 
                            Sepuluh tahun menikah bukan menjadi jaminan untuk terus bersama. gimana rasanya rumah tangga yang terlihat adem-adem saja harus berakhir karena sang istri tidak kunjung mempunyai anak lantas apakah Aisy sanggup di madu hanya untuk mendapatkan keturunan?? saksikan kisahnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Aisy tak bergerak. Tubuhnya seperti membeku di tempat, hanya matanya yang terus terpaku pada sosok di kejauhan itu sosok yang pernah ia cintai sedalam luka yang kini berusaha ia sembuhkan.
Reyhan melangkah pelan mendekat. Sorot matanya bukan lagi seperti dulu bukan tatapan angkuh yang selalu merasa benar, tapi tatapan seorang lelaki yang kehilangan arah, mencari sesuatu yang sudah lama ia hancurkan sendiri.
“Aisy...” panggil Reyhan dengan suara berat, hampir bergetar.
Aisy menelan ludah. Suara itu masih sama suara yang dulu membuatnya tenang, tapi juga pernah membuat dadanya hancur berkeping. Ia ingin menjawab, tapi bibirnya terasa kelu.
Kenny menatap keduanya bergantian. Ia tidak berkata apa-apa, tapi posisinya sedikit bergeser, berdiri setengah di depan Aisy, seperti refleks melindungi. Tatapannya tenang, tapi tajam, membaca situasi dengan cepat sebagaimana ia biasa menghadapi pasien trauma di lapangan.
Reyhan berhenti dua langkah di depan mereka. Ia menatap Kenny sesaat, lalu beralih ke Aisy.
“Aku nyari kamu ke mana-mana,” katanya lirih. “Aku cuma mau bicara, Aisy... cuma itu.”
Aisy memalingkan wajah. “Kita sudah bicara cukup waktu itu, Mas.” Suaranya pelan, tapi tegas. “Aku sudah tidak mau kembali ke masa itu lagi.”
“Tapi aku belum selesai minta maaf,” balas Reyhan cepat. “Aku tahu aku nggak punya hak apa-apa lagi, tapi tolong... satu kali aja dengar aku.”
Kenny menatap Aisy dengan tenang, mencoba membaca ekspresi yang campur aduk di wajahnya. Lalu ia berucap lembut, tapi cukup tegas untuk memecah keheningan.
“Kalau kamu mau bicara, sebaiknya di tempat yang pantas, Pak. Aisy baru saja selesai evaluasi, dan saya rasa dia tidak perlu tekanan tambahan hari ini.”
Reyhan menghela napas berat. “Saya cuma butuh lima menit. Tolong, saya mohon.”
Nada suaranya lebih seperti permohonan dari seseorang yang sedang tenggelam, bukan lagi amarah seperti dulu.
Aisy menunduk. Hatinya bergetar hebat.
Satu sisi dirinya ingin berlari sejauh mungkin, tapi sisi lain... sisi yang masih belum sembuh sepenuhnya, masih ingin tahu apakah lelaki itu sungguh menyesal.
Akhirnya, ia menarik napas dalam.
“Baik. Lima menit saja,” katanya pelan. “Tapi setelah itu, semuanya selesai.”
Kenny menatapnya dalam diam, seolah ingin memastikan Aisy benar-benar yakin. Ketika Aisy memberi anggukan kecil, ia pun menepuk pelan bahunya. “Saya tunggu di mobil, ya,” ucap Kenny tenang, lalu melangkah pergi.
Tinggallah dua orang yang pernah saling mencinta itu berdiri di halaman pusat pelatihan di antara angin sore dan bayang masa lalu yang belum sepenuhnya padam.
Reyhan menatap wajah Aisy yang kini tampak lebih tenang, lebih matang, tapi di balik mata itu ia tahu masih tersisa luka yang ia tanam sendiri.
“Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” ucap Reyhan lirih. “Setiap malam aku nyesel. Aku ingat semua kata-kata jahatku, semua keputusan bodohku. Dan setiap kali aku lihat rumah itu tanpa kamu... rasanya kayak hidupku ikut kosong.”
Aisy terdiam lama. Matanya menatap tanah, lalu menatap Reyhan dalam-dalam.
“Penyesalanmu mungkin tulus, Mas. Tapi aku sudah melewati masa di mana aku menunggu ucapan itu. Sekarang aku cuma ingin tenang. Aku nggak mau kembali ke lingkaran yang sama.”
Reyhan menunduk, bahunya bergetar. “Aku tahu, Aisy. Aku tahu aku nggak pantas. Tapi aku cuma mau kamu tahu... aku masih cinta kamu.”
Aisy tersenyum tipis, kali ini bukan senyum getir, tapi senyum lega. “Cinta yang menyakiti nggak layak dipertahankan, Mas. Aku belajar itu dengan cara yang paling sakit. Dan sekarang... aku ingin hidupku sembuh.”
