Tiba-tiba saja nenek menyuruhku menikah dengan pria kurang mapan. Aku adalah seorang wanita yang memiliki karier mapan!! Apa yang harus aku lakukan? Kenapa nenek memilih laki-laki dibawah standarku? Apa sebenarnya tujuan nenek?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ErKa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 29 - Honeymoon Part 2
Di restoran, Rizal sibuk
melayani Tia. Dia menyuruh Tia untuk duduk, sementara dia wara-wiri mengambil
berbagai macam makanan. Dari tingkahnya sepertinya dia sangat terbiasa menginap
di hotel semewah itu. Tia memperhatikan gerak-geriknya dengan seksama. Betapa
tampannya laki-laki itu?? Bahkan diantara tamu-tamu hotel lainnya, laki-laki
itu masih terlihat menonjol. Benarkah laki-laki itu suaminya? Betapa butanya
dia selama ini, menyia-nyiakan laki-laki setampan dan sebaik ini hanya untuk
orang-orang seperti Alex, huftt…
Dari kejauhan Tia melihat
seorang wanita berjalan mendekati Rizal. Dari situ dia sudah memiliki firasat
buruk. Bak adegan sinetron, wanita itu berpura-pura terjatuh didekat Rizal
sehingga dengan reflek Rizal memegang lengan wanita itu. Dengan berpura-pura
tersipu-sipu malu wanita itu mengucapkan terima kasih dan memulai percakapan
dengan suaminya.
Tia merasa jengah melihanya,
ingin sekali dia menghampiri wanita itu dan mendampratnya. Ketika kakinya sudah
merasa gatal untuk melangkah, tiba-tiba saja Rizal memandangnya. Sembari
berbicara pada wanita itu, Rizal menunjuknya dan menatapnya dengan tatapan
sayang.
DEG
Jantungnya seolah berhenti
berdetak. Waktu seolah-olah berhenti. Yang terlihat hanya tatapan matanya yang
penuh cinta. Ingin rasanya dia terbang dan memeluk laki-laki itu.
Kemudian wanita tak dikenal itu
mengikuti arah yang ditunjuk Rizal dan matanya bertemu pandang dengan mata Tia.
Terlihat raut wajah yang dipenuhi rasa malu, kemudian wanita itu buru-buru
untuk pamit dan berlalu dari hadapan Rizal. Dengan santai Rizal berjalan ke
arahnya.
“Siapa wanita tadi?” tanyanya
menyelidik.
“Gak tahu. Gak kenal.”
“Kok kayaknya akrab gitu?”
“Katanya dia sendirian, minta
ditemenin makan. Ya udah Mas bilang aja kalo lagi sama istri, gak bisa nemenin.
Trus si mbak itu minta maaf dan pergi deh…”
“Ohhhh… berarti kalo gak sama
istri, mau dong nemenin.” Tia berkata dengan nyinyir. Dia sadar nada suaranya
sudah dipenuhi dengan kecemburuan, dia tidak bisa menahannya.
“Ya gak lah sayang…
“Gak usah panggil-panggil
sayang!!’ Tia mendelik dan memalingkan wajahnya. Kalau saja istrinya itu ada
rasa sedikit saja padanya, pasti Rizal sudah berasumsi bahwa istrinya itu
sedang cemburu. Tapi dia tahu diri, istrinya belum mencintainya jadi tidak
mungkin cemburu.
***
Rizal dan Tia menikmati malam
itu sembari menatap keindahan kota Malang. Dari kejauhan tampak lampu
berkelap-kelip bagaikan bintang-bintang di gelapnya malam. Ketika sedang asyik
menatap keindahan itu, dua orang waitres datang ke tempat mereka sembari
membawa makanan dan minuman.
“Selamat malam, Bapak dan Ibu.
Izinkan Kami untuk memberi hadiah spesial bagi Bapak dan Ibu karena sudah
menjadi pelanggan ke seratus Kami hari ini.” dengan senyum ceria, kedua waitres
meletakkan makanan dan minuman di atas meja mereka. Tia dan Rizal hanya saling
berpandangan.
“Serius ini Mas?” tanya Tia
masih tidak percaya.
“Iya Ibu, ini reward Kami untuk
pelanggan-pelanggan Kami agar tetap setia berkunjung ke hotel Kami. Mohon
kiranya Bapak dan Ibu bisa menikmatinya.” Setelah berkata seperti itu, dua
waitres itu mohon untuk undur diri. Tia menoleh pada Rizal.
“Gimana neh Mas? Beneran ni
makanan buat Kita? Apa gak salah ngasih?”
“Sepertinya gak sih Dek. Ya udah
dinikmatin aja. Lumayan kan malem-malem dapat camilan gratis hehe.”
