Berniat memasang alat penangkap ikan, Zena malah menemukan sesosok pria yang pingsan di tepi sungai, lantas ia dan neneknya menolong pemuda tersebut.
Suatu hari pria yang bernama Satya itu ingin membalas kebaikan orang yang telah menyelamatkannya, namun siapa sangka yang dilakukannya malah berujung petaka.
Membawa pada sebuah kesalahpahaman yang mengharuskan Zena dan Satya menikah hari itu juga.
Setelah pernikahan, Satya memperlakukan Zena dengan sangat baik hingga hal itu perlahan membuat sang istri jatuh cinta.
Namun suatu kebenaran membuat Zena harus menelan pil pahit, karena Satya ternyata sudah punya kekasih.
Bagaimana kisah selanjutnya?
Apakah perasaan Zena akan terbalas? atau dia hanya menjadi peran antagonis di kisah cinta suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dara Kirana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Patah hati
Pukul lima sore Satya pulang ke rumah, Zena membukakan pintu untuknya.
"Tumben bukain pintu." Melangkah masuk.
"kebetulan aku sedang duduk di ruang depan, dengar suara bel ya aku bukalah masa harus nunggu Bibi," kilah Zena padahal sedari tadi ia menanti kan kepulangan suaminya.
"Oh begitu, ya sudah Abang naik dulu ya." Mengacak rambut Zena seraya tersenyum membuah hati Zena menghangat dibuatnya.
"Ih Abang! Kusut rambutku!" Mengerucutkan bibir pura pura tak suka padahal dalam hati ia merasa seperti di sayang.
Satya melangkah ke lantai atas, saat berada di anak tangga pria itu membalikkan badan. " Zen tolong buatkan Abang teh hangat," titahnya.
"Baik Bang, mau di antar ke kamar?"
"Buatkan daja dulu."
"Siap Bos!" Mengangkat tangan memberi hormat, pria dewasa itu terkekeh lalu melanjutkan langkahnya ke lantai atas.
Dengan senang hati Zena membuatkan Satya teh hangat, gadis itu meletakkan teh buatannya di atas meja makan.
Tak tau mengapa bibirnya selalu tertarik membentuk sebuah senyuman.
"Jangan terlalu senang Zena, terlalu senang biasanya berakhir tangis," bisik hatinya berusaha menghentikan bibir yang terus menyunggingkan senyuman namun aura bahagia terlalu kuat untuk mengalahkannya.
Dua puluh menit kemudian Satya keluar dari kamarnya, menuruni satu persatu anak tangga sambil membetulkan posisi jam di tangannya.
Pria yang menggunakan pakaian casual itu nampak mempesona di mata Zena, lagi lagi gadis itu ketahuan memandangi Satya dan lagi lagi gadis itu berkilah.
"Abang tampan ya?" ucap Satya menyadarkan Zena dari keterpanaannya.
"Ah tidak, aku lihat ada kecoa di rambut Abang," imbuh Zena asal.
"Kecoa?" Satya mengerutkan kening tak mengerti apa yang di katakan istrinya padahal dirinya baru saja mandi.
"I... iya tapi sudah pergi sekarang," sahutnya gugup.
Satya terkekeh melihat Zena yang salah tingkah dengan wajah yang bersemu, seketika perasaan pria itu jadi tidak enak. Ia menangkap sesuatu yang lain dari gadis di depannya ini.
Tak mengindahkan ucapan Zena lagi Satya langsung saja membawa minuman yang di buat istrinya ke ruang keluarga.
Tak lama kemudian Zena menyusul suaminya, ia duduk di sofa dekat Satya.
"Kenapa?" Melirik sekilas lalu meketakkan cangkir teh yang baru saja di sruputnya.
"Tidak, aku hanya kesepian kalau tidak ada teman ngobrol."
"Oh begitu, bagaimana hari ini?" tanya Satya sembari menyalakan televisi.
"Begitulah."
"Begitulah bagaimana?" Mengganti saluran Televisi mencari acara yang menarik, tak lama kemudian Satya mematikan televisi.
"Zen boleh Abang bertanya?"
