NovelToon NovelToon
When The Game Cross The World

When The Game Cross The World

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Transmigrasi ke Dalam Novel / Kebangkitan pecundang / Action / Harem / Mengubah Takdir
Popularitas:454
Nilai: 5
Nama Author: Girenda Dafa Putra

Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.

Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.

Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.

Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Serangan Final Cru

...Chapter 29...

Tanpa peringatan, Cru mengedipkan mata lalu membuka kembali, dan seketika angin dahsyat melesat deras dari arahnya menuju Theo.

Angin itu membentuk spiral berputar, tekanannya terus meningkat, seolah menekan setiap inci ruang di sekitar Theo, dan sejenak membuatnya terhenti di tempat.

Dalam alam bawah sadarnya, kata MATI dan MATI berulang menerobos kesadaran Theo, disertai bayangan panah pink berkilau yang diliputi cahaya, listrik, air, dan tanah, meluncur menembus spiral angin tepat ke arah jantungnya.

Tubuh Theo menegang.

Kesadaran beradu dengan rasa sakit nan mencekik, sementara hampir seluruh pilihan bertahan telah habis.

Tubuhnya yang setengah sujud berusaha berdiri kembali, kaki gemetar hebat di atas tanah, lengan kiri terasa mati rasa dan hampir tidak mampu digerakkan.

Dengan usaha terakhir, ia memindahkan pedang dari tangan kiri ke tangan kanan, menahan napas sejenak, lalu menempatkan bilah tajam tepat di bawah garis serangan panah.

Posisi itu bukan serangan maupun teknik khusus, hanya benteng sederhana nan menghalangi jalur panah menuju jantungnya.

'Sampai kapan pun, aku takkan tunduk, enggan mengatakan kata menyerah hanya karena tubuh ini remuk!

Kau dengarkanku, Cru?

Sekalipun kau—Administrator, penguasa sistem, penelan dunia—menghancurkan realitasku, menghancurkan Flo Viva Mythology sampai jadi debu, aku tetap Theo Vkytor!

Namaku tidak akan terhapus.

Karyaku tidak akan padam.

“Last Prayer” bukan sekadar novel, itu doa terakhir yang bahkan kematian pun tak sanggup bungkam!

Huuuuuh!

'Dunia boleh menelan, algoritma boleh menghapus jejakku dari setiap server, tapi ingat baik-baik, bahwa aku menulis agar kehadiran ini abadi.

Aku menulis agar bahkan kau pun terikat dalam ceritaku!

Tak kubutuhkan penonton.

Tak memerlukan pengakuan.

Hanya membutuhkan satu hal—suara yang tak bisa dihentikan oleh siapa pun!'

Huuuuff!

'Selama ada tinta yang menetes di nadi, selama napas masih bisa kususun jadi kalimat, aku akan terus menulis, terus berteriak, terus menjadi Theo Vkytor—penulis gila dari dunia yang menolak punah!

Sampai kapan pun! Dunia boleh menelan, tapi aku akan menelan balik dunia itu lewat kisahku sendiri!'

Di tengah desakan angin spiral dan panah pink yang meluncur tepat ke jantung, Theo menelan rasa sakit yang membakar setiap otot dan saraf, lalu menghembuskan napas panjang seolah mengumpulkan seluruh keberanian yang tersisa.

Dalam kepalanya, kata-kata penyemangat berderet, gema dari pengalaman hidup dan kemampuannya sebagai penulis horor yang telah menaklukkan ratusan halaman cerita gelap.

Setiap kata itu menyalakan bara tekad, membentuk semacam pelindung batin yang tak kasat mata, menyatukan kecerdikan, insting, dan naluri bertahan hidupnya dalam satu simpul tanpa mudah diurai oleh tekanan luar.

Dia mengingat karya horornya, Last Prayer, yang telah membuat namanya dikenal luas, dan bayangan kesuksesan itu memberi dorongan tambahan untuk tetap berdiri, meski tubuhnya hampir lumpuh oleh cedera dan kelelahan.

Pedang di tangannya terasa seperti perpanjangan kehendak, setiap genggaman dan posisi menyalurkan energi tekad yang menolak tunduk pada bahaya yang mengancam.

Mata Theo menatap Cru, menilai setiap gerakan lawan, menghitung kemungkinan, dan menyiapkan diri untuk setiap langkah yang mungkin akan membawanya selamat dari maut.

Di tengah kekacauan itu, spiral angin masih menekan tubuhnya, panah pink terus menembus turbulensi udara, namun Theo tidak membiarkan ketakutan merasuk.

Tubuhnya gemetar, tapi tekadnya membara, dan seolah dunia sekitarnya menghilang, meninggalkan hanya dirinya, pedang, dan perasaan bahwa dia harus tetap eksis, harus tetap menjadi Theo Vkytor, sang penulis yang karya-karyanya abadi meski dunia game Flo Viva Mythology berusaha menelan realitasnya.

Sampai kapan pun!!

'Takkan kupejamkan mata… tidak untuk serangan sepele seperti ini.'

Tiiiing!

