Anaya White memaksa seorang pria asing untuk tidur dengannya hanya untuk memenangkan sebuah permainan. Sialnya, malam itu Anaya malah jatuh cinta kepada si pria asing.
Anaya pun mencari keberadaan pria itu hingga akhirnya suatu hari mereka bertemu kembali di sebuah pesta. Namun, siapa sangka, pria itu justru memberikan kejutan kepada Anaya. Kejutan apa itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irish_kookie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lamaran Dadakan
Satu minggu berlalu tanpa satu pun pesan dari Josh.
Tidak ada pesan ataupun telepon dari pria yang sudah dinanti-nantikan oleh Anaya.
Bahkan sekedar pesan suara permintaan maaf pun tidak ada. Padahal , Anaya merindukan suara Josh dengan suara baritonnya yang sering membuat hati Anaya luluh.
Selama satu minggu ... Tidak! Tiga bulan satu minggu! Ya, sudah selama itu, Anaya harus menahan rindu dan sepi yang hampir membunuhnya.
Sampai akhirnya, hari itu datang juga. Suara bel pintu terdengar di kediaman Anaya.
Anaya membuka pintu sedikit dan mendapati buket mawar putih besar yang terlalu mewah untuk tidak mencuri perhatian.
Aromanya lembut, segar, dan menyebalkan karena cantik.
Di dalam buket itu ada kartu kecil dengan tulisan khas tangan Josh. "Dinner tonight? Josh.”
Anaya mengerucutkan bibir.
Buket itu tidak disentuh. Diletakkan begitu saja di meja ruang tamu seperti dekorasi yang kebetulan lewat.
“Cih! Akan kubiarkan bunga itu mati, tapi jangan sampai harga diriku mati,” gumamnya sambil melipat tangan.
Malam tiba lebih cepat dari yang Anaya mau. Sedari siang, dia menunggu kedatangan Josh, sambil sesekali melihat kartu kecil yang dialamatkan kepadanya.
Namun, harga diri gadis itu terlalu tinggi untuk sekedar membalas ajakan Josh itu.
Sialnya, hati kecil Anaya terlalu murahan. Dia berharap Josh datang menjemputnya. Mencumbu hangat dan memeluknya dengan penuh kerinduan.
Ketika rasa rindu yang nyaris membuatnya gila itu datang, Anaya akan menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
Jam belum menujukkan pukul tujuh malam, tapi seseorang sudah membunyikan bel pintu rumahnya.
Anaya segera berlari ke cermin untuk mengecek penampilannya.
Dia tidak memakai gaun malam, rambut panjangnya yang tadi dia gerai, dia gulung seadanya, kemudian dia menghapus pelembab bibir di bibirnya.
Setelah puas dengan penampilannya itu, dia mengangguk. "Oke!"
Sebelum membuka pintu, Anaya mengecek dari kamera pengawas dan terlihat Josh sudah berdiri di depan pintu.
Rasa rindu yang tadi meluap-luap, kini membuat hatinya luluh.
Jantung Anaya berdebar kencang. Dia memegang dadanya sambil berucap, "Jangan luluh! Ingat harga dirimu, Anaya!"
Setelah mengembuskan napas panjang, Anaya membuka pintu dan begitu pintu terbuka, Josh berdiri di sana.
Pria itu memakai kemeja polos berwarna hitam dengan lengan digulung. Harum tubuh Josh dengan cepat masuk ke indera penciuman Anaya dan segera menyatu dengan aliran darahnya.
“Ada perlu apa ke sini?” tanya Anaya ketus, menyilangkan tangan.
Josh mengembuskan napas, seolah sudah menyiapkan pidato panjang. “Nay, aku minta maaf.”
“Aku memang memilih Kanaya satu pekan ini. Tapi, itu ada alasannya." Josh menatap matanya langsung. “Dan aku menghilang bukan karena aku tidak peduli padamu.”
Anaya menahan bibirnya agar tidak bergetar.
Josh mendekat setengah langkah. Suaranya melembut. “Aku hanya tidak mau melihat Kanaya hancur. Aku pernah melihatnya sekali dan aku tidak mau, kali ini terjadi lagi padanya. Apalagi penyebab kehancuran dirinya itu aku."
Anaya mengerutkan kening. Josh melanjutkan. “Kanaya sudah kehilangan keluarga dua kali. Kalau saat itu, aku tetap memilihmu. Dia akan lari malam itu juga dan hancur. Usianya masih sangat muda. Masih 12 tahun dan dia sudah berdiri selama ini tanpa kehadiran seorang ayah."
Kata-katanya jatuh pelan, tapi berat. “Aku mau Kanaya tahu bahwa tak peduli apa pun yang terjadi, dia tetap anakku. Bukan soal darah.”
Josh menelan ludah. “Dan kalau suatu hari nanti kita menikah, aku mau dia merasa aman. Aku mau hubungan kalian baik.”