"Tentu saja, kenapa harus izin dulu. " Zena terkekeh, hatinya lagi benar benar bahagia yang entah apa sebabnya, sejak tadi gadis itu tak henti hentinya tersenyum.
"Apa kamu punya perasaan lebih sama Abang?" Menatap Zena.
"Kenapa Abang bertanya seperti itu?" Memandang ke arah lain.
"Jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan Zen."
"Ya, Zena sayang sama Abang," ucapnya penuh keberanian, Satya merasa ada sesuatu menghujam jantungnya. Ini tak seperti yang ia harapkan.
"Maksudnya sayang sebagai kakak kandung," timpal Zena setelah melihat ekspresi Satya, sungguh hatinya perih. Terlihat jelas jika Satya tak menginginkan di cintai oleh dirinya, namun siapa yang dapat mencegah jika rasa itu hinggap di hati Zena mengingat selama ini Satya selalu berlaku baik padanya, hati siapa yang tak luluh.
"Oh Syukurlah kalau begitu." Menghela napas lega.
"Jangan pernah salah mengartikan atas perlakuanku padamu Zen, semua itu ku lakukan hanya semata mata karena tanggung jawab, aku juga bukanlah tipe pria kasar." Kembali menyeruput teh.
"Iya Bang, Zena ngerti kok hehe." Menyembunyikan perasaan dengan tawanya, agar terlihat baik baik saja padahal hatinya hancur berkeping keping.
"Abang juga menyayangimu sama seperti Syifa ya walau kadang kau menyebalkan," ujarnya seraya meletakkan cangkir.
"Iya Bang, aku juga menganggap Abang seperti kakak kandung. Kan aku tidak punya kakak, tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorang kakak." Memaksa tersenyum.
"Dan sekarang kau dapat merasakannya dari Abang."
"Iya, terima kasih sudah berbaik hati Bang."
"Iya Adikku, Abang senang punya adik baik sepertimu, adik Abang nambah satu lagi hehe."
"Katamu aku menyebalkan!"
"Terkadang." Menguarkan handphone dari saku celana.
"Buktinya kau menolong Abang waktu di kampung kalau tidak mungkin abang sudah meninggal." Tambahnya.
"Ya ya, itu karena nenek kalau tidak sudah ku hanyutkan Abang," Zena keceplosan langsung membekap mulutnya.
"Apa?" tanya Satya lagi, tadi kurang jelas ia mendengarnya sebab sibuk berbalas pesan.
"Ah tidak, aku ke kamar dulu ya Bang." Pamit Zena.
"Tunggu dulu!"
Zena yang sudah berdiri mengurungkan langkahnya. "kenapa lagi Bang?"
"Abang mohon jika ada sedikit saja rasa cinta di hatimu untukku maka tepislah perasaan itu sebelum terlalu dalam, kamu tahu kan kalau Abang tidak mungkin membalas perasaanmu jika itu sampai terjadi. kamu juga tahu siapa yang Abang cinta."
"Hahaha, Abang jangan terlalu ge er aku tidak akan mungkin jatuh cinta padamu, Abang tenang saja dan tidak perlu takut karena aku cuma menganggap Abang sebagai kakak tidak lebih," ucapnya berusaha setenang mungkin, namun jauh di lubuk hati Zena begitu sakit, Perasan yang baru saja tumbuh itu harus di paksa mati oleh kenyataan.
"Siapa tahu, kan Abangmu ini sangat mempesona," canda Satya namun tak di hiraukan oleh Zena.
Gadis itu menaiki anak tangga dengan langkah gontai, tulang tulangnya terasa remuk tak ada kekuatan untuk menyangga bobot tubuhnya.
Sekuat tenaga ia menyeret kaki agar segera sampai ke dalam kamar, belum lagi bulir bulir bening di sudut mata mulai menyembul dan tak sabar untuk segera di alirkan.
"Zen!" panggil Satya namun gadis itu memilih berpura pura tidak mendengar dan segera menghilang di balik pintu kamarnya.
Zena menutup pintu kamar lalu meluruh di lantai sambil memegangi dada yang terasa sesak, wania itu menumpahkan air matanya yang sejak tadi ia tahan.
