Karena sering dibuli teman kampus hanya karena kutu buku dan berkaca mata tebal, Shindy memilih menyendiri dan menjalin cinta Online dengan seorang pria yang bernama Ivan di Facebook.
Karena sudah saling cinta, Ivan mengajak Shindy menikah. Tentu saja Shindy menerima lamaran Ivan. Namun, tidak Shindy sangka bahwa Ivan adalah Arkana Ivander teman satu kelas yang paling sering membuli. Pria tampan teman Shindy itu putra pengusaha kaya raya yang ditakuti di kampus swasta ternama itu.
"Jadi pria itu kamu?!"
"Iya, karena orang tua saya sudah terlanjur setuju, kamu harus tetap menjadi istri saya!"
Padahal tanpa Shindy tahu, dosen yang merangkap sebagai Ceo di salah satu perusahaan terkenal yang bernama Arya Wiguna pun mencintainya.
"Apakah Shindy akan membatalkan pernikahannya dengan Ivan? Atau memilih Arya sang dosen? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
"Pak Gun datang kesini?" Shindy sungguh tidak menyangka jika dosennya itu datang ke rumah. Ia kucek matanya untuk meyakinkan saking tidak percaya.
"Tidak boleh" Pak Gun merasa Shindy tidak menyukai kehadirannya.
"Jelas tidak boleh Pak" batin Shindy, entah bagaimana para tetangga nanti menilai dirinya. Shindy menjadi serba salah, tidak ia suruh masuk tetapi pak Gun datang jauh-jauh dari Jakarta. Namun, Shindy juga tidak mungkin memasukkan pria ke dalam rumah. Terlebih, saat ini Shindy masih istri orang.
"Saya tidak disuruh duduk ini?" Pak Gun sudah berdiri karena kakinya gatal tapi Shindy justru bengong.
"Silakan duduk Pak" Shindy menyuruh pak Gun duduk di teras, lalu bertanya dari mana Pak Gun tahu jika Shindy pulang ke Jawa Timur, padahal Shindy tidak pernah memberi tahu siapapun.
"Saya itu punya mata batin untuk menerawang kemana kamu pergi Shindy" seloroh pak Gun.
"Bapak ini ada-ada saja" Shindy tersenyum sembari bangkit. Ia masuk rumah lalu ke dapur membuat teh, air panas sudah dia simpan di termos peninggalan nenek, tentu saja tidak lama. Sebelum membawa minuman keluar, Shindy memesan sarapan untuk tamunya.
"Maaf Pak, saya tidak bisa menyuruh Bapak masuk" jujur Shindy ketika meletakkan minuman di meja teras rumah. Shindy mengatakan jika di rumah hanya sendiri, khawatir menjadi fitnah.
"Saya datang kesini karena kamu menghilang Shindy" Pak Gun datang jauh-jauh ingin memastikan bahwa Shindy baik-baik saja. Ia yakin jika Shindy sedang ada masalah, jika tidak, mengapa Shindy pergi tidak memberi tahu semuanya termasuk Dila bahkan handphone pun tidak aktif.
"Tidak apa-apa Pak, saya hanya ingin Ziarah saja kok" Shindy lagi-lagi menutup segudang masalah yang ia hadapi. Shindy pun mengalihkan, menyuruh pak Gun minum selagi masih hangat.
"Lalu kenapa handphone kamu tidak aktif?"
"Handphone saya memang sering rusak, Pak" Shindy tidak berbohong. Handphone jadul miliknya memang sering kali ngadat, tapi sengaja tidak ia perbaiki karena tidak mau menerima telepon dari Arkan.
"Ini buat kamu" pak Gun memberikan handphone baru.
"Tapi Pak" Shindy tidak mamu menerima, lagi pula dalam rangka apa pak Gun membelikan handphone.
"Shindy, ini bonus buat kamu, karena selama beberapa bulan ini membantu saya bukan..." jujur pak Gun, ia memang sengaja tidak memberi bonus berbentuk uang, karena seringkali melihat hape Shindy sudah retak-retak.
"Ya Allah... terima kasih Pak" Shindy tentu saja senang, karena handphone itu bukan pak Gun berikan dengan cuma-cuma.
"Sama-sama" pak Gun menyeruput teh.
"Bagaimana skripsi kamu?" Pak Gun tidak mau Shindy sampai gagal menyelesaikan skripsi, jika dugaannya jika Shindy ada masalah benar.
"Lancar kok, Pak" Shindy mengerjakan skripsi dengan baik, hanya dua hari ini saja tidak pegang lap top.
"Berapa lama kamu akan tinggal di rumah ini?" Pak Gun berharap Shindy cepat kembali ke Jakarta.
Shindy pun diam berpikir, entah apa rencana selanjutnya ia tidak tahu. Jika kembali ke Jakarta entah hendak tinggal di mana. Ia sudah memutuskan untuk tidak kembali ke rumah Arkan, sebelum suaminya itu bisa membuktikan bahwa anak yang dikandung Clara bukan darah dagingnya. Apa lagi ke rumah Warni, Shindy tidak mau budenya tahu persoalan yang ia hadapi.
"Shy, kok malah bengong."
"Seandainya saya cepat kembali ke Jakarta, apa di kantor Bapak ada lowongan kerja ijazah SMA?" Shindy hendak melamar pekerjaan seandainya bisa.
