NovelToon NovelToon
HIJRAH RASA

HIJRAH RASA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:621
Nilai: 5
Nama Author: Azzurry

Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?

Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.

“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.


Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hijrah Rasa -26

Farah meneguk paksa salivanya. "Tapi... istri boleh nolak kalau dalam keterpaksaan."

Azzam mendengus. "Kamu ngerti, tapi pura-pura lupa kalau istri harus izin suami buat kerja. Termasuk kerja part time diam-diam tanpa sepengetahuan saya."

"Saya butuh uang... Tabungan saya habis,”jelas Farah.

Azzam mengusap wajah kasar. Nafkah bulanan yang ia transfer bukan jumlah kecil. Cukup bahkan lebih. Untuk kuliah, makan, segalanya.

Farah seperti tahu isi kepalanya. "Saya nggak pernah pakai uang yang Mas kasih… saya nggak mau terikat lebih jauh sama kamu Mas."

Azzam menatapnya dalam. "Berhenti berkerja. Pakai uang yang saya kasih. Atau saya bikin kamu nyesel malam ini."

Langkahnya mendekat lagi, hampir menyentuh wajah Farah. Nafas Farah tercekat.

"Oke! Malam ini juga saya resign! Puas kamu?!" Tegas Farah.

Azzam berhenti. Diam. Lalu perlahan mundur.

Senyum kemenangan terulas jelas di wajah Pria itu.

Farah dengan cepat menjauh, masuk ke wardrobe. Ia menutup pintu, merapat ke dinding, tubuhnya gemetar hebat. Ia terisak. Azzam Pria itu cukup membuatnya takut kali ini.

Di luar, suara gondola dan air kanal beradu pelan. Cahaya lampu kota memantul di jendela, menari di langit-langit. 

____

Tawa Zira menggema di ruang café tepi kanal. Cahaya sore menari di jendela besar, aroma kopi dan roti manis mengambang pelan. Di luar, gondola sesekali melintas, menciptakan riak tenang di kanal Venezia.

Farah hanya mendengus. Matanya sembab, menyimpan sisa malam hasil pertengkarannya dengan Azzam. Ia baru saja menceritakan kemarahan Azzam semalam—dan betapa kacaunya mereka.

“Kan, aku udah ingetin kamu jangan aneh-aneh.

Kan kamu kena batunya, Bang Azzam marah salah sendiri?” kekeh Zira, 

“Sumpah dia tuh nyebelin banget. Apa salahnya sih aku kerja part-time?” ujar Farah.

Zira tergelak. “Ya mikir dong, Fa. Istri CEO Moonlight Corp, yang anak perusahaannya mendunia, kerja part-time di Venezia?”

Farah menghela napas. “Takut harga dirinya jatuh keguling-guling, gitu?”

Zira hanya terbahak. “Yaudah, lanjut kerja aja. Gue nggak ikutan, ya…” ujarnya, lalu menyipit,tiba-tiba terbesit tanya di kepala gadis itu. “Wait... jangan bilang kamu sama Abang Azzam belum perna…”

“Apaan sih maksud kamu?” tanya Farah bingung.

“Itu... anu…” gumam Zira, tapi Farah tetap tak paham.

“Itu anu apa? Ngomong yang jelas, Ra.”

“Bobo bareng,” Pekik Zira, polos.

Sontak mengalihkan beberapa pengunjung dari indonesia.

Farah membelalak. “Sstt!” bisiknya panik, buru-buru menutup mulut Zira. Wajahnya panik, matanya lari ke kanan dan kiri.

Tiba-tiba—BRAK!

Meja terguncang. Siraman es kopi menghantam kepala Farah. Dingin, lengket, menyusup ke kulit dan harga diri.

Farah berdiri terkejut. Zira refleks bangkit, wajahnya menegang.

“APAAN SIH MBAK SIENNA?!” sentak Farah.

Sienna berdiri di hadapan mereka, tatapannya tajam dan jijik.

“DASAR PELAC*R!!!” seru Sienna.

“Hah?” 

Farah dan Zira saling berpandangan. Zira terkejut, sorot matanya waspada. Sementara Farah berdiri. Tubuhnya lembap, rambutnya yang basah menempel di pipi dan leher—sisa dari es kopi yang Sienna siramkan. Pakaian putih polosnya ternoda oleh cairan kecoklatan, tapi matanya tetap tegak. 

"Lagi-lagi dia... di tempat umum begini..." Farah menggeram dalam hati. Tapi ia tetap diam, menahan amarahnya.

