Menjelang hari pernikahannya, Amara menghilang tanpa jejak. Dengan waktu yang semakin sempit, keluarga calon pengantin pria mendesak agar pernikahan tetap berlangsung demi nama baik. Helena, adik Amara yang diam-diam mencintai tunangan kakaknya, Lucian, dipaksa menjadi pengantin pengganti.
Namun ketika ia menerima peran itu dengan hati yang penuh luka, Helena menemukan jejak kejanggalan: apartemen Amara yang terlalu rapi, koper yang tertinggal, dan waktu yang tidak sinkron dengan hari hilangnya Amara. Semakin ia melangkah ke dalam pernikahan, semakin besar pula misteri yang membayangi keluarga mereka.
Jejak-jejak ganjil tentang hilangnya Amara membuat Helena ragu: apakah ia sedang mengambil tempat seorang pengantin yang kabur, atau menggantikan seseorang yang sudah tak akan pernah kembali?
.
Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar hanyalah fiktif belaka, tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
follow ig: @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Suara pembawa acara menggema lembut, meminta hadirin untuk duduk lebih tenang. Musik berhenti, digantikan keheningan penuh wibawa. Semua mata kini tertuju ke arah meja akad yang telah disiapkan, dihiasi taplak putih dan bunga segar.
Helena merasakan tenggorokannya mengering. Ia masih bisa merasakan tatapan Rafael menusuk dari kejauhan, membuatnya hampir goyah. Ia ingin sekali berlari, menuntut jawaban, menanyakan di mana Amara sebenarnya.
Namun suara ibunya dari barisan depan terdengar pelan tapi tegas, seolah menjadi belenggu. “Tenanglah, Helena. Jangan bikin masalah. Semua mata tertuju padamu.”
Helena menunduk, mengalihkan pandangannya dengan paksa. Ia meremas jemarinya sendiri, jantungnya berdegup kencang tak terkendali.
Di hadapannya, Lucian maju ke depan. Wajahnya tetap tenang, tatapannya lurus. Ia menyalami penghulu dengan mantap.
Hening menyelimuti ruangan. Hanya terdengar suara penghulu yang mulai membaca rangkaian ijab kabul. Kata-kata sakral itu terasa semakin berat di telinga Helena, seperti rantai yang mengikat tanpa bisa dilawan.
Sekilas, ia kembali melirik ke sudut ruangan. Rafael masih di sana, berdiri tegak dengan ekspresi tak terbaca. Namun kali ini, tatapannya tampak lebih dalam, seperti menyimpan sesuatu yang hendak diungkap, tetapi ditahan.
Helena buru-buru menunduk lagi, menutup matanya sesaat. Amara, di mana kau sekarang? Apa yang sebenarnya terjadi?
Lalu suara Lucian terdengar jelas, tegas, tanpa keraguan.
“Saya terima nikahnya Helena Hussein Biancardi dengan maskawin tersebut dibayar tunai.”
Ruangan seketika pecah oleh suara saksi yang serempak menjawab.
“Sah.”
Helena membuka matanya, tapi kali ini, sudut ruangan tempat Rafael berdiri… sudah kosong.
Gemuruh tepuk tangan dan ucapan syukur memenuhi aula megah itu. Musik kembali mengalun, lembut tapi meriah, mengiringi momen sakral yang baru saja sah diucapkan. Para tamu satu per satu berdiri, mulai mengantre untuk memberi selamat kepada pasangan pengantin baru.
Helena berdiri di sisi Lucian, tubuhnya kaku seakan bukan miliknya sendiri. Tangannya terasa dingin, meskipun senyum tipis harus ia paksakan demi menjaga nama keluarga.
"Selamat atas pernikahannya Mr. Kaelith."
Tamu pertama datang, seorang pebisnis internasional dengan jabatan tinggi, menggenggam tangan Lucian erat, lalu menyalami Helena. Ucapan selamat mengalir silih berganti, tetapi Helena hanya mendengar gemuruh samar di telinganya. Matanya terus mencari-cari ke sudut aula.
Rafael… ke mana dia pergi?
“Selamat datang di keluarga Kaelith, Helena.”
