Aruna hanya memanfaatkan Arjuna Dewangga. Lelaki yang belum pernah menjalin hubungan kekasih dengan siapapun. Lelaki yang terkenal baik di sekolahnya dan menjadi kesayangan guru karena prestasinya.  Sementara Arjuna, lelaki yang anti-pacaran memutuskan menerima Aruna karena jantungnya yang meningkat lebih cepat dari biasanya setiap berdekatan dengan gadis tersebut.  ***  "Mau minta sesuatu boleh?" Lelaki itu kembali menyuapi dan mengangguk singkat.  "Mau apa emangnya?" Tatapan mata Arjuna begitu lekat menatap Aruna.  Aruna berdehem dan minum sejenak, sebelum menjawab pertanyaan Arjuna. "Mau ciuman, ayo!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 23
Pagi ini Aruna kembali berangkat di jemput Arjuna. Lelaki itu tidak sendirian, ada Acha juga di bangku samping kemudi. Katanya, supir sedang libur dan kedua orangtuanya pergi keluar kota. Acha sendiri mengatakan mau berangkat bersama Arjuna, dibandingkan Arvin.
"Morning princess!" Sapa Aruna ketika melihat wajah Acha yang tersenyum.
"Morning Mbak Aruna!" Balasnya dengan ceria. Acha menyodorkan sekotak susu pada Aruna. Anak kecil tersebut, juga sedang menyedot susu rasa coklat.
"Makasih sayang, sini aku cium dulu!" Tubuh Aruna perlahan maju dan mencium pipi Acha---ketika anak kecil itu menyodorkan pipinya. "Harumnya!" Puji Aruna.
"Aku enggak?" Sahut Arjuna dengan iri, lelaki itu melirik Aruna singkat.
"Enggak!" Nanti kok Jun, batinnya melirik Arjuna yang fokus membawa mobil.
Aruna kemudian ikut menusuk kotak tersebut dengan sedotan, meminumnya dengan senang.
"Nanti jemput Acha ya, Abang! Acha pulang jam 2." Mata Aruna membola.
"Hah?! Anak SD pulang sekolah jam 2? Perasaan, pas SD aku pulang jam 12 aja rasanya lama banget." Kagetnya menatap Acha. Anak kecil yang sedang minum kotak susu tersebut mengangguk. "Aku kalau jadi kamu, mending bolos sekolah Cha."
"Aruna!" Peringat Arjuna dengan suara tegas.
Aruna tertawa renyah. Ternyata, Arjuna masih menanggapi sesuatu dengan serius. Gadis itu kemudian mundur, kepalanya dia sandarkan dengan santai. Kini, Acha yang justru menengok belakang. Nampaknya, anak itu ingin terus berbincang dengan Aruna.
"Acha juga mau bolos, tapi Abang serem kalau marah. Mbak Runa pernah di marahin Abang?"
Aruna mengetukkan jarinya, berpikir sejenak. Tidak pernah sih, Aruna yang lebih sering marah. Kadang-kadang, Aruna sampai berpikir---Arjuna bisa marah atau tidak. Eh, atau lelaki itu pernah marah namun Aruna lupa ya? intinya tidak pernah.
"Enggak pernah, aku kan nggak nakal." Sahutnya polos, Acha kemudian duduk diam dengan cemberut. Artinya? Dia anak nakal ya? Karena Ariuna kerap memarahi dirinya.
Sementara Arjuna, lelaki itu mencengkram erat setir mobil. Menahan sudut bibirnya untuk melengkung atau tertawa. Yang benar saja, Aruna tidak pernah nakal? Sulit dipercaya.
Acha melirik Arjuna. "Beneran bang? Mbak Runa nggak pernah nakal? Masa ada manusia yang baik terus?" Lelaki itu menggeleng dan mengedikkan bahunya.
"Coba, kamu tanya sama Mbak Runa-- kenapa dia jadi orang baik terus? Minta tips sekalian, gimana caranya biar nggak nakal." Arjuna menoleh sekilas dan tersenyum manis pada adiknya.
