Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.
Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.
Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.
Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anak Sekecil Ini, Melawan Dunia
Harith menyelesaikan bisikannya dengan senyum tipis. Bukan senyum manis, melainkan seringai predator yang sedang mengincar mangsanya.
Dada Yasmeen bergemuruh. Itu adalah wajah yang sama. Wajah yang dulu ia kira adalah pahlawan, tapi ternyata hanyalah topeng ambisi yang kejam.
Dalam sekejap mata, bayangan masa lalu melintas. Yasmeen melihat Harith versi dewasa berdiri di sampingnya, merampas mahkota terakhir Nayyirah tanpa rasa bersalah.
Tidak kali ini, Harith, batin Yasmeen dingin. Kali ini aku bukan wanita bodoh yang buta. Kali ini, aku adalah mimpi burukmu dalam wujud bocah sepuluh tahun.
Harith menegakkan tubuh, menjatuhkan gulungan perkamen itu kembali ke pangkuan Yasmeen seolah itu sampah, lalu berbalik. Jubah hitamnya berkibar, diikuti para pengawal bayangannya.
Begitu pintu tertutup, kekosongan di ruangan itu langsung berubah menjadi kepanikan massal.
Wazir Adil, pria tua itu, nyaris ambruk kalau tidak berpegangan pada meja. Wajahnya pucat pasi.
“Sayyidah! Apa yang harus kita lakukan?” suaranya gemetar hebat. “Dia... dia menuntut rahasia negara! Ini pengkhianatan! Ini hukuman mati! Bahkan Wazir Agung saja tidak tahu rahasia dapur Kekaisaran, apalagi Nayyirah!”
Tariq melangkah maju. Rahangnya mengeras, menahan amarah yang siap meledak. Ia membungkuk sedikit di depan Yasmeen, suaranya rendah namun tajam.
“Dia sedang menguji mental Anda, Sayyidah. Dia ingin melihat apakah kita akan panik seperti tikus yang terpojok,” ujar Tariq. “Jika kita buka mulut sekarang, Nayyirah akan jadi santapannya bahkan tanpa perlu repot-repot menikah.”
Yasmeen menyentuh gulungan perkamen di pangkuannya. Isinya membosankan—teks rumit soal pajak dan perdagangan. Tapi di tangan Harith, ini adalah senjata.
Otak Yasmeen berputar cepat. Dia harus berpikir seperti Harith.
Harith butuh stabilitas. Ayahnya koma, ibunya terlalu emosional, dan para Emir lain pasti sudah mulai pasang kuda-kuda untuk menggulingkannya. Dia butuh kendali mutlak.
Dan pernikahan ini? Ini cuma cara sopan Harith bilang: 'Aku butuh hartamu untuk mengamankan tahtaku'.
“Dia tidak butuh rahasia itu dibocorkan, Wajir Adil,” kata Yasmeen pelan, namun matanya berkilat dingin. “Dia ingin aku membuktikan bahwa aku bisa menyimpan rahasia. Dia ingin tahu apakah aku layak jadi rekan bisnis, atau cuma boneka cantik pajangan istana.”
Yasmeen menatap Adil tajam.
“Jika aku memberinya laporan keuangan biasa, dia akan menertawakanku. Aku akan tetap jadi pengantin lemah yang gampang diinjak. Tidak. Aku harus memberinya kartu AS. Sesuatu yang membuatnya sadar bahwa Nayyirah bukan barang dagangan, tapi mitra yang setara.”
“Wazir Adil,” panggil Yasmeen, nadanya berubah memerintah. “Aku butuh lebih dari sekadar ringkasan ini. Cari data mentah soal tambang perak kita. Berapa banyak yang kita kirim, berapa nilai murninya, dan bandingkan dengan harga pasar gelap dua tahun terakhir.”
Adil melongo. “Sayyidah, itu mustahil! Data itu ada di gudang rahasia Kekaisaran! Saya tidak bisa—”
“Lakukan,” potong Yasmeen. Singkat, padat, tanpa ampun.
“Anggap ini bayaran karena kau sudah membawaku masuk ke sarang singa ini dengan selamat. Ini ujian loyalitasmu, Wazir Adil. Kau setia pada siapa? Pada ketakutanmu, atau pada Emir Nayyirah?”
Adil menoleh ke arah Tariq, mencari pembelaan. Tapi Tariq hanya berdiri tegak laksana pilar granit, tangan kanannya bersiaga di gagang pedang. Pesannya jelas: Bantah Sayyidah Kecil ini, dan kau berurusan denganku.
“Baiklah,” desah Adil, bahunya merosot pasrah. “Saya akan pertaruhkan leher saya. Saya kenal beberapa tikus tua di gudang arsip.”
Sepeninggal Adil, Yasmeen kembali menatap gulungan perkamen Harith.