Reyhan menatapnya dengan mata basah. “Dan dia?” tanyanya lirih, menatap arah mobil Kenny. “Dia yang bantu kamu sembuh?”
Aisy menatap arah yang sama, lalu menghela napas pelan. “Bukan soal siapa yang bantu. Tapi siapa yang hadir tanpa berusaha memiliki. Itu bedanya.”
Reyhan terdiam. Kata-kata itu menamparnya lebih keras dari tangisan mana pun. Ia hanya bisa menatap Aisy, lalu perlahan tersenyum pahit. “Mungkin memang aku datangnya terlambat.”
Aisy mengangguk. “Mungkin memang begitu.”
Mereka terdiam beberapa detik, sampai akhirnya Aisy melangkah pergi meninggalkannya, meninggalkan masa lalu yang pernah ia genggam, tapi kini sudah ia lepaskan dengan tenang, tidak ada amarah ataupun rasa sakit, karena dirinya sudah melewati luka itu dengan masa yang cukup lama.
Dari kejauhan, Kenny berdiri di samping mobil, menatap Aisy yang berjalan mendekat. Ia tidak bertanya apa pun, hanya membukakan pintu dan tersenyum hangat.
“Sudah selesai?” tanyanya pelan.
Aisy mengangguk. “Sudah. Kali ini, benar-benar selesai.”
Dan untuk pertama kalinya, kalimat itu terasa seperti kebebasan hati yang selama ini ia tunggu.
☘️☘️☘️☘️☘️
Reyhan menatap Nanar atah jalanan, dengan senyum getir, cinta yang dulu tumbuh dengan kebahagiaan kini berbalik menjadi luka panjang, hati yang dulu ia genggam kini mulai memudar dengan tenang.
Ia menggusar rambutnya dengan keadaan kacau, hal yang paling ia takutkan di dalam dunia ini, benar-benar terjadi. "Ais ... kita sudah melewatinya begitu lama, kamu yang dulu aku perjuangkan luar biasa, sekarang mulai terlepas."
Roda mobil terus berjalan menyusuri jalanan kota di sore hari, angin sejuk mulai berdesis merasuk ke tubuh namun anehnya angin itu tidak bisa menyejukkan hatinya yang panas, dan sakit.
"Kau masih istriku Ais. Sampai kapan pun surat cerai tidak akan sampai ke tanganmu, aku ingin kau kembali," gumam Reyhan, meskipun tahu Aisy sudah melepaskannya.
Di tengah-tengah kerapuan hati yang melanda tiba-tiba saja handphone-nya bergetar. Dan ternyata dari Arsinta yang mengirimkan foto lucu baby-nya.
"Mas, Dedek Azam nungguin nih," tulis chat Sinta.
Reyhan hanya melihatnya sekilas, jika beberapa Minggu lalu ia begitu terharu dengan kelahiran putranya itu, namun di sisi sekarang perasaannya begitu kalut, karena wanita pertamanya kini mulai benar-benar pergi.
☘️☘️☘️☘️
Mobil Kenny berhenti di depan kontrakan kecil Aisy, keduanya saling menatap meskipun hanya tatapan biasa, Aisy tersenyum tipis, sambil berucap. "Makasih Pak Kenny," ucapnya lalu membuka pintu mobil.
Kenny menanggapinya dengan senyuman dan ikut keluar juga menyusul Aisy. "Ais ..." panggilnya dengan pelan.
"Iya Pak," sahut Ais sedikit canggung.
"Besok, boleh aku jemput kamu," ujar pria jangkung dihadapannya itu.
"Tidak usah Pak," sahut Aisy segera. "Aku tidak ingin merepotkan Bapak," imbuhnya kembali.
"Tidak apa-apa lagian kita searah," sahut Reyhan.
Aisy terdiam sesaat, dalam hati ia tidak mau merepotkan siapa-siapa, namun di sisi lain ia tidak mau menolak niat baik orang terhadapnya.
"Ais ... jangan berpikir yang tidak-tidak, aku hanya menawarkan karena kita memang searah, dan aku tidak ada niatan apapun," ucap Kenny.
Aisy hanya tersenyum kikuk. "Baiklah, tapi sekali saja ya Pak," sahut Aisy.
Kenny tersenyum kecil, lalu menatap Aisy yang berjalan menuju pintu kontrakan dengan langkah pelan dan hati-hati. Angin sore meniup ujung jilbabnya, membuat sosok itu tampak rapuh namun tetap berusaha tegar. Ia menunggu sampai pintu itu tertutup sepenuhnya, baru kemudian melangkah kembali ke mobil. Dalam hati, Kenny tahu di balik senyum tenang itu, ada luka yang belum sembuh sepenuhnya, dan entah mengapa, ia merasa dipanggil untuk memastikan luka itu benar-benar menemukan jalannya pulang.
Bersambung ...
 
                     
                     
                    