Aruna langsung kelabakan bingung. Arjuna benar-benar membuatnya harus menjawab semua pertanyaan Acha. Apalagi, di umurnya yang beranjak remaja---Acha selalu ingin tahu banyak hal. Jadi, sepanjang jalan Aruna menjawab semua pertanyaan Acha. Arjuna? Lelaki itu tidak membantu sama sekali. Aruna hanya menjawab sesukanya saja, tidak mau ambil pusing.
Akhirnya, keduanya sampai di sekolah setelah mengantarkan Acha. Aruna menatap sekitar, mobil Arjuna parkir di ujung dan pojok. Sepi, batinnya dengan dengan jantung berdebar kencang. Aruna memegang tangan Arjuna yang bersiap keluar mobil, lelaki itu menatap heran.
"Kenapa?" Aruna tidak menjawab, gadis itu mendekatkan wajahnya.
Cup
Arjuna tersentak kaget. Kedua tangan Aruna mengalung di lehernya dan wajahnya begitu dekat. Bibir manis dan kenyal Aruna, mengecup bibirnya sejenak.
"Tadi, katanya minta di cium?" Aruna bertanya lirih.
"Untung, kaca mobil aku gelap."
Setelah mengatakan hal tersebut--- Arjuna lekas membawa tubuh Aruna ke pangkuannya. Lelaki itu kembali mencium bibir Aruna, lebih lembut dan dalam. Melumatnya dengan penuh kerinduan. Jemarinya meremas pantat Aruna dan mengusapnya. Satu tangannya mengusap-usap pinggang ramping Aruna.
Rok sekolah Aruna tersingkap naik, karena gadis itu bergerak membalas ciuman dengan tergesa-gesa. Tangan Aruna meremas baju seragam milik Arjuna, membuatnya kusut.
"Udahhhh ahhh!" Desahnya lirih, ketika jemari Arjuna meremas-remas pahanya.
"Baju kamu kusut, Jun!" Aruna merapikannya dengan nafas terengah- engah. Arjuna mengecup pelipisnya dengan lembut.
"No problem sayang, problemnya cuma--- kamu lihat bawah."
Aruna melotot kaget dengan pipi bersemu merah, malu seketika. Tubuh keduanya begitu menempel dan dekat, milik Arjuna sudah tegang dan hampir menempel dengan miliknya yang masih terbalut celana pendek ketat. Dengan nekat, Aruna memajukan tubuhnya semakin dekat.
Arjuna menggeram perlahan, merasakan miliknya yang bertemu dengan milik Aruna---meski terhalang kain. Lelaki itu memegang bahu Aruna, membawanya mundur. Arjuna meraup wajahnya dengan tangan, frustasi dan pusing karena menahan sesuatu.
Cup
"Kita lagi di sekolah sayang," Arjuna lantas mengembalikan Aruna ke tempat duduk semula. "Tadi ada yang bilang nggak nakal, nggak suka aneh-aneh." Sindir Arjuna dengan senyum menggoda.
"Ih, udah yuk keluar!" Ajak Aruna santai, Arjuna lantas mengangguk menyuruh gadis itu keluar lebih dulu.
Gadis itu melirik Arjuna yang tak kunjung keluar, setelah beberapa menit---lelaki itu baru keluar. Aruna menatap Arjuna yang mengambil alih tas miliknya. Jemarinya di genggam dengan erat. Sudah berapa hari ya? Aruna rindu di perlakukan seperti ini. Rasanya di sayang dan diperlakukan dengan manis.
"Kantin dulu, nggak?" Tawar Arjuna.
"Mau!!! Nanti jam pertama otaknya buat berpikir keras, ada mapel ekonomi. Aku kayaknya nggak pintar akademik deh, cuma bisa bikin kue aja," Curhatnya sambil berjalan menyusuri lorong kelas.
Beberapa siswa sudah banyak yang masuk di dalam kelas.
"Nggak apa-apa, nggak semua hal harus bisa. Aku nggak cari pacar yang pintar di semua mata pelajaran kok," Pipi Aruna bersemu, dia mencubit lengan Arjuna. Kebiasaan Aruna jika sedang salting.
"Kenapa kamu makin pinter gombal ya? Makin cerewet? Makin apalagi ya, pokoknya kaya beda." Tanya Aruna refleks.
Arjuna terdiam sejenak. "Kamu bosen ya? Nggak suka?" Lelaki itu menatap khawatir.
