Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
“Aku tahu aku dulu keras kepala, Bu. Tapi aku ingin menebusnya. Ibu mau ikut kami ke Roma? Aku bisa sewa rumah dekat rumah Issa supaya bisa sering berkunjung.”
Malisa terkekeh lembut.
“Ah, sayang, itu hanya menambah beban. Simpan uangmu. Kamu sudah bekerja keras. Ibu baik-baik saja di sini. Lagipula, kalau adikmu tiba-tiba pulang, ada yang jaga rumah. Tapi kamu janji harus sering datang menjenguk, ya?”
“Tentu, Bu. Aku janji.”
Dasha menyandarkan kepala di leher ibunya, manja.
“Tapi tak bisa kubujuk Ibu ikut?”
“Dasar keras kepala.” Malisa menepuk pelan pipi putrinya. “Sudah, sana tidur di kamarmu.”
“Tapi Bu, aku mau di sini saja. Biar mereka bertiga punya waktu sendiri. Lagipula, dia masih marah padaku.”
Suaranya pelan, getir.
“Kita tak bisa menyalahkannya, Nak. Dia terluka, merasa dikhianati. Biarlah waktu yang menyembuhkan. Dan kamu, kamu harus berusaha menebusnya. Demi keluarga kalian. Ibu tahu kamu masih mencintainya. Jangan bohong, ibu selalu tahu.”
Dasha hanya tertawa kecil tanpa kata.
Malam itu berlalu dalam percakapan panjang. Ia menceritakan semuanya, dari awal pertemuan dengan Issa, sampai momen ketika ia kembali ke Roma dan terkejut mendapati pria itu bos barunya.
Malisa hanya membelai rambut putrinya, mendengarkan dengan sabar.
Hingga dini hari, Dasha akhirnya tertidur, dan ibunya menyelimutinya dengan lembut.
**
Pagi datang dengan cahaya hangat. Dasha terbangun dengan perasaan ringan. Ia baru sadar bahwa ia masih di kamar ibunya. Tanpa sempat bercermin, ia berjalan keluar dan menuju kamarnya sendiri.
Saat membuka pintu, ia mendapati Issa dan kedua anaknya masih terlelap di tempat tidur besar itu. Jam di meja menunjukkan pukul sembilan. Mereka tampak tenang, mungkin terlalu nyaman tidur bertiga.
Dasha tersenyum kecil, lalu membuka lemari untuk mencari pakaian.
Tiba-tiba, seseorang menyentuh sikunya. Ia terlonjak, menoleh cepat, Issa, masih setengah mengantuk.
“Sudah bicara dengan ibumu?” suaranya berat, serak, suara pagi yang menenangkan.
“Sudah,” jawab Dasha cepat.
“Bagus. Aku akan memesan pesawat pribadi. Kita berangkat besok malam. Hari ini aku ingin menghabiskan waktu bersama anak-anak di sini, menjelajahi Sisilia sebelum kembali ke Roma.”
Tangannya masih memegang siku Dasha, tapi begitu ia sadar, Issa segera melepaskannya dan kembali ke tempat tidur, mungkin untuk membangunkan Leo dan Lea.
Dasha hanya menggeleng kecil, melanjutkan memilih baju, lalu masuk ke kamar mandi.
**
Saat keluar, Issa mengetuk pintu. Untung ia sudah berpakaian.
“Ada apa?” suaranya bergetar sedikit.
“Cepatlah. Anak-anak sudah tak sabar. Tinggal kau yang belum siap,” jawab Issa sebelum berbalik pergi.
Dasha hanya mendengus kesal, menirukan dalam hati.
“Tinggal kau yang belum siap, bla bla bla…”
“Aku masih mendengar itu, Dasha,” terdengar suaranya dari kejauhan. Ia hanya memutar bola mata dan mempercepat langkahnya.
**
Tak lama kemudian, Lea menatap ibunya dengan senyum nakal.
“Mima, kenapa lama sekali? Padahal Mima sudah cantik kok di mata kita, apalagi di mata Papa!”
Leo tertawa, ikut menggoda.
“Berhenti, Lea. Mima jadi malu,” katanya sambil menahan tawa.
Dasha mencoba bersikap tegas.
“Cukup, kalian berdua,” katanya berusaha seperti ibu galak. Tapi tawa anak-anaknya hanya semakin pecah.
Sejak Issa kembali, rumah itu terasa lebih hidup, sekaligus lebih riuh.
**
Mereka berangkat bersama. di kursi depan, sopir dan pengawal duduk tenang. Di kursi tengah, Issa, Dasha, serta kedua anak mereka. Di belakang, Malisa dan Grandma Poppy, dan di baris terakhir perawat.
Sebuah guncangan kecil membuat Dasha tak sengaja menyandar pada bahu Issa.
“Maaf,” katanya cepat, setelah tanpa sengaja menyenggol perut pria itu.
“Tak apa. Hati-hati, nanti kamu yang sakit,” jawab Issa datar, tapi anak-anak mereka sudah tertawa cekikikan mendengarnya.
“Papa romantis banget! Aku mau punya pasangan seperti Papa nanti!” kata Lea bermimpi.
“Tidak boleh!” Issa dan Leo menjawab serempak.
“Kau masih kecil. Tak perlu laki-laki lain!” kata Leo tegas, meniru gaya ayahnya.
Lea manyun.
“Aku bilang nanti, bukan sekarang. Mima, lihat mereka!”
Dasha menahan tawa.
“Mereka hanya melindungimu, sayang. Terlalu melindungi, mungkin. Tapi suatu hari, kamu pasti akan menemukan seseorang yang baik. Hanya saja, belum sekarang.”
Dari belakang, Grandma tertawa pelan.
“Insting seperti itu memang menurun. Dulu, papa Issa hampir memukul anak tetangga karena adiknya pulang menangis gara-gara lelaki. Dan kakekmu malah mendukungnya. Lelaki memang begitu.”
Issa menatap Grandma dengan bangga.
“Tentu. Kami tak akan membiarkan siapa pun menyakiti perempuan yang kami cintai.”
Leo pun menyahut,
“Tak ada yang boleh menyakiti perempuan penting dalam hidupku!”
Mereka saling tos dan meninju udara, membuat Lea dan Dasha hanya bisa menggeleng sambil tertawa.
Dasha kemudian memohon,
“Leo, boleh kita tukar tempat duduk? Kepala Mima agak pusing, ingin bersandar.”
Leo segera mengangguk tanpa pikir panjang.
Kini Dasha duduk di sisi jendela, bersandar sambil memperhatikan Issa dan anak-anaknya tertawa bersama. Ada senyum tipis di bibirnya, tapi juga perih yang halus di dada.
Kapan ya, ia bisa menyebut mereka ‘keluargaku’ tanpa rasa takut?
Pikiran itu perlahan menenggelamkannya dalam kantuk.