Suara lembut tapi penuh pesona itu menarik perhatian Helena. Sabrina, adik perempuan Lucian, tersenyum sambil menggenggam tangannya hangat. Wajahnya cantik, dengan sorot mata yang sedikit berbeda, ramah, namun terasa penuh penilaian.
“Semoga kakak bisa membuatnya bahagia,” lanjut Sabrina lirih, hampir seperti sebuah pesan yang memiliki makna tersirat.
Belum sempat Helena menjawab, Alfred, adik laki-laki Lucian, menepuk bahu kakaknya dengan bangga. “Akhirnya, semua orang menunggu momen ini, Bro. Kau benar-benar terlihat seperti pria paling beruntung di dunia.”
Lucian hanya tersenyum tipis, menunduk sopan, lalu melirik sekilas pada Helena. Senyum itu… dingin, formal, tidak menyiratkan sedikit pun kehangatan hati.
Helena kembali menoleh ke arah tamu-tamu yang berdesakan. Ia merasa sesak. Matanya terus menelusuri ruangan, mencari sosok Rafael. Namun meski aula begitu penuh, ia tak lagi menemukan bayangannya.
'Apa aku berhalusinasi? Tidak mungkin. Aku melihatnya jelas. Itu Rafael… sahabat Amara.'
Helena menarik napas dalam-dalam, tapi senyum tetap terpajang di wajahnya. Ia harus bertahan. Namun jauh di dalam hatinya, kegelisahan makin membesar - ijab kabul sudah sah, namun misteri justru semakin mengikat.
Lampu kristal di aula besar berkilauan, memantulkan cahaya keemasan ke seluruh ruangan. Musik orkestra mengalun, dan aroma bunga mawar putih bercampur dengan wangi lilin aromaterapi, menambah kesan anggun nan megah. Para tamu berdansa di lantai marmer, sementara yang lain berbincang dengan gelas sampanye di tangan.
Helena duduk di kursi pelaminan bersama Lucian. Gaun putihnya berkilau di bawah cahaya lampu, tetapi hati dan pikirannya berada di tempat lain. Senyum terpaksa masih terukir di bibirnya, menerima ucapan selamat dari tamu yang terus berdatangan.
Lucian, dengan setelan jas hitam yang sempurna, berdiri penuh wibawa. Ia berbicara dengan para pebisnis dan kolega keluarga, wajahnya tenang, nyaris tak terbaca. Sesekali, ia menoleh pada Helena hanya sekadar memastikan sang "pengantin pengganti" tetap menjalankan perannya.
Namun Helena tak bisa tenang. Pandangannya terus menyapu setiap sudut aula, mencari sosok yang tadi sempat ia lihat, Rafael. Sahabat Amara.
Ketika musik berubah menjadi lebih cepat, tamu-tamu mulai mengajak pengantin baru berdansa. Lucian meraih tangan Helena, mengajaknya turun ke lantai dansa. Semua mata tertuju pada mereka.
"Apa yang kau pikirkan? Jangan mengacaukan pernikahan ini, Helena. Semua orang menyorot kita hari ini, pesta ini harus berakhir sempurna." Bisik Lucian tajam di telinga Helena.
"Aku tahu,"
Helena menari mengikuti langkah Lucian, tubuhnya berputar anggun, namun matanya tak pernah berhenti mencari. Setiap kali ia berputar, tatapannya menyapu ruangan, ke arah meja buffet, ke sudut ruangan dekat bar, ke balkon yang menghadap taman.
'Dia di sini… aku yakin tadi itu Rafael. Tapi ke mana dia menghilang?'
Helena hampir kehilangan ritme tarian karena pikirannya terganggu, membuat Lucian menatapnya sejenak dengan ekspresi tak suka. Ia cepat-cepat menutupinya dengan senyum, melanjutkan langkahnya dengan lebih hati-hati.
Saat tarian berakhir, Helena berpura-pura ingin mengambil minum. Ia berjalan melewati kerumunan tamu, jantungnya berdegup kencang. Pandangannya terus mencari, namun wajah Rafael tak juga terlihat.
Hanya ada tatapan asing, senyum-senyum basa-basi, dan sapaan orang-orang yang memuji betapa menawannya dirinya malam ini. Tapi bagi Helena, semua itu terasa hampa.