Kafe yang tadinya ramai kini mendadak sunyi. Beberapa pengunjung menoleh, sebagian tidak mengerti bahasanya, tapi nada suaranya cukup membuat udara menegang. Sendok yang sedetik lalu terdengar berdenting kini diam di atas meja.

Farah menatap tajam kearah Sienna, rahangnya mengeras, tanganya mengepal kuat.

“Kenapa?Marah? Tersinggung?” Ejek Sienna.

“Mbak,  mending pulang deh sana,” usir Zira yang terlihat geram.

“Diam lo,” sentak Sienna pada Zira lalu ia menatap Farah disamping Zira.

“Ternyata target lo itu bukan cuma Ceo muda ya, yang tua-tua juga lo embat,”sindirnya 

“Apa sih, Mbak? Nggak jelas banget,” sahut Zira.

Alih-alih mereda, Sienna malah makin tinggi nadanya.

“Duit dari Azzam, nggak cukup ya buat survive di sini? Jadi lo harus jadi cewek panggilan?

Farah mengepal tangan, bibirnya menegang. Tapi matanya tetap tenang. “Hati-hati kalau bicara, Mbak,” ucapnya.

Sienna mencibir. “Cih. Sok suci. Lo pikir orang bakal percaya perempuan yang  sudah tidur dengan banyak laki-laki dan merebut tunangan orang lain itu cewek baik-baik? Apa sebutannya, selain perempuan murahan?”

“What?!” Zira refleks berdiri, terperangah. Nafasnya tersengal, tapi Farah menahannya dengan tatapan

“Oh... maksud Mbak Sienna, kenapa saya keluar  dari rumah Tuan Samir malam-malam? Dan saya tegaskan sekali lagi Mas Azzam itu suami saya.” Farah tertawa pelan. 

Zira ikut tergelak ia tahu apa yang sedang di maksud Sienna.

Farah memang masuk kerumah Tuan Samir, tapi bersama Zira. Mereka berdua menolong anak tuan samir dan mengantarnya pulang.

Karena mereka sekampus tapi beda jurusan.

Namun sepertinya yang di lihat sienna hanya Farah yang berbicara dengan tuan Samir saat itu.

Dan sienna memang datang kerumah tuan samir membawah proposal kerja sama mereka.

Sienna menatap nyalang pada Farah. “Kira-kira apa reaksi Azzam saat tahu istrinya jadi wanita panggilan untuk rekan bisnisnya?”

Farah tergelak.

“Mbak, Kita di Eropa, Mbak. Hal seperti itu... lumrah dan bang Azzam pasti mengerti. Tanpa saya jelaskan, Mbak pasti paham dong,” ujar Farah sambil mengangkat bahu.

Sienna menahan geram. Rahangnya menegang. Matanya berkilat seperti hendak menerkam.

“Lo boleh tidur sama siapa pun... tapi jangan dengan Azzam. Janganlo sentuh dia.”

Zira nyaris buka suara. Ingin sekali dia  menegaskan kembali status Farah dan Azzam. Tapi lagi lagi Farah menahannya lewat tatapan yang dingin namun tegas.

“Kok, Mbak yang ngatur? Saya bebas dong, mau sama siapa pun. Sama Bang Azzam juga. Selama dia bisa kasih lebih... saya sih oke-oke aja,” Farah berkata dengan senyum sinis, sengaja menyulut emosi wanita itu.

“Gue peringatin lo, jangan godain Azzam. Atau lo bakal tahu akibatnya,” ancam Sienna, dingin.

“Kenapa, Mbak?” Farah memicingkan mata. “Mungkin... Bang Azzam lebih puas sama saya daripada sama Mbak Sienna.”

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipi Farah. Kepalanya menoleh, rambut basahnya terayun, tapi ia tetap berdiri tegak.

“Itu peringatan kecil buat jalang kayak lo!” bentak Sienna. “Puttàna maledéta!”(pelacur terkutuk)

Sebagian pengunjung menoleh, beberapa wajah tampak kaget.

Farah mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras. Dan dengan satu gerakan cepat, ia balas.

Plak!

Sienna terhuyung, mata membelalak. Ia tatap Farah dengan mata terbakar.

“Lo__”

“Marah?” tantang Farah, datar tapi mengandung bara.

Sienna tidak membalas. Mengepal kuat jari-jarinya.  Lalu dengan cepat ia berbalik dan pergi, membiarkan tatapan semua orang mengikutinya hingga hilang di balik pintu.

Zira menghampiri Farah. “Keren kamu. Kalau bang Azzam lihat tadi, pasti besar kepala dia.”

Farah memicing tajam. “Makanya diem. Jangan ember.”

Zira terkekeh. “Tenang Aman sama Aku.”