'Dentangnya yang teramat indah. Seperti lonceng yang menandai babak baru dari cerita yang seharusnya sudah tamat.'

Fuuuuuh!

“Akhirnya, sang pahlawan yang dijanjikan, datang setelah semua konflik usai dan debu pertempuran telah lama mereda.

Ilux Rediona."

'Akhirnya kau datang juga.

Menghalangi serangan Cru dengan kedua lenganmu yang kini bukan lagi sekadar daging dan tulang—melainkan perisai nan menahan gravitasi, yang bisa menahan rotasi rutin berjuta-juta galaksi, bahkan menunda putaran semesta hingga batas tak terhingga.'

Dentang logam terdengar memecah kesunyian, dan Theo tetap mempertahankan fokusnya.

Bola mata tidak melebar maupun menyipit meski tubuhnya menahan sakit dari benturan sebelumnya.

Setiap detik terasa melambat, setiap gerakan udara di sekitarnya tampak lebih jelas, seakan dunia berhenti sejenak untuk menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ia menutup mata sesaat, menarik napas yang dalam, dan terkekeh pelan, sebuah senyum tipis yang menandakan kepuasan sekaligus kesiapan menghadapi babak baru.

Segala cedera dan rasa nyeri di tubuhnya menjadi latar belakang, sementara pikirannya memusat pada satu titik.

‘Kesempatan untuk bertahan dan menantang keadaan yang tampak mustahil.’

Saat membuka matanya kembali, pandangan Theo bertemu dengan sosok yang baru muncul di arena pertarungan, hadir dengan aura kekuatan yang memancar tanpa harus berkata sepatah kata pun.

Ilux Rediona, pahlawan yang datang terlambat, melangkah dengan keyakinan nan menyejukkan namun menggetarkan.

Tubuhnya memancarkan Inti Lu yang cukup untuk menandingi bencana yang baru saja menimpa Theo.

Dengan gerakan cepat dan tepat, Ilux membubarkan panah yang dilepaskan Cru dengan kedua lengannya yang berubah menjadi perisai, sebuah pertunjukan kekuatan yang tak hanya menyelamatkan, tetapi juga menegaskan bahwa hadirnya sang pahlawan akan mengubah seluruh arah pertarungan.

Theo menyaksikan setiap gerakan Ilux, dan rasa lega mulai merayap perlahan ke dalam dirinya.

Tubuh yang semula gemetar kini sedikit lebih stabil, cedera nan terasa membatasi gerakan tidak lagi sepenuhnya menaklukkan kehendak bertarungnya.

Matanya menyorot dengan ketajaman baru.

Bukan hanya karena rasa aman yang diberikan Ilux, tetapi karena tekadnya sendiri untuk tetap hadir di medan ini dan membuktikan kapasitasnya.

Kehadiran Ilux bukan sekadar penyelamat, tetapi juga pengingat bahwa dalam kekacauan dan bahaya, ada celah untuk harapan, ada ruang bagi strategi dan kecerdikan manusia yang luar biasa.

Pahlawan itu telah hadir.

“Penjahat kelamin yang bahkan tidak mampu membela bahu dan bagian selangkangannya sendiri.

Sungguh sebuah spesimen yang jarang, Theo Vkytor.

Malang secara moral, fisik, dan jati diri.”

"Huuuuh."

Fuuuuuuss!

“Tak ingin kudengar cercaan itu keluar dari mulut penjahat kelamin yang telah semena-mena menyentuh area intim dan tubuh perempuan.”

'Karena pada akhirnya, kami berdua tidak memiliki perbedaan.

Bukankah demikian, keparat Ilux?'

Theo menggeser pedangnya kembali ke depan menggunakan tangan kanan.

Tubuhnya masih menahan nyeri dari benturan sebelumnya, sementara matanya menatap Ilux yang tetap menghadap ke depan.

Kepala Ilux hanya menoleh ke kiri, sekilas menatap Theo tanpa sepenuhnya membelakangi arah pertarungan, dan ejekan nan terlontar terdengar seperti angin dingin yang menampar wajah.

Julukan yang diberikan Ilux mengenai nasib Theo dan penjahat kelamin terdengar menyakitkan namun tak mengejutkan, karena Theo sudah terbiasa menghadapi hinaan, olok-olok, dan kemalangan yang menempel di setiap langkahnya

Dengan satu gelengan kepala, Theo menandai ketidakterimaannya atas ejekan itu, serta menunjukkan bahwa dalam dunia mereka, tidak ada bedanya antara satu penjahat kelamin dan yang lain.

Semuanya sama dalam ketidakberuntungannya.

Keadaan pertarungan yang sebelumnya kacau semakin tampak nyaris tak terkendali tanpa intervensi Ilux.

Cru masih menyiapkan serangan-serangan nan mengancam, angin berputar dan anak panah spiritual masih menari di udara seolah menunggu korban berikutnya.

Theo menahan napas, menyadari bahwa setiap detik menentukan apakah ia mampu bertahan atau harus tersingkir, dan rasa sakit di lengan kirinya yang cedera semakin terasa membatasi gerakan.

Bersambung….

1
Asri Handaya
semangat berkarya ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!