Perbandingan Sumber Daya Air & Kompensasi Nayyirah.
“Harith ingin jaminan bahwa kerajaannya tidak akan bangkrut. Dia sudah punya air Oasis Azhar berkat kebodohan Ayahku. Tapi perak... ah, perak adalah cerita lain,” gumam Yasmeen, senyum tipis tersungging di bibirnya.
Malam itu, sayap timur istana yang dingin berubah menjadi ruang perang mini.
Tariq menjaga pintu seperti anjing penjaga neraka, memastikan tak ada lalat pun yang bisa menguping. Di dalam, Yasmeen duduk di depan meja batu besar, dikelilingi tumpukan kertas layaknya jenderal mengatur strategi perang.
Umm Shalimah menuangkan teh dengan tangan gemetar, menatap tuan putrinya yang baru berusia sepuluh tahun itu dengan tatapan nanar. Anak sekecil ini... harus melawan dunia sendirian.
Dua jam sebelum matahari terbit, pintu terbuka pelan.
Adil masuk, wajahnya cemong debu dan napasnya memburu. Di tangannya ada gulungan kecil kusam tanpa stempel resmi. Barang curian dari birokrasi kelas bawah.
“Dapat, Sayyidah,” katanya terengah-engah. “Data pengiriman perak 24 bulan terakhir.”
Yasmeen menyambar gulungan itu. Matanya menyapu deretan angka dengan kecepatan kilat.
Output perak murni. Kualitas Nayyirah memang juara, tapi bukan itu yang dia cari.
Telunjuk kecil Yasmeen berhenti di satu baris aneh. Sebuah jenis bijih perak baru yang dicatat dengan kode samar: 'Al-Wardi'. Jumlahnya sangat sedikit, tapi nilainya... gila-gilaan.
“Al-Wardi...” bisik Yasmeen. Ingatan masa depannya tersentak bangun.
Tentu saja! Di kehidupan lalu, bijih ini baru booming lima tahun setelah dia menikah dengan Harith. Ini bukan perak biasa. Ini adalah bahan utama yang dipakai para alkemis gila di Azhar untuk memurnikan emas sampai level dewa.
Dan yang lebih penting: Ini adalah kunci rahasia Harith untuk menstabilkan mata uang baru Kekaisaran. Proyek ambisius yang dia kerjakan diam-diam di belakang punggung Sultan.
Jadi Zahir si bodoh itu sudah menemukan bijih ini, tapi terlalu sibuk foya-foya sampai lupa mengeksploitasinya? Bagus.
“Wazir Adil,” suara Yasmeen terdengar penuh kemenangan. “Sejak dua tahun lalu, bijih Al-Wardi ini cuma dicatat sebagai 'sampah tambang', kan? Apakah pihak Azhar pernah memintanya?”
Adil menggeleng bingung. “Tidak pernah, Sayyidah. Setahu kami itu cuma residu tak berharga.”
“Itulah kuncinya, khali Tariq,” Yasmeen menatap pengawalnya dengan mata berbinar. “Ini adalah nyawa bagi mata uang baru yang sedang dirancang Harith. Dan cuma Nayyirah yang punya kuncinya, jauh di perut bumi tambang selatan kita.”
Ini perjudian besar. Harith bisa saja marah dan merebut paksa. Tapi Yasmeen tahu satu hal tentang Harith: Dia pebisnis yang logis. Dia tidak akan menghancurkan satu-satunya sumber daya yang bisa menyelamatkan ambisinya.
“Harith pikir dia sedang menguji kelayakanku sebagai Ratu,” gumam Yasmeen sambil menggulung peta. “Padahal, aku sedang menguji kesiapannya sebagai Raja.”
Fajar menyingsing, menyiram Kota Agung Azhar dengan cahaya keemasan.
Yasmeen sudah siap. Dia mengenakan jubah sutra terbaiknya, disulam benang emas yang berkilauan. Di leher kecilnya, tergantung kalung peninggalan Kakeknya—simbol kekuasaan mutlak. Dia terlihat seperti boneka porselen yang cantik, tapi siapapun yang menatap matanya akan tahu: ada monster yang sedang tidur di sana.
Tariq mengawalnya ke Ruang Penasihat.
Harith sudah menunggu di sana. Berdiri membelakangi jendela, tangan terlipat di belakang punggung. Dia tidak terlihat lelah sedikitpun, auranya justru makin tajam setajam pedang baru diasah.
“Emirah kecil,” sapa Harith tanpa menoleh. Nadanya meremehkan, setengah mengejek. “Matahari sudah terbit. Apa jawabanmu? Kau mau buktikan darah bangsawannmu, atau kau cuma mau pasrah jadi boneka manis yang kubeli?”
Yasmeen melangkah maju. Langkahnya mantap, dagunya terangkat.