Di meja terhidang berbagai macam
buah yang telah terpotong-potong rapi, beberapa roti kering, biskuit, jus
jeruk, jus apel, susu, dan kopi. Dengan santai mereka mencicipi satu per satu
hidangan yang ada. Tak beberapa lama kemudian, Tia mulai merasa gerah. Padahal
suhu di kota Batu tergolong rendah, dan angin malam bertiup cukup kencang untuk
membuatnya kedinginan.
“Kok panas banget ya Mas?” Tia
menoleh pada Rizal, raut wajahnya mulai gelisah. Pipinya mulai memerah, mulai
timbul tetesan keringat dikeningnya.
“Udara dingin gini kok bisa
kepanasan Dek?” Rizal memperhatikan istrinya dengan seksama. Dia merasa ada
yang aneh dari gerak-gerik istrinya.
“Kamu sakit Dek?” Rizal
meletakkan tangannya di kening Tia. Merasakan sentuhan tangan Rizal, Tia
gemetar. Dia memegang tangan Rizal dan tidak melepaskannya. Pandangan matanya
mulai berkabut, tidak lagi fokus.
“Panas Mas... Pengen mandi...
Geraaaahhh...” Tia mulai menarik-narik bajunya, seolah-olah baju itu sangat
mengganggunya.
“Sepertinya Kamu demam Dek, ayo
Mas antar ke kamar.” Dengan lembut Rizal membimbing istrinya ke kamar. Sebelah
tangan Tia memeluk pinggang Rizal dengan erat. Sedangkan sebelahnya lagi
berusaha meraih leher Rizal, ingin bergelayutan manja. Rizal sebenarnya sangat
tidak keberatan atas tindakan istrinya itu, namun karena mereka masih di lobby
hotel, Rizal merasa sungkan dengan mata tamu-tamu lain yang melihat mereka.
***
Sesampainya di kamar, Tia
langsung masuk ke kamar mandi. Dari suara guyuran air, sepertinya istrinya itu
sedang mandi, ingin sekali Rizal menyusulnya. Dia merasa ada yang salah dengan
tingkah laku istrinya. Kalau melihat dari tanda-tandanya sepertinya wanita itu
tidak demam. Wajahnya memerah, napasnya berat dan tingkah lakunya lebih berani
dibandingkan biasanya, apakah istrinya sedang terangsang?? Kok bisa?? Rizal
mulai berpikir. Apa ada yang salah dengan yang mereka makan? Kalau istrinya
bisa terangsang dengan makanan, kenapa dia tidak? Pikirannya masih jernih,
tidak ada tanda-tanda bahwa dirinya terangsang kecuali setiap kali melihat
istrinya dia pasti terangsang, tapi itu hal yang wajar kan? Suami mana yang
tidak akan terangsang bila memiliki istri seperti Mutia? Kulit putih, wajah
imut-imut, badan proporsional dan... Rizal menghentikan lamunannya.
Sembari menunggu istrinya
selesai mandi, Rizal melakukan beberapa panggilan. Entah siapa yang diajaknya
bicara. Selesai melakukan pembicaraan di telepon, Rizal kembali di kamar. Dia
melihat istrinya sudah selesai mandi dan sedang bergelung dibawah selimut yang
hangat. Dengan hati-hati Rizal mendekatinya.
“Masih gerah Dek?”
“Hu’um.” Tia mengangguk-anggukan
kepalanya.
“Ya sudah, AC nya sudah Mas
hidupin. Dibuat tidur aja ya Dek, nanti gerahnya hilang-hilang sendiri.” Tia
kembali mengangguk-anggukan kepalanya. Rizal menyelimuti tubuh istrinya,
kemudian dia berbaring diranjangnya sendiri, pikirannya menerawang.
Sebenarnya, bisa saja dia
mengambil kesempatan ini. Istrinya dalam kondisi lemah, tanpa perlindungan. Dia
bisa menyerang kapan saja dan istrinya akan menerimanya tanpa perlawanan. Tapi
dia bukan laki-laki seperti itu. Dia tidak akan memaksakan kehendaknya tanpa
persetujuan kedua belah pihak. Sembari menghembuskan napas, Rizal memejamkan
matanya berusaha untuk bisa tertidur.
Tengah malam Rizal terbangun
oleh rabaan tangan di dadanya. Dia merasa ada tubuh hangat yang sedang bergelung di dadanya. Kecupan-kecupan lembut nan basah
mendarat di lehernya, sementara itu sepasang kaki langsing nan putih sedang
menindihnya. Rizal terbangun dan mendapati istrinya sudah berada diatasnya,
menindih dan menciumnya.
***