NovelToon NovelToon
A Promise Between Us

A Promise Between Us

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Faustina Maretta

Seorang wanita muda dengan ambisinya menjadi seorang manager marketing di perusahaan besar. Tasya harus bersaing dengan Revan Aditya, seorang pemuda tampan dan cerdas. Saat mereka sedang mempresentasikan strategi marketing tiba-tiba data Tasya ada yang menyabotase. Tasya menuduh Revan yang sudah merusak datanya karena mengingat mereka adalah rivalitas. Apakah Revan yang merusak semua data milik Tasya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pencarian di mulai

Kelopak mata Tasya bergetar sebelum akhirnya terbuka. Pandangannya kabur, kepala terasa berat seperti baru dihantam benda keras. Ia mencoba menggerakkan tangannya, namun sia-sia. Keduanya terikat erat ke sandaran kursi dengan tali kasar yang menggores kulitnya.

Ia menoleh panik. Ruangan ini jelas bukan gudang file. Lampu redup bergantung di langit-langit yang penuh debu, dindingnya kusam dan lembap seperti bangunan tua yang lama tak dihuni. Bau karat dan tanah basah menyergap hidungnya.

"Aku … di mana ini?" batinnya gemetar.

Langkah sepatu terdengar, ritmenya tenang tapi menimbulkan teror. Pintu besi berderit saat didorong, lalu muncullah sosok Fira dengan tatapan dingin penuh kebencian.

Tasya menelan ludah, suaranya serak saat bertanya, "Kenapa … kenapa kau melakukan ini, Fira? Apa salahku padamu sampai kau tega begini?"

Fira berhenti beberapa langkah di depannya, lalu menyilangkan tangan di dada. Senyum tipis namun kejam muncul di wajahnya.

"Salahmu?" ia tertawa pendek. "Kau bahkan nggak sadar ya, semua orang selalu memihakmu. Tasya yang cantik, Tasya yang cerdas, Tasya yang menawan, semua orang, Tas! Aku benci semua orang hanya menatapmu saja! Terlebih Revan ..."

Tasya menggertakkan giginya, mencoba tetap tegar meski tubuhnya gemetar. "Kalau ini tentang Revan, kau nggak bisa paksa orang buat milihmu dengan cara kotor kayak gini."

Mata Fira menyipit, nadanya berubah tajam. "Diam! Kau selalu bertingkah seolah jadi korban, padahal kau adalah duri di hidupku."

Tasya bisa merasakan hawa kebencian yang begitu pekat dari setiap kata Fira. Sesuatu dalam dirinya berbisik: ini bukan sekadar iri, ada dendam lebih dalam yang selama ini disembunyikan.

Belum sempat Tasya merespons, tiba-tiba Fira meraih sesuatu dari balik mejanya, sebatang besi tua berkarat. Ia memutar-mutar benda itu di tangannya, seperti mainan yang menyenangkan.

"Selama ini aku pengen lihat wajahmu ketakutan kayak gini," gumam Fira, langkahnya makin dekat.

Tasya menahan napas. Tali di pergelangannya makin terasa menyakitkan saat ia berusaha meronta, tapi nihil.

Fira menghantamkan besi itu ke lantai—

BRUK!

Suaranya menggema menusuk telinga, membuat Tasya tersentak.

Lalu, tanpa peringatan, Fira mengayunkan besi itu tepat ke samping kursi, hanya beberapa centimeter dari wajah Tasya. Pecahan kayu beterbangan, membuat pipinya tergores.

"Lihat?" Fira menunduk, menatapnya dengan mata membara. "Sedikit saja aku meleset, wajah cantikmu itu hancur."

Tasya menggertakkan giginya, berusaha tegar. "Kalau kau pikir aku akan takut … kau salah besar."

Senyum Fira makin melebar, kejam. "Oh, aku akan bikin kau bukan cuma takut. Aku akan bikin kau berharap tak pernah lahir ke dunia ini."

Tiba-tiba, ia meraih dagu Tasya dengan kasar, menekannya hingga wajah Tasya mendongak. Besi di tangan satunya terangkat perlahan, diarahkan ke dekat pelipis Tasya.

Detak jantung Tasya berdentum kencang, tapi sorot matanya tetap menantang.

---

Bunyi langkah sepatu kulit terdengar di koridor kosong ketika seorang pria berjas abu-abu masuk ke lantai kantor. Usianya sekitar empat puluhan, wajah tegas dengan mata yang tajam penuh perhitungan. Dialah Bram, detektif swasta yang sudah lama bekerja sama dengan perusahaan.

