Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.
"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.
Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.
Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.
Aditya.
Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CEMAS
Jalanan ibu kota pagi itu sedikit lenggang, seolah kota sedang memberi jeda pada kesibukannya. Mobil yang dikendarai Adit melaju dengan kecepatan stabil, tidak terburu-buru, namun juga tidak santai. Di balik kaca jendela, gedung-gedung tinggi dan pepohonan yang berbaris di pinggir jalan hanya menjadi bayangan yang lewat begitu saja.
Di dalam kabin mobil, suasana jauh berbeda dari biasanya. Tidak ada gurauan ringan Adit. Tidak ada cerita kecil dari Asha tentang tugas kuliah atau dosen favoritnya. Hening menguasai seluruh ruang, begitu pekat hingga suara hembusan AC terdengar jelas.
Adit menatap lurus ke depan. Jemarinya menggenggam setir terlalu erat, buku-bukunya menegang. Dari sudut matanya, Asha ingin bicara, ingin bercerita seperti biasanya. Namun, ia bisa menangkap bahwa suaminya itu tidak sepenuhnya hadir di sana untuk hari ini. Ada sesuatu yang menggantung di pikirannya—sesuatu yang sepertinya berat, yang tak sanggup ia lepaskan dari benaknya.
Sesekali Adit menarik napas panjang, namun tetap tak berkata apa-apa. Tanpa ia sadari, tanpa ia inginkan, ia sudah mengkhianati perempuan yang duduk tepat di sampingnya. Jemarinya perlahan mengeras, memegang kemudi. Ia benci dengan keputusan yang ia buat dan ia benci pada dirinya sendiri.
"Mas?" Kata Asha kemudian, setelah cukup lama mempertimbangkan untuk bicara. Kuku-kuku ibu jarinya saling menggesek, "Ka-kamu... sepertinya lagi banyak pikiran. Kenapa?"
Adit berdeham, mengejutkan dirinya sendiri. "Hmmm-mmm." Sekilas, ia menoleh memandang Asha lalu kembali menatap jalanan. "Eng-enggak kok, sayang."
"Beneran, Mas?" Desak Asha. "Soalnya aku lihat dari kamu pulang... kamu diam terus. Gak biasanya."
Adit tersenyum tipis. "Ya. Sedikit ada kendala di kantor." Ucapnya bohong. Padahal, masalah pekerjaan di kantor tempat ia bekerja aman dan selalu baik-baik saja, baik untuk masalah internal maupun eksternal. Dan, ia selalu memastikan hal itu.
"Dan mungkin aku masih lelah," Sambung Adit.
Asha hanya mengangguk. Dan satu hal lagi yang Adit benci, wanita itu nampak sangat mempercayainya.
Tak lama, mobil menepi dan perlahan masuk ke area gedung fakultas. Asha meraih tas di belakang lalu menatap lurus Adit. "Mas, kamu gak balik ke kantor, kan? istirahat aja di rumah."
Adit mengangguk pelan, menyembunyikan sesuatu di balik senyumnya yang terlalu tipis. “Kamu gak perlu khawatir. Aku baik-baik aja.”
“Iya, Mas. Kalau begitu… aku ngajar dulu, ya.” kata Asha tersenyum kecil, berusaha memulihkan suasana. Ia membuka pintu mobil lalu turun. Langkahnya pelan namun mantap menuju gerbang kampus.
Mendadak, ia membeku di tempat. Detik itu juga, tanpa sadar ia menoleh ke belakang—ke arah mobil yang baru saja ia tinggalkan.
Adit belum pergi.
Pria itu masih duduk di dalam mobil, sedikit membungkukkan tubuhnya ke depan. Ponsel menempel di telinganya. Wajahnya tegang. Tatapannya tidak mengarah ke kampus, tapi lurus ke kaca depan, seperti sedang menyembunyikan sesuatu dari siapa pun yang melihat.
Asha memerhatikan gerak bibirnya yang cepat… dan terlalu pelan. Seolah ia tidak ingin siapa pun mendengar.
Mas Adit telepon siapa? Pertanyaan itu muncul begitu saja, menusuk benaknya.
"Ya udah, kamu tenang dulu ya. Aku kesana sekarang." Kata Adit lalu menutup sambungan secara sepihak. Rahangnya mengeras. Ia mengembuskan napas dalam-dalam, kedua tangannya menggenggam setir dengan tekanan yang membuat buku jarinya memutih.
Detik berikutnya, Adit menatap jendela mobilnya. Ia sedikit tersentak, Asha yang ia kira sudah menghilang dari pandangan, ternyata mematung di sana. "Maafin aku, Asha." Gumamnya menelan saliva. "Maaf."
Ia berpaling dan menatap lagi ke depan, menyalakan lagi mesin dan menarik tuas persneling. Dalam satu gerakan, ia perlahan melesatkan mobilnya pergi. Dan, ia tahu persis ke mana ia harus pergi sekarang juga.
****