Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya, masing-masing menyimpan ingatan, kekuatan, dan dosa. Dunia mengejarnya, menyebutnya iblis yang harus dihancurkan — tapi Wuyan punya rahasia yang lebih gelap: ia tidak hanya satu entitas, melainkan ribuan jiwa yang terperangkap dalam satu tubuh.
Jika ia menolak salah satu wajah, sisi itu bisa memberontak dan mencabik jiwanya dari dalam. Tapi jika ia menerima semuanya … ia bisa menjadi musuh terbesar dunia.
Kini Wuyan harus bertarung bukan hanya untuk hidupnya, tapi untuk mendamaikan semua sisi dirinya yang paling menakutkan — sebelum wajah-wajah itu membunuhnya dari dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 — Pelarian ke Lembah Gelap
Langit malam menurunkan hujan tanpa henti, seolah bumi ingin melarutkan segala jejak dosa yang menempel padanya. Di bawah siraman air dingin itu, Shen Wuyan berlari melewati jalan berbatu yang menurun tajam, meninggalkan Sekte Langit Tenang yang kini menyalakan gong perburuan. Suara dentumannya menggema sampai jauh, pecah di antara kabut dan tebing, seperti gema nasib yang tidak bisa ia hindari.
Baju putihnya sudah berubah abu-abu kehitaman, robek di bahu, basah menempel di kulit. Setiap langkah berat, tapi ia tidak berhenti. Di sampingnya, bayangan ikut berlari dengan langkah serupa — tidak mendahului, tidak tertinggal, hanya sejajar. Kadang ia berpikir itu hanya pantulan cahaya obor dari jauh, tapi setiap kali ia berhenti, bayangan itu tetap bergerak.
“Tak ada tempat lagi untukmu,” suara itu berbisik tanpa membuka mulut. “Bahkan langit pun menolakmu sekarang.”
“Aku tahu,” jawab Wuyan pendek. Napasnya putus-putus, tapi sorot matanya tajam. “Aku tidak mencari tempat. Aku mencari arah.”
Bayangan tertawa, suara tawanya seakan menyusup lewat tulang. “Arah? Kau bahkan tidak tahu ke mana kakimu melangkah.”
Ia tidak menjawab. Di hadapannya, jalan menurun berakhir pada celah batu besar yang tertutup kabut tebal. Pohon-pohon hitam tanpa daun tumbuh di sekitarnya, akar mereka mencengkeram tanah seperti urat yang membusuk. Hujan berubah menjadi embun dingin yang menempel di kulit, dan dunia di sekelilingnya terasa seperti menahan napas.
Di atas celah batu itu terukir tulisan tua dalam bahasa kuno:
Masuklah hanya jika kau tak lagi takut kehilangan wajahmu.
Wuyan mendongak menatapnya. Tulisan itu tampak bergetar dalam cahaya kilat yang sesekali membelah langit. “Seolah mereka tahu aku akan datang,” katanya pelan.
“Semua yang kehilangan diri mereka akan berakhir di sini,” sahut bayangan itu tenang. “Kau hanya datang lebih cepat dari kebanyakan.”
Wuyan menatap celah itu lebih lama. Di dalamnya, kabut bergerak seperti napas makhluk raksasa yang sedang tidur. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti menginjak batas dunia. Tapi di belakangnya, gong sekte kembali berdentum. Pilihan sudah tidak ada. Ia melangkah masuk.
Begitu melewati celah itu, udara berubah. Suara hujan lenyap, tergantikan oleh gema aneh—bukan dari langkahnya sendiri, tapi dari sesuatu yang mengikuti. Tanah yang ia pijak bukan lagi tanah biasa; warnanya abu-abu gelap, basah seperti campuran darah dan kabut.
Di kedua sisi lembah, wajah-wajah samar muncul dari gumpalan kabut — menangis, tertawa, berbisik tanpa suara. Mereka muncul dan menghilang seperti bayangan yang mengingat sesuatu dari masa lalu. Wuyan berjalan pelan di antaranya, merasakan udara dingin menembus hingga ke tulang.
“Inikah lembah jiwa-jiwa yang gagal?” gumamnya.
“Tempat mereka yang menolak dihapus,” jawab bayangan di sampingnya. “Mereka memilih retak daripada lenyap.”
Wuyan berhenti sejenak. Ia memandangi wajah-wajah itu — beberapa tampak seperti manusia, beberapa seperti bentuk yang belum selesai. Semuanya mengandung kesedihan yang tidak bisa dijelaskan. Dalam hening itu, ia merasa seolah setiap tatapan mereka menembus dirinya, memantulkan sisi-sisi yang pernah ia sembunyikan.