"Pak Revan," sapa Bram singkat sambil menunjukkan kartu identitas kepada polisi yang sudah lebih dulu datang. "Boleh saya mulai?"

Revan mengangguk cepat. "Tolong lakukan apapun untuk menemukan Anastasya."

Bram melirik meja kerja Tasya. Laptop masih menyala dengan layar dokumen terbuka, kursi terjauh sedikit ke belakang, tas tangan tergeletak di samping, dan berkas-berkas berserakan di lantai. Ia jongkok, meneliti setiap detail.

"Dia meninggalkan barang-barang pentingnya," gumam Bram. "Artinya, dia tidak pergi dengan sukarela."

Seorang polisi mendekat. "Tidak ada tanda perlawanan besar di sini, tapi posisi kursi dan map yang jatuh mencurigakan."

Bram menyipitkan mata, lalu berjalan ke arah lorong yang menuju gudang file. Lampu lorong berkelip pelan, menambah kesan mencekam. Ia membuka pintu besi gudang dan menyalakan senter.

Di dalam, terlihat ada bercak samar di lantai, seperti goresan akibat benda diseret.

"Lihat ini," Bram menunjuk bekas goresan tersebut. "Ada kemungkinan korban dibawa lewat sini. Kita harus cek CCTV gedung."

Revan mendekat, wajahnya pucat tapi sorot matanya penuh amarah. "Kita harus cepat. Kalau pelakunya Fira seperti yang saya curigai, dia bisa melakukan hal gila kapan saja."

Bram menoleh, alisnya sedikit terangkat. "Anda yakin Fira? Ada alasan pribadi?"

Revan mengangguk pelan. "Entahlah, aku tidak bisa menemukan motif jika dia melakukannya, bahkan aku tidak punya bukti untuk membuktikan itu, tapi firasatku mengatakan dia pelakunya."

Bram hanya mendesah. "Baik. Kita tunggu hasil CCTV, lalu kita pastikan jejak mobil keluar gedung malam ini."

Revan mengepalkan tangan, berdiri kaku di samping Bram. "Apapun hasilnya, saya tidak akan diam. Tasya harus ditemukan dalam keadaan hidup."

---

Tasya menatap Fira dengan sorot mata berani meski wajahnya pucat. "Kalau kau pikir aku akan takut sama ancamanmu, kau salah besar, Fira."

Kata-kata itu membuat wajah Fira menegang. Dalam sekejap—

PLAK!

Tamparan keras mendarat di pipi Tasya, membuat kepalanya terhempas ke samping. Rasa perih langsung menjalar, bibirnya sedikit pecah.

"Jangan sok kuat di depanku!" bentak Fira, dadanya naik turun menahan amarah. "Kau nggak ngerti rasanya selalu berada di bayanganmu!"

Tasya terbatuk kecil, darah di sudut bibirnya diusap dengan punggung tangan meski terikat. Ia tersenyum tipis penuh perlawanan. "Kalau kau selalu merasa di bawahku, itu bukan salahku. Itu karena kau sendiri yang nggak pernah cukup berani buat maju."

Mata Fira membara, tangannya terangkat lagi seolah ingin menampar lebih keras. Tapi ia berhenti tepat di depan wajah Tasya, hanya menatapnya dengan kebencian mendalam.

"Kau pikir Revan akan selalu datang menolongmu? Kau salah besar, Tasya. Malam ini, kau sendirian."

Pintu besi berderit kembali saat Fira melangkah keluar, meninggalkan Tasya seorang diri. Suara kunci berputar di luar membuat jantungnya makin tercekat. Sunyi. Hanya ada suara tetesan air dari langit-langit bocor yang memantul di dinding kusam.

Tasya menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Pergelangan tangannya perih, kulitnya hampir lecet karena gesekan tali kasar. Tapi ia tak peduli. Ia menggeliat pelan, memutar pergelangan tangannya berulang kali.

"Harus … lepas …," gumamnya lirih, giginya terkatup rapat menahan sakit.

Kursi kayu tempat kakinya terikat berdecit, seakan siap runtuh kapan saja. Ia menundukkan kepala, mencoba menggeser pergelangan tangannya ke sudut sandaran kursi yang tajam. Sedikit saja ...

Tali itu mulai terasa longgar, namun setiap gerakan membuat seratnya menggores kulit hingga perih.

Tasya menggertakkan gigi. "Aku nggak boleh kalah di sini. Aku harus keluar …"

Detik itu, suara langkah samar terdengar di luar ruangan. Tasya langsung berhenti bergerak, napasnya ditahan. Apakah Fira kembali? Atau seseorang lain?

Kunci di pintu bergetar pelan.

TO BE CONTINUED

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!