"Jika mau, kamu bisa melamar sekretaris untuk saya."
"Benarkah? Tapi saya kan hanya lulusan SMA pak" Shindy yang sudah semangat pun kembali mengendor, dengan ijazah yang ia miliki khawatir tidak diterima.
"Kamu itu sebentar lagi selesai kuliah Shy, ijazah bisa menyusul. Lagi pula saya tahu kok kemampuan kamu" Pak Gun yakin, Shindy bisa. Lagi pula jika Shindy bekerja dengannya akan ia beri ruang untuk menyelesaikan skripsi. "Kamu buat lamaran, biar saya berikan ke HRD" lanjut pak Gun.
"Baik Pak, saya mau." Shindy bersemangat. Jika ia bekerja tentu saja bisa kost atau kontrak yang penting bisa untuk beristirahat.
Dut dut dut.
Saat sedang ngobrol, sepeda motor masuk halaman rumah. Pengendara yang baru saja turun dari motor berjalan ke arah Shindy membawa box di dalam kantong. "Permisi... saya mau mengantar pesanan" ucapnya sopan.
"Oh iya, terima kasih Mas" Shindy menerima kantong plastik, setelah ia bayar kemudian mengeluarkan box tersebut dari kantong plastik. Dua box nasi Cawuk Shindy letakkan di depan pak Gun dan satu lagi untuknya.
"Sarapan dulu Pak, tapi maaf, saya tidak memasak sendiri" Shindy menceritakan karena hanya makan sendirian maka malas memasak.
"Kamu repot-repot Shi" pak Gun memperhatikan sajian nasi yang tidak biasa ia makan.
"Tidak repot Pak, mari makan. Ini namanya nasi cawuk khas Jawa Timur," Shindy sengaja memesan sarapan tersebut agar pak Gun mencoba.
Wiguna tidak mau tahu makanan apa itu walaupun namanya aneh, lebih baik ia makan karena tidak mau mengecewakan Shindy. Lagi pula ia berangkat dari Jakarta jam 4 pagi, tentu belum sarapan juga.
"Shy, sebaiknya sekarang juga kita berangkat ke Jakarta" Wiguna tidak bisa berlama-lama di tempat itu.
"Bapak tidak capek memang" Shindy heran, belum istirahat pak Gun ingin berangkat lagi.
"Mau istirahat di mana memang? Kamu kan tidak membolehkan saya masuk," pak Gun sebenarnya hanya bergurau. Jika mau, ia bisa menginap di hotel, tapi pekerjaan di Jakarta sudah menumpuk.
"Iya juga ya, Pak. Kalau begitu saya bersiap-siap" Shindy tidak mau membuang waktu, lalu masuk ke rumah ganti pakaian setelah membuang box kosong.
"Sebentar ya, Pak" Shindy ke rumah sebelah terlebih dahulu hendak pamit ibunya Hesti.
"Datang baru kemarin kok sudah mau kembali Nak, Hesti pasti mencari kamu" kata bu Nani, karena saat ini Hesti sedang sekolah.
"Saya sudah dijemput bu, setelah wisuda nanti saya pasti kemari lagi kok."
"Dijemput suami kamu? Ibu mau kenalan" bu Nani bersemangat.
"Bukan suami saya Bu, tapi dosen saya" jujur Shindy, ia mengatakan tidak mau kena fitnah, maka lebih baik kembali sekarang.
"Kamu benar, Ibu sih percaya sama kamu, tapi yang namanya orang banyak pikirannya beda-beda,,Shy" bu Nani menasehati Shindy khawatir orang berpikir macam-macam jika Shindy menerima tamu pria.
"Nah itu, maksud saya Bu..."
"Memang kenapa kamu pulang tidak mengajak suami kamu?" Bu Nani sebenarnya sudah mendengar cerita Hesti, tapi pura-pura tidak tahu, karena ingin mendengar langsung dari Shindy.
"Suami saya kerja Bu, tidak bisa libur" Shindy beralasan.
"Nak, apapun masalah yang kamu hadapi dengan suamimu, jangan lantas pergi. Pertengkaran rumah tangga itu bumbu, sebaiknya cepat selesaikan, dan jangan pernah sekali-sekali curhat dengan pria lain. Kamu mengerti maksud ibu sayang..."
"Saya mengerti Bu..." Shindy menatap bu Nani berkaca-kaca. Sejak kecil bu Nani selalu baik kepadanya bahkan seperti anaknya sendiri, tapi mengapa budenya justru jahat sekali.
"Bu, kalau boleh saya tahu, apakah bude Warni itu benar kakak Papa? Anak Nenek" Shindy ingin menanyakan ini sejak lama, tapi tidak ada kesempatan. Dia merasa sifat budenya berbeda dengan nenek.
"Memang Almarhumah Nenek kamu belum cerita?" Bu Nani mengerutkan kening.
"Tidak pernah, sebenarnya ada apa Bu?" Shindy merasa ada rahasia di masa lalu, Shindy pernah bertanya kepada nenek, tapi almarhumah nenek tidak mau bercerita.
"Sini-sini, duduk dulu" bu Nani hendak menceritakan sesuatu.
...~Bersambung~...
laah dia nekaad, kenapa nda di kasih KOid ajaa siiih