Aruna menggeleng pelan. "Nggak bosen kok, biasa aja. Cuma---"
Arjuna menatapnya penasaran. "Cuma apa? Jujur aja, aku nggak apa-apa." Aruna menahan senyuman gemas.
"Cuma, aku jadi mudah baper."
"Kan aku tanggung jawab Runa." Balasnya dengan yakin.
Aruna kembali mengajak Arjuna berjalan. "Nggak tahu ya, aku pernah nonton sinetron---eh cowoknya awalnya juga ngomong manis-manis, nanti akan pahit pada waktunya." Sinisnya, menarik tangannya dari genggaman Arjuna.
Setelah membeli sarapan, Aruna minta kembali menuju kelas. Gadis itu sudah menolak di antar, namun Arjuna tidak peduli.
"Cie balikan!" Ledek Ethan tersenyum menggoda. "Tumben, baju lo kusut Jun. Biasanya rapi banget,"
Arjuna tidak menanggapi, hanya mengusap bajunya di bagian bahu yang begitu kusut.
Aruna langsung menatapnya tajam.
"Siapa yang balikan? Nggak ada tuh. Beda ya, antara baikan sama balikan."
Sahutnya dengan santai, Arjuna mengerutkan keningnya heran.
"Kita nggak pernah putus Aruna," Bantah Arjuna.
"Putus kok kemarin, kan kita sekarang jadi mantan." Balasnya menatap Arjuna datar.
Bukannya kemarin Aruna udah manja- manja dan mau di peluk? Terus, tadi yang di parkiran apa?! Arjuna menggelengkan kepalanya tidak setuju.
"Kita nggak bisa bicara, kalau hati dan pikiran kamu masih emosi sama penuh kebencian." Arjuna melirih di akhir kalimat.
"Tuh kan, kamu emang nggak pernah setuju dan mau sama apa yang aku lakukan!"
Arjuna menarik tangan Aruna, menjauh dari kerumunan siswa. Arjuna juga manusia biasa, kadang-kadang juga lelah. Sebenarnya, apa mau Aruna? Kemarin gadis itu sudah lunak, tadi pagi pun begitu.
"Jadi, semua hal harus nurut sama kamu? Kamu sadar nggak, kalau kamu egois Aruna." Arjuna menghela nafasnya perlahan. "Aku emang jatuh cinta sama kamu Aruna, bahkan di masa depan pun-- -ada kamu dalam rencana hidup aku."
Aruna tersentak kaget. Arjuna bahkan berniat melibatkan dirinya di masa depan? Sementara Aruna? Dia hanya ingin membalas dendam dan membuat toko kue yang terkenal. Bayangan menikah, kadang-kadang muncul. Namun, Aruna selalu mencoba menepisnya.
Bunyi bel membuat keduanya terdiam. Beberapa siswa berhamburan masuk kelas. Arjuna melepas genggaman Aruna, berlalu pergi tanpa pamit.
Mungkin, Arjuna sudah terlalu kecewa pada Aruna. Begitu pun, Aruna yang kecewa pada dirinya sendiri. Dengan sisa kepingan perasaannya yang berserakan, Aruna melangkah menuju kelas dengan wajah santai.
Memasuki waktu istirahat, Aruna melangkah ke kantin bersama sahabatnya. Gadis itu masih bersikap biasa dan bercanda. Hingga, matanya bertabrakan dengan sorot mata Arjuna. Lelaki itu lantas mengalihkan tatapan. Arjuna duduk bersama Sisil dan Raka. Sejak dulu, mereka memang sering bertiga.
Karin menyenggol lengan Aruna. "Run, lo nggak mau gabung sama pacar lo?" Bisiknya di tengah keramaian kantin.
Aruna menggeleng. "Gue sama kalian aja deh. Udah yuk, gue mau makan bakso mercon."
Selesai memesan, Aruna mencari dimana teman-temannya duduk. Dirinya melangkah melewati meja yang di tempati Arjuna. Sapaan Raka, tidak dia balas sama sekali.
"Biasanya soto, tumben banget alih menu." Celoteh Ethan memecah keheningan.
"Suka-suka gue dong." Balasnya malas.