"Oh ya Allah tolong aku, hatiku benar benar sakit. salahkah aku mencintai suamiku sendiri? dosakah aku ya Allah?" ratapnya.
"Begini kah perasaan pacarnya setelah tau Bang Satya telah menikah denganku? pasti rasanya lebih sakit dari ini," masih sempat terlintas di pikiran Zena bagaimana keadaan Eva dulu.
"Apakah ini hukuman untukku karena telah mengambil milik orang lain, tapi ... hiks hiks hiks," bibirnya bergetar.
"Tolong aku ya Allah... bebaskan aku dari siksa perasaan ini, musnahkan rasa cintaku padanya, biarkan aku mencintaimu saja ya Allah." Air mata gadis itu menetes hingga ke lantai.
"Sebab mencintaimu tak pernah membuatku sakit."
Tak mau larut dalam patah hatinya, Zena menyeka air mata lalu melangkah ke kamar mandi. Sepertinya mandi adalah pilihan yang tepat utuk mendinginkan isi kepalanya yang berkecamuk.
Saat waktu makan malam Zena sengaja tidak turun karena matanya bengkak akibat menangis tadi, untuk mengalihkan pikirannya gadis itu memilih menonton film action di handphone.
Semetara Satya justru makan sendiri, serasa ada yang kurang di meja itu tanpa kehadiran Zena.
Satya merasa khawatir pada Zena karena sejak tadi sore masuk kamar gadis itu belum keluar juga.
Sebelum meninggalkan meja makan Satya berpesan pada bi Maya dan bi Nia agar memastikan istrinya makan malam.
Tok tok tok!
Satya mengetuk pintu seraya memanggil nama si penghuni kamar. "Zen!"
Satya melakukannya berkali kali namun tetap tak ada jawaban dari dalam.
"Sepertinya aku harus membeli kunci duplikat," gumamnya menuju kamarnya.
Tentu saja Zena tak mendengar, karena di telinganya terpasang headset.
Dirinya tak fokus pada jalan cerita film yang di tonton nya karena sedari tadi gadis itu banyak melamun.
Di tengah malam perut Zena berbunyi karena ia melewatkan makan malam demi menghindari Satya, ia tak ingin pria itu banyak bertanya apa yang menyebabkan matanya bengkak.
Wanita itu mengendap-ngendap ke dapur me cari makanan.
"Non!" sapa bi Nia dan bi Maya mengejutkan Zena yang ternyata belum tidur.
"Astagfirullah Bi." Memegangi dadanya.
"Non lapar? biar bibi siapkan," ucap bi Maya.
"Bibi kok belum tidur?"
Kedua pelayan tersebut tak ada yang menjawab pertanyaan Zena, mereka justru sibuk menyiapkan makanan untuk majikannya itu.
"Tidak udah Bi, saya mau makan di kamar," ucapnya lalu mengambil makanan untuk di bawa ke kamar.
"Zen!" suara magnetis itu mengehentikan gerakan tangan Zena, sendok lauk yang ia pegang menggantung di udara.
Matanya membulat seraya jantung berpacu cepat seperti pencuri yang tertangkap basah.
Bersambung...
Halo readersku tercinta...
Yuk baca juga novel karya Author gemoy kita, yang pasti kisahnya sangat menarik untuk di ikuti 👇
Judul novel CINTA YANG DIABAIKAN karya mama Reni.
Arumi Nadya Karima, seorang wanita yang terlahir dari keluarga berada.
Hidupnya semakin sempurna saat menikahi seorang pria tampan yang bernama Gibran Erlangga.
Dua tahun pernikahannya Gibran selalu perhatian dan memanjakan dirinya. Arumi mengira dirinya wanita paling beruntung, hingga suatu hari kenyataan pahit harus ia terima.
Gibran ternyata selama ini menduakan cintanya. Perhatian yang ia berikan hanya untuk menutupi perselingkuhan. Arumi sangat kecewa dan terluka. Cintanya selama ini ternyata diabaikan Gibran. Pria itu tega menduakan dirinya.
Apakah Arumi akan bertahan atau memilih berpisah?
ada" ajah...