Di tengah pesta yang gemerlap, ia merasa semakin gelisah. Kehadiran Rafael atau bayangan dirinya terasa seperti pesan samar. Pertanyaan demi pertanyaan menumpuk di benaknya, bercampur dengan rahasia besar yang tak seorang pun berani ungkapkan.
Helena menyingkir dari keramaian pesta dengan dalih ingin menghirup udara segar. Gaunnya berayun lembut mengikuti langkahnya melewati kerumunan tamu yang bercakap-cakap sambil tertawa. Musik dansa masih mengalun dari balik pintu, namun suara itu perlahan meredup ketika ia berjalan menuju lorong menuju balkon.
Di tengah perjalanannya, seorang pria berpakaian rapi, mungkin salah satu tamu, melewati Helena. Gerakannya cepat, seolah hanya sekadar tidak sengaja bersenggolan. Namun dalam sekejap, Helena merasakan sesuatu diselipkan ke dalam telapak tangannya.
Ia terhenti. Jantungnya berdegup kencang. Pria itu sudah berbaur lagi dengan tamu lain, seolah tak pernah melakukan apa-apa. Helena menggenggam erat benda kecil itu: selembar kertas terlipat rapi.
Ia terus berjalan tanpa menunjukkan ekspresi aneh, mencoba menahan rasa panik. Akhirnya, ia tiba di balkon. Udara malam yang dingin menyambutnya, membawa aroma bunga mawar dari taman di bawah.
Dengan tangan bergetar, Helena membuka lipatan kertas itu. Tulisan tangan tergesa, namun jelas terbaca di bawah cahaya lampu balkon:
Di mana Amara?
Helena terdiam. Napasnya tercekat.
Pikiran-pikiran berputar dalam kepalanya. Siapa yang menulis ini? Mengapa memberikannya padaku? Apa mereka tidak tahu Amara hilang? Atau justru… mereka tahu sesuatu yang keluargaku sembunyikan?
Helena menggenggam kertas itu erat-erat, merasakan tubuhnya gemetar. Di balik pesta yang penuh cahaya, ia merasa seolah bayangan kelam sedang mendekat, menelannya sedikit demi sedikit.
Helena masih menatap kertas itu, jemarinya gemetar, ketika suara pintu balkon berderit. Ia buru-buru melipat kertas itu kembali dan menyelipkannya ke balik gaun tepat saat langkah berat mendekat.
“Helena.”
Suara dalam dan tegas itu membuat jantungnya hampir melompat. Lucian berdiri di ambang pintu balkon, siluet tubuhnya tegap, jas hitamnya berkilau di bawah cahaya lampu. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya tajam menusuk.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya, nadanya datar namun penuh teguran. Ia melangkah mendekat, menutup jarak di antara mereka. “Ibuku menyuruhku mencarimu. Tamu-tamu masih ingin menyampaikan selamat. Kau tak bisa menghilang begitu saja.”
Helena menelan ludah, mencoba menahan gugup. “Aku… hanya butuh udara segar sebentar.”
Lucian mendesah, ekspresi wajahnya menunjukkan ketidaksabaran. “Kau tahu apa artinya hari ini, bukan? Semua mata tertuju pada kita. Kau harus tetap ada di sampingku, apa pun yang terjadi.”
Nada suaranya terdengar dingin, lebih seperti perintah daripada kekhawatiran. Helena menunduk, menyembunyikan jemarinya yang masih gemetar karena kertas rahasia itu.
Lucian menatapnya sejenak, lalu menambahkan dengan suara yang lebih rendah, “Aku tidak ingin ada kesan buruk terhadap keluarga kita. Jadi, tolong… jangan membuatku terlihat buruk di depan mereka.”
Helena hanya bisa mengangguk kecil. Ia merasa dadanya sesak antara karena ucapan Lucian, atau karena rahasia di tangannya yang baru saja ia temukan.
Lucian kemudian menyodorkan tangannya. “Ayo. Mereka menunggu.”
Helena meletakkan tangannya di lengan Lucian, mengikuti langkahnya kembali masuk ke aula, namun pikirannya masih terhenti di kalimat itu:
Di mana Amara?
...***...
...Like, komen dan vote....
...💙💙💙...