Ethan masih ingin memancing, meski lengannya di cubit lirih oleh Misel. "Ya elah, biasanya juga lo setia sama soto. Ganti menu versi lo---kayak lagi mode ganti pacar baru." Cibirnya terang- terangan. Karin tersenyum geli mendengarnya.
"Kalau bahas pacar baru, jangan-jangan lo punya pacar ya?!" Goda Karin melirik Ethan.
"Belum sih, masih di gantung gue." Matanya melirik ke arah Misel yang masih mengunyah gorengan.
"Nanti pulang sekolah makan seblak yuk, main apartemen gue. Lagian nanti malam kan malam Minggu,"
Karin langsung mengangguk antusias. Misel menggaruk belakang kepalanya bingung, gadis itu melirik Ethan.
"Nggak bisa, Misel mau gue ajak jalan. Kita mau kencan malam mingguan. Kalau malam mingguan di rumah, itu khusus jomblo." Misel melotot.
"Kok kamu jujur sih?!" Kesalnya pada Ethan.
Karin menatap Misel dengan cemberut. "Jadi, kalian berdua mau diam-diam aja nih?" Gadis itu menatap sinis Ethan.
Ethan menggeleng. "Nggak, bukan gue. Misel cuma masih malu-malu, kalau dia suka sama gue kan?" Pipi Misel bersemu merah, gadis itu memukul lengan Ethan dengan kesal.
Ethan tertawa singkat. Lelaki itu mengusap surai rambut Misel dengan pelan. Aruna dan Karin memutar bola matanya, keduanya tampak tidak percaya. Rasanya aneh saja, biasa ribut--- sekarang sok manis sekali.
"Nanti lo ajak kencan jam 7 sampai jam 8 malam aja deh," Usul Aruna, Karin mengangguk---mencoba negosiasi dengan Ethan.
Ethan menggelengkan kepalanya. "Itu baru sampai depan mall, belum nonton film dan kalian suruh balik. Analoginya, kayak mau ciuman tapi bibirnya baru nempel doang."
"ETHAN!" Teriak ketiganya dengan raut wajah berbeda-beda.
"Awas lo aneh-aneh sama Misel ya?! Gue colok lo, pakai garpu." Ancam Aruna.
"Halah, kayak lo nggak pernah aja Run!" Balasnya kesal.
Aruna terdiam tiba-tiba, mereka mengira ucapan Ethan membuat Aruna bersedih. Namun, Aruna justru mengingat dirinya yang sudah berbuat aneh-aneh dengan Arjuna. Kejadian-kejadian berputar dalam kepalanya, apalagi tadi pagi di parkiran sekolah. Sial, mana ada dirinya jadi rindu bibir menggoda dan manis milik Arjuna. Padahal, baru tadi pagi keduanya bercumbu. Sungguh, lelaki itu pintar sekali membuatnya mabuk asmara ketika berciuman.
"Run, jangan dengerin ucapan Ethan ya." Karin mengusap bahunya. Pipi Aruna bersemu merah seketika.
"Halah, dia aja lagi bayangin yang iya-iya pasti, Rin!" Cibir Ethan seolah tahu pikiran Aruna.
Misel hanya diam dan melanjutkan makan. Terserah Ethan sajalah, dia sudah kepalang malu. Nanti, dia akan mewanti- wanti lelaki di sampingnya. Mereka bahkan belum jadian dan Ethan sudah berpikir untuk ciuman? dasar lelaki gila.
Mereka kembali setelah selesai makan. Aruna mengedarkan pandangannya--- mencari sosok lelaki yang berlarian dalam pikirannya. Arjuna sudah berjalan keluar kantin bersama Raka. Entah dimana keberadaan si lintah darat, Aruna pastikan keduanya tidak lagi duduk bersamaan saat berada di kantin.
"Aruna, jangan biasain pendam perasaan lo. Arjuna bakal bener-bener ninggalin lo, kalau dia ngerasa capek sama sikap lo. Nggak semua orang harus selalu maklumi sikap lo. Sorry gue bicara gini--- niat gue biar lo, nggak kehilangan seseorang yang berharga di hidup lo." Bisikan lirih Ethan, menyadarkan Aruna bahwa dirinya bisa kehilangan Arjuna kapan pun.
Kehilangan? Aruna tentu tidak mau merasakan hal tersebut.