Ia berjalan lagi, menuruni jalan sempit di antara batu-batu tinggi. Di setiap langkah, kabut menyentuh kulitnya seperti jari-jari yang dingin dan lembut. Lembah ini tidak hanya tempat, tapi perasaan—seperti memasuki pikirannya sendiri.
Bayangan berbicara lagi, suaranya lebih lembut, hampir seperti suara yang ia kenal dari masa lalu.
“Kau masih berusaha menolak dirimu, Wuyan. Lihat sekeliling. Semua di sini berhenti berpura-pura. Mereka bebas karena berhenti menolak apa yang mereka jadi.”
“Bebas?” Wuyan tersenyum getir. “Mereka bahkan tidak tahu siapa mereka lagi.”
“Itulah kebebasan sejati,” bisik suara itu. “Tanpa nama, tanpa wajah.”
Ia berhenti melangkah. Kabut di depannya menggumpal, menebal, lalu perlahan membentuk sosok yang berdiri tegak—bayangannya sendiri. Sama tinggi, sama rupa, tapi matanya lebih gelap, lebih dalam.
“Apa kau?”
Sosok itu tersenyum samar. “Aku wajah yang kau buang.”
Hening panjang tercipta. Hanya suara kabut yang bergolak, seperti napas dari sesuatu yang tidak seharusnya hidup. Di sekeliling mereka, wajah-wajah dalam kabut mulai bergerak pelan, menatap mereka berdua.
“Jangan percaya padanya,” bisik salah satu wajah dari kabut.
Yang lain berbisik, “Atau jangan percaya pada dirimu.”
Kata-kata itu berputar, membentuk gema yang menusuk kepala Wuyan. Ia menutup matanya, tapi suara-suara itu tidak hilang. Setiap bisikan terasa seperti serpihan dari pikirannya sendiri yang dihidupkan kembali.
Ia berlutut, menahan sakit di pelipis, lalu berkata dengan suara rendah, “Aku tidak akan menyerah pada bisikan.”
Bayangan menatapnya dari atas, ekspresinya tidak lagi menyerupai dirinya. “Kau masih percaya ada garis antara kau dan aku. Tapi di sini, garis itu tidak pernah ada.”
Wuyan menarik napas panjang, berusaha menstabilkan pikirannya. “Kalau begitu, aku akan menciptakan garis itu sendiri.”
Bayangan tertawa pelan. “Dan berapa lama kau bisa mempertahankannya?”
Suara tawa itu memantul di lembah, membentuk gema berlapis-lapis yang seolah berasal dari ribuan mulut. Di antara kabut yang berputar, wajah-wajah lain ikut tersenyum, seperti menirukan bayangan itu.
Wuyan melangkah mundur. Hawa dingin menelusup ke tulang belakangnya, tapi ia tetap menatap sosok di depannya. “Kau bukan aku.”
“Benar,” jawab bayangan itu. “Aku lebih jujur darimu.”
Saat kata-kata itu diucapkan, langit lembah bergetar, kabut menebal, dan tanah di bawah Wuyan mulai berdenyut. Dunia seolah bereaksi terhadap pertentangan itu. Wajah-wajah di udara menjerit, bukan dengan suara, tapi dengan ekspresi yang menyakitkan untuk dilihat.
Wuyan menggenggam dadanya. Dari dalam tubuhnya muncul sinar samar, abu-abu berkilat, seolah jiwa dan bayangan berusaha saling menelan.
“Cukup,” katanya parau. “Aku belum siap menyerahkan diriku.”
Bayangan mendekat. “Belum siap? Kau sudah mulai berubah sejak hari hujan di lereng timur. Kau pikir keputusanmu sendiri lahir darimu? Semua lahir dariku.”
Cahaya di tubuh Wuyan berdenyut lebih kuat. Kabut di sekitar mereka berputar semakin cepat, dan suara dari lembah mulai berubah menjadi raungan halus yang tak memiliki asal.
“Kalau begitu,” katanya, “aku akan belajar menolak bahkan diriku sendiri.”
***
Kabut di sekeliling Wuyan berputar semakin cepat. Batu-batu di dasar lembah bergetar, memantulkan suara yang terdengar seperti napas manusia. Wajah-wajah di udara saling bertabrakan, berubah menjadi pusaran besar dari ingatan yang tidak sempurna. Dalam hiruk-pikuk bisu itu, hanya ada dua sosok yang berdiri — Wuyan dan bayangannya.
Bayangan itu melangkah maju. “Kau menyebut ini perlawanan, tapi lihat sekelilingmu. Setiap kali kau melawan, sesuatu di dunia ikut retak. Kau bukan hanya menolak aku, tapi menolak dunia yang membentukmu.”