Farah hanya mendengus kesal. Lalu meraih ranselnya bergegas keluar dari resto.

“Ayo cepatan malu banget ini.” Farah celingah-celingu.

Karena tadi berapa pelayan dan maneger resto  memperingatkan mereka. Dan setelah itu mereka hanya menyaksikan perdebatannya dan Sienna.

Hal hasil semua pengunjung resto, berhamburan keluar.

***

Klik.

Suara pintu apartemen terbuka. Farah masuk. Bajunya yang semula putih kini berantakan, basah dan bernoda. Rambutnya lepek, sebagian menempel di kening, sisa dari insiden siraman kopi tadi . Tapi bukan itu yang paling membuatnya sesak.

Hari ini dia pulang lebih cepat. Bukan karena lelah fisik semata, tapi karena hatinya sudah terlalu penuh. Tak ada lagi energi untuk berpura-pura kuat di luar.

Azzam sudah ada di apartemen.

Ia duduk di sofa, santai dengan secangkir kopi di tangan. Matanya menatap ke arah televisi, tapi tidak benar-benar melihat. 

Farah lewat begitu saja di depannya. Tanpa sapaan. Tanpa menoleh. Seolah pria itu tak ada.

“Tumben pulang cepat.”

Suara Azzam terdengar, tenang dan netral, nyaris seperti pertanyaan rutin tanpa beban.

“Udah nggak ada kegiatan.”

Jawab Farah singkat, hampir tak bersuara. Ia menuju dapur, mengambil sebotol air dingin dari kulkas, lalu duduk di kursi pantry dengan tubuh yang masih penuh dengan aroma coffe. Ia sandar pada bangku, meletakkan kompres dingin di pipinya yang masih nyeri—bekas tamparan yang cukup keras dari Sienna.

Azzam bangkit. Langkahnya pelan menghampiri.

Ia berdiri di depan Farah, lalu mengangkat dagu gadis itu. Matanya memeriksa wajah Farah. Lalu membalikkan ke kanan dan kiri.

“Kotor banget. Abis ngapain?”

Tatapannya jatuh pada memar di pipi Farah. “Ini kenapa?”

Farah menahan napas. Lalu menjawab jujur, tanpa basa-basi.

“Abis berantem.”

“Hm… terus yang menang siapa?”

Nada Azzam ringan, seperti gurauan. Tapi ada sesuatu dalam intonasinya—semacam keinginan untuk tahu lebih dalam, tapi tak ingin tampak terlalu peduli.

“Nggak ada. Sama-sama nggak dapat apa-apa.”

Azzam mengambil alih kain dari tangan Farah dan mulai mengompres luka itu sendiri. Sedikit ditekan, membuat Farah meringis.

“Aw. Issh, sakit tau!”

“Lebay banget. Bisa tenang dikit nggak sih?”

Farah mendengus. “Ish,” ucapnya kesal sambil mencoba merebut kembali kain itu dari tangan Azzam.

“Biar saya aja.”

Azzam menolak halus. Lalu menatapnya sejenak. “Bonyok gini, berarti kamu yang kalah.”

Farah menghela napas pendek, suaranya pelan namun tegas.

“Kita seri. Dia juga bonyok. Saya juga bonyok.” 

Azzam tersenyum kecil, matanya menyorot geli.

“kamu berantem karena mempertahankan saya?”

Farah memicingkan mata. Tapi ia sadar, Azzam mencoba menjebaknya. Gadis itu tidak mudah terpancing.

Farah terbahak. “Mas, ngomong apa sih? Udah ah, saya mau mandi.”

Gadis itu bangkit dari kursi pantry, beranjak pergi. Tapi Azzam menahan pergelangan tangannya, lembut tapi pasti.

“Benar kan, kamu sedang mengusahakan hubungan kita?”

Farah berhenti.

Bahunya diam sejenak, lalu menoleh perlahan. Tatapannya tajam, tapi bukan marah lebih seperti kecewa yang belum selesai.

“Saya udah pernah lakuin itu. Saya nggak mau mengulang hal yang sama. Buang-buang waktu.”

Lalu iamelepaskan diri dan berjalan pergi.

Azzam hanya tersenyum. Senyum tipis yang tak sepenuhnya pahit. Ia tahu Farah belum sepenuhnya menyerah—gadis itu hanya sedang lelah. Kadang cinta tak hadir dalam bentuk pelukan, tapi dalam diam yang keras kepala. Dalam luka yang masih diperjuangkan. Dalam jalan pulang yang tetap ditempuh meski sunyi.

.

.

.

.

TBC

1
Wilana aira
keren ceritanya, bisa belajar sejarah Islam di Italia
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!