak memahami suasana hatinya sekarang. Disisi lain, ia merasa benci dengan sikap Kagendra yang seenaknya, tapi disisi lain ia merasa tidak sanggup untuk membenci Kagendra dengan segala perlakukan buruknya. Apakah ia telah menjelma menjadi perempuan bodoh karena cinta? Kepala Sadiyah semakin pusing karenanya.
**********
to be continued...
semangat