Wuyan menahan napas. Ia merasa berat di dadanya semakin besar, seperti seseorang menekan jantungnya dari dalam. “Aku tidak akan menyerah pada kebohongan, bahkan jika kebohongan itu diriku sendiri.”
Senyum bayangan melebar, samar tapi mengancam. “Kau tidak mengerti. Aku bukan kebohongan. Aku adalah bagian yang kau sembunyikan setiap kali kau berusaha terlihat manusia.”
Kalimat itu menampar kesadarannya seperti belati dingin. Ia teringat tatapan para tetua sekte, rasa jijik yang mereka sembunyikan di balik kata-kata suci. Teringat bagaimana bahkan gurunya menatap dengan ketakutan yang ia coba sebut ‘kasih’. Dunia yang menolak wajah iblis dalam dirinya — mungkin sejak awal, semua penolakan itu lahir dari keinginan mereka untuk menghapus bagian yang kini berdiri di hadapannya.
Ia tidak bergerak. Kabut perlahan menelan sebagian tubuhnya, tapi matanya tetap menatap sosok itu dengan tenang. “Kalau kau memang bagian dariku,” katanya perlahan, “maka aku takkan lagi melarikan diri darimu. Tapi jangan berpikir aku akan membiarkanmu memimpin.”
Bayangan menunduk sedikit, matanya menyala samar. “Maka kita akan lihat siapa yang lebih kuat untuk menjadi ‘aku’.”
Tanah di bawah mereka pecah. Dari celah-celah retakan muncul sinar kelabu, membentuk lingkaran aneh yang berdenyut seperti jantung. Batu-batu di sekitarnya ikut melayang perlahan, dan udara menjadi pekat, hampir tak bisa dihirup.
Wuyan mengangkat tangannya. Di telapak tangannya muncul simbol retak berbentuk mata. Simbol itu bergetar, menyebarkan garis cahaya ke udara. Dari bawah, bayangan menirukan gerakannya, tapi simbol di tangannya berwarna hitam pekat, seolah menyerap cahaya yang keluar dari tubuh Wuyan.
Dua kekuatan itu saling berhadapan — abu-abu dan hitam, terang dan gelap, tapi keduanya berasal dari sumber yang sama.
“Lihat?” kata bayangan dengan nada dingin. “Bahkan cahaya yang kau keluarkan sudah mengandung bayangan.”
Wuyan tidak menjawab. Ia mengerahkan seluruh kesadarannya, menarik kekuatan jiwa yang tersisa. Hawa dingin merambat dari ujung jari hingga ke tulang. Lingkaran cahaya di sekitarnya berdenyut semakin cepat, tapi tubuhnya juga mulai gemetar. Bayangan itu melangkah lebih dekat, lalu menyatu sebagian dengan kabut, membuat wujudnya tampak bergelombang seperti air.
“Berhenti melawan,” ucapnya dengan suara yang berubah menjadi banyak, seolah ribuan Wuyan berbicara bersamaan. “Kau tidak bisa membunuh dirimu sendiri tanpa ikut hancur.”
Tapi Wuyan tetap menatap lurus ke arah depan. “Aku tidak berusaha membunuh. Aku berusaha mengenali.”
Dalam sekejap, ia merapatkan kedua telapak tangannya, menggabungkan dua simbol itu menjadi satu. Cahaya dan kegelapan bertemu. Lembah bergetar keras, batu-batu pecah, dan kabut seolah tersedot ke satu titik. Dari pusaran itu muncul suara seperti gemuruh ribuan air mata yang jatuh bersamaan.
Cahaya meledak.
Ketika kabut mulai mereda, Wuyan tersungkur di tanah. Nafasnya berat, tubuhnya terasa ringan dan kosong. Di depannya, bayangan masih berdiri, tapi wajahnya kini retak di bagian pipi dan dahi, seperti cermin yang dilempar ke batu.
Sosok itu masih menatapnya. “Kau menang setengah,” katanya pelan. “Tapi setengah lainnya akan menunggumu di dalam.”
“Di dalam mana?”
“Dalam lembah ini… dan dalam dirimu.”
Wuyan berusaha berdiri, tapi tubuhnya terasa rapuh. Ia memandangi lembah di sekitarnya — sekarang lebih tenang, tapi wajah-wajah di udara menatapnya dengan pandangan berbeda. Tidak lagi menakutkan, melainkan seperti menyaksikan sesuatu yang telah mereka tunggu.
Bayangan yang retak itu perlahan mundur ke belakang, lalu lenyap menyatu dengan kabut. Hanya suaranya yang tersisa, mengambang samar di udara. “Perjalananmu belum berakhir, Wuyan. Ini baru awal dari pengakuan.”