Anaya memalingkan wajah, mengusap sudut matanya diam-diam. “Kau bisa mengatakan ini padaku sebelumnya, Josh."
“Aku tahu.” Josh menunduk, suaranya serak. “Aku salah dan aku minta kesempatan untuk memperbaikinya.”
Ada keheningan sesaat. Kemudian Josh bersandar pada kusen pintu. “Boleh aku masuk? Atau, kau mau terus marah di ambang pintu sampai tetanggamu mengira kita sedang shooting sebuah drama?”
Anaya mendengus. “Masuklah!”
Di dalam, suasana lebih tenang. Lampu ruangan redup. Buket bunga masih tergeletak di meja, terlihat seperti ‘barang bukti’ sebuah kejahatan hubungan.
Josh memperhatikannya. “Kau sengaja meletakkannya di sana?”
“Tentu saja,” jawab Anaya ketus. “Kau pikir hanya dengan sebuah karangan bunga, hatiku akan luluh dengan cepat?”
Josh tersenyum miring, sedikit nakal. “Harapanku seperti itu, sih."
Anaya refleks memukul lengannya pelan. “Aku masih marah!”
“Ya.” Josh mendekat, menyentuh pinggangnya perlahan. “Tapi hatimu menjerit, kalau kau sangat merindukanku.”
“Siapa yang mengatakan seperti itu? Huh! Percaya dirimu patut kuacungi jempol!” Suara Anaya melemah.
Josh menempelkan keningnya di kening Anaya dengan hangat dan menenangkan. “Aku merindukanmu juga, Nay.”
Tangan Anaya refleks naik, mendorong dada Josh, tapi tidak benar-benar mendorong.
Keduanya saling tatap. Ketegangan itu tidak bertahan lama karena Josh menariknya ke dalam pelukan.
Pelukan yang sudah ditahan seminggu dan pelukan itu berhasil meluluh lantakkan sisa-sisa pertahanan Anaya.
“Aku berjanji, tidak akan meninggalkanmu lagi, Nay," kata Josh.
Anaya merasakan ritme jantung Josh yang cepat. Perlahan tapi pasti, hatinya sekarang sudah luluh. Pertahanan dan harga dirinya berserakan tak tentu arah.
“Kau benar-benar laki-laki penuh tipu daya, Josh,” bisiknya pelan.
Josh mencium pelan dagu Anaya. "Ya dan aku berhasil membuatmu terpaku hanya padaku, hehehe."
Anaya tidak menjawab atau lebih tepatnya tidak sempat.
Karena Josh sudah mencium bibirnya. Dalam. Lambat. Seolah menebus seminggu yang hilang.
Ciuman itu menuntut, memohon maaf, dan berjanji sekaligus.
Dalam hitungan menit, keduanya sudah terombang-ambing dalam ketegangan yang jauh dari kekesalan seminggu lalu.
Anaya terbaring di ranjang, Josh di atasnya, tubuhnya hangat, napasnya memburu, tangannya mengusap sisi wajah dan leher Anaya dengan hati-hati.
“Nay,” Josh berbisik serak di telinganya. “I love you."
Anaya menggenggam kerah Josh, membiarkan tubuh mereka semakin dekat. “Kau masih berhutang banyak padaku, Josh. Banyak sekali.”
Josh tertawa kecil. “Hmm, baiklah. Aku akan membayarnya sekarang.”
Suasana di rumah itu mulai memanas. Ciuman mereka semakin dalam.
Napas mereka saling memburu. Pakaian melonggar, jatuh satu per satu.
Namun, di tengah situasi yang panas, romantis, dan tidak bisa diundur lagi itu, Josh tiba-tiba berhenti.
Anaya mengerjap. “Kenapa?”
Josh memejamkan mata, mengumpat pelan. “Sial.”
“Apa?” tanya Anaya setengah menyesal karena Josh berhenti di saat dia nyaris naik.
Josh bangkit sedikit, wajahnya memerah karena malu.
Dia mengusap wajahnya, lalu menghela napas panjang. “Aku ... Aku sebenarnya ingin melamarmu malam ini.”
“Di ranjang?” Anaya mengangkat alis.
“Tidak!” Josh menatap langit-langit, frustasi. “Di restoran! Dengan lilin dan musik romantis! Tapi sekarang, kita bahkan tidak berpakaian dan aku tidak mungkin melamarmu dengan kondisi seperti ini!"
Anaya menahan tawa tapi gagal. “Aduh, Josh!”
Josh menunduk, wajahnya pasrah. “Ini bukan momen yang aku rencanakan. Tapi, ...,”
Josh meraih kotak kecil dari saku celananya yang entah bagaimana masih ada di ujung ranjang.
Dia membuka kotaknya. Sebuah cincin bertahtakan berlian kecil berkilau.
Josh mendongak, napasnya berat, suaranya serak dan tertahan. “Anaya White, maukah kau menikah denganku?”
***