“Yang Mulia Emir Harith. Nayyirah bukan pedagang asongan, dan saya tidak menjual rahasia murahan.”
Harith berbalik, satu alisnya terangkat. “Oh? Jadi kau menolak tantanganku?”
“Saya menerima tantangan ini sebagai deklarasi perang, dan saya membalasnya sebagai sekutu,” jawab Yasmeen. Suaranya jernih, memenuhi ruangan. “Rahasia paling mematikan Nayyirah bukan terletak pada asetnya, tapi pada kemampuan kami untuk bilang 'TIDAK'.”
Harith mendengus, tertawa pendek. “Semua orang bisa bilang tidak, Bocah. Kau cuma buang-buang waktuku. Apa kau siap jadi janda bahkan sebelum jadi istri?”
Ancaman itu mengerikan, tapi Yasmeen tidak bergeming. Dia melihat kedutan kecil di sudut mata Harith. Kena kau. Kau benci kalau ada yang tidak takut padamu, kan?
“Ayahanda Sultan punya proyek besar, kan?” tembak Yasmeen langsung. “Bukan soal Oasis. Itu cuma mainan. Proyek aslinya adalah mata uang baru. Anda mau Azhar berdiri sendiri secara finansial tanpa harus mengemis utang ke Kerajaan Utara.”
Senyum sinis di wajah Harith lenyap seketika. Digantikan oleh tatapan kaget yang sangat tipis. Informasi ini terlalu sensitif. Anak umur sepuluh tahun tidak mungkin tahu soal ekonomi makro!
“Lancang sekali mulutmu bicara urusan Istana!” geram Harith, melangkah mendekat. Auranya menekan, mencoba mengintimidasi.
“Saya tidak berspekulasi, saya membaca data,” balas Yasmeen tenang, seolah sedang membicarakan cuaca. “Laporan Wazir Adil jelas. Tambang Nayyirah memproduksi satu bijih hantu—Al-Wardi. Bijih yang Anda butuhkan untuk memurnikan emas koin baru Anda.”
Yasmeen mencondongkan tubuh mungilnya ke depan, menantang raksasa di hadapannya.
“Rahasia saya sederhana, Yang Mulia: Cuma Kabilah Al-Jarrah di pedalaman Nayyirah yang tahu di mana sumur utama bijih itu. Jika Anda memaksa mengambil alih tambang kami lewat pernikahan paksa... Kabilah kami akan menutup sumur itu dan menghilang ke gurun.”
“Silakan ambil tambangnya,” lanjut Yasmeen dengan nada manis yang mematikan. “Anda akan dapat batu kosong. Mata uang baru Anda akan runtuh dalam enam bulan karena kualitasnya sampah. Dan saat itu terjadi...”
Yasmeen memberi jeda dramatis.
“...Semua orang akan bertanya: Apakah Harith benar-benar layak menggantikan Sultan?”
Hening.
Keheningan yang mencekik. Tariq di sudut ruangan tersenyum tipis, bangga setengah mati. Itu Sayyidah Mudaku.
Harith terdiam lama. Matanya yang tajam menatap lekat-lekat ke arah gadis kecil di depannya. Rasa remeh di matanya hilang, berganti dengan kewaspadaan murni. Dia sadar, dia baru saja dikalahkan telak dalam permainannya sendiri oleh bocah ingusan.
“Menarik,” gumam Harith perlahan, tangannya menyentuh dagu. Ada kilatan bahaya di matanya—campuran antara amarah dan kekaguman.
“Kau menggunakan ambisiku untuk menyerangku balik. Cerdas. Sangat cerdas.” Harith mendekat, mensejajarkan wajahnya dengan Yasmeen. “Jadi, kau ingin status Nayyirah naik dari bawahan menjadi sekutu penting. Apa maumu, Emirah kecil? Apa harga untuk mulut pintarmu itu?”
Yasmeen tahu ini saatnya. Dia tidak boleh hanya meminta perlindungan. Dia harus memukul di tempat yang paling sakit.
“Saya ingin jaminan kedaulatan, tentu saja,” jawab Yasmeen datar. “Tapi sebelum kita tanda tangan kontrak darah ini, saya butuh satu jawaban jujur dari Anda, Yang Mulia.”
Harith mendengus geli. “Kau masih berani menuntut? Katakan.”
Yasmeen menatap lurus ke manik mata hitam Harith.
“Di tumpukan dokumen ini, saya menemukan satu keanehan lagi yang jauh lebih berbahaya daripada bijih perak,” kata Yasmeen, suaranya merendah menjadi bisikan konspirasi.
“Katakan padaku, Harith... Kenapa catatan pengeluaran Wazir Agung menunjukkan transfer dana darurat empat kali lipat dari biasanya...”
Yasmeen tersenyum miring.
“...tepat satu minggu sebelum Sultan tiba-tiba jatuh koma?”