Ia menatap ke depan, dan di kejauhan, di antara kabut, terlihat sesuatu yang lain: siluet seorang pria berdiri di tepi sungai yang berwarna kelabu. Sosok itu tampak jelas, mengenakan jubah hitam panjang, rambutnya terurai, dan di tangannya ada lonceng kecil yang bergetar tanpa suara.
“Shen Wuyan…” panggilnya.
Langkah Wuyan goyah tapi ia berjalan. Setiap langkah seperti menembus udara yang padat, setiap napas terasa seperti menelan air. Saat jarak mereka semakin dekat, wajah sosok itu perlahan terlihat — dan Wuyan terpaku.
Itu dirinya. Tapi tidak sama. Wajah itu lebih tua, mata lebih dalam, dan di dahinya ada retakan hitam yang berdenyut seperti urat hidup.
“Siapa kau?” tanya Wuyan pelan.
Sosok itu menatapnya tanpa emosi. “Aku wajah kedua.”
Dunia mendadak sunyi. Bahkan kabut berhenti bergerak. Wuyan berdiri mematung, sementara sungai kelabu di samping mereka memantulkan dua bayangan yang identik namun berlawanan arah.
Wajah kedua menunduk, lalu berbicara dengan nada datar yang penuh kepastian. “Kau telah melangkah ke lembah ini, berarti kau telah menolak dunia manusia. Sekarang, hanya dua pilihan tersisa — tenggelam dalam arus atau mengendalikannya.”
“Aku tidak ingin memilih,” jawab Wuyan. “Aku hanya ingin mengerti siapa aku.”
“Pemahaman tidak akan menyelamatkanmu. Di sini, hanya mereka yang menerima bentuk akhirnya yang bisa bertahan.”
Wuyan menatap air sungai itu, melihat wajahnya sendiri berganti menjadi puluhan rupa — murid muda dengan mata bersinar, pengembara berdarah, dan bayangan dengan tawa dingin. Semuanya dirinya, semuanya benar. Ia menatap kembali sosok di hadapannya. “Kalau begitu, tunjukkan apa artinya menerima.”
Wajah kedua mengangkat tangan, dan dari telapak tangannya keluar kabut hitam pekat. Kabut itu menyelimuti mereka berdua, menghapus garis antara udara dan tanah. Dalam kegelapan itu, Wuyan merasa jiwanya ditarik — bukan keluar, tapi ke dalam, seolah seluruh lembah masuk ke dalam dadanya.
Suara-suara mulai muncul dari segala arah: tawa, tangis, doa, jeritan, semuanya bercampur. Ia tidak bisa membedakan mana suara manusia, mana suara dirinya sendiri. Tapi di tengah hiruk pikuk itu, satu kalimat bergema paling jelas:
“Selamat datang di lembah di mana wajah-wajahmu tidak bisa lagi berbohong.”
Lalu cahaya lembut muncul dari tanah. Wajah kedua perlahan memudar, tapi suaranya tetap terdengar. “Kau sudah membuka gerbang pertama. Dari sini, setiap langkah akan menghapus satu lapisan dirimu. Kau siap kehilangan segalanya?”
Wuyan tidak menjawab. Ia menatap langit lembah yang kini berubah menjadi abu-abu lembut. Untuk pertama kalinya sejak meninggalkan sekte, ia merasa tenang — bukan karena aman, tapi karena tidak ada lagi yang harus ia pertahankan.
Ia menatap sungai di depannya, lalu melangkah ke dalamnya. Air kelabu itu terasa dingin seperti logam dan tajam seperti ingatan. Setiap langkah menimbulkan riak yang berubah menjadi wajah-wajah yang berbisik, menatapnya dengan mata kosong.
“Apakah ini jalan iblis?” gumamnya.
Suara yang menjawab datang dari dalam dirinya sendiri: “Ini jalan kebenaran.”
Ketika air mencapai dadanya, ia berhenti. Di bawah permukaan, ia melihat bayangan wajah kedua, masih menatap dari dasar sungai, seolah menunggu. Di sekelilingnya, suara lembah berubah lembut, seperti nyanyian jauh.
Wuyan memejamkan mata dan membiarkan air menutupi dirinya sepenuhnya. Tidak ada rasa takut. Tidak ada amarah. Hanya keheningan panjang dan kesadaran bahwa semua yang ia lawan — manusia, iblis, bahkan dirinya sendiri — adalah satu dan sama.
Ketika ia membuka mata kembali, langit sudah berubah. Kabut tidak lagi hitam, melainkan putih kebiruan. Di udara, serpihan cahaya melayang seperti abu yang bersinar. Ia berdiri di tepi sungai, tapi bayangannya sudah tidak ada.
Hanya suara samar yang tertinggal, berbisik di udara lembah yang tenang:
“Kau akhirnya memilih menjadi dirimu.”