Sepuluh tahun ingatan Kirana terhapus. Saat membuka mata, Kirana mendapati dirinya sudah menikah dengan pria asing yang menyebutnya istri.
Namun, berbeda dengan kisah cinta yang diharapkan, pria itu tampak dingin. Tatapannya kosong, sikapnya kaku, seolah ia hanya beban yang harus dipikul.
Jika benar, Kirana istrinya, mengapa pria itu terlihat begitu jauh? Apakah ada cinta yang hilang bersama ingatannya, atau sejak awal cintanya memang tidak pernah ada.
Di antara kepingan kenangan yang terhapus, Kirana berusaha menemukan kebenaran--- tentang dirinya, tentang pernikahan itu, dan tentang cinta yang mungkin hanya semu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shalema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang
Mobil Barra terus berjalan ke pinggiran kota, lalu berhenti di depan sebuah rumah cantik. Kirana melongo. Ia mengenal rumah ini.
Ini adalah bentuk rumah pada lukisan yang dibuat Kirana saat kelas 2 SMA. Dua tahun lalu jika berdasarkan ingatannya. Rumah impiannya.
"Mas... Ini?" mata Kirana basah.
"Selamat datang di rumah. Rumahmu!" Barra memandang Kirana.
Bagaimana rumah ini bisa sama dengan lukisannya. Seingat Kirana, ia tidak pernah menceritakan atau memperlihatkan pada siapa pun. Pada mamanya sekalipun.
Kirana melihat bu wulan membukakan pagar. Barra melajukan kembali mobilnya memasuki halaman.
Rumah itu tidak besar, tapi tidak juga kecil. Berlantai dua, didominasi nuansa alam. Cat krem dipadukan dengan kusen jendela kayu coklat. Halaman luas membentang di depannya. Rumput hijau terawat rapi dengan jalan setapak batu alam menuju ke teras.
Di sini kanan halaman, berdiri sebuah gazebo berukuran sedang, atapnya berbentuk limas, dengan kursi panjang di dalamnya. Di sana, Kirana membayangkan dirinya menggambar dan melukis.
Di dekat gazebo, taman bunga berwarna-warni memperindah halaman. Kirana melihat ada mawar, melati, hingga bunga kertas yang tumbuh subur.
Apakah aku sudah memberitahu Mas Barra? Apakah kami membangun rumah ini bersama? Ingat Kirana. Kosong. Kepala Kirana malah terasa berat.
"Kira... Ini adalah pertama kali kita akan tinggal di sini. Jika kau tidak mengingat rumah ini, itu bukan karena amnesia-mu. Tapi, memang tidak ada kenangan tertinggal di sini. Jadi, kau tidak perlu khawatir," jelas Barra ketika akan membuka pintu mobil.
Rumah ini belum pernah mereka tinggali. Apakah rumah ini baru selesai? Karena itu mereka belum pindah ke sini? Lalu, sebelum ini, di mana mereka tinggal? Di mana Kirana tinggal? Kirana memijat pelipisnya.
"Kira...," panggil Barra. "Apa yang sedang kau pikirkan?"
Kirana menggeleng. "Tidak ada Mas. Aku hanya lelah."
Barra memegang pipi Kirana sekilas, membuka pintu mobil lalu menggendongnya. Bu Wulan tergopoh membawakan kursi roda untuk Kirana.
"Tidak usah, Bu! Biar kugendong," tolak Barra. Kirana mengeratkan pegangannya di leher Barra.
Barra menggendongnya memasuki rumah. Harum pinus langsung tercium. Dari pintu utama, Kirana melihat sepasang kursi tamu berlapis kain krem mengait meja bundar kecil dengan vas bunga di atasnya. Dindingnya polos hanya dihiasi lukisan. Lukisan Kirana!
Barra membawanya melewati pintu lengkung. Sofa L abu-abu dengan bantal-bantal kecil menempel di dinding, meja kayu kopi di tengah, dan TV layar datar di menggantung di dinding berpanel kayu. Lantainya ditutupi karpet lembut. Tangga kayu berada di sudut ruangan menuju lantai dua.
Kirana menoleh ke arah Barra. Keduanya beradu pandang. Tidak ada suara. Kirana bisa merasakan nafas Barra di wajahnya.
"Ehemm... Mas, Mba. Tasnya mau ditaruh di mana?" Pak Herman memutus pandangan keduanya.
"Di kamar utama saja Pak. Sebelah sini." Barra menggendong Kirana masuk ke dalam sebuah kamar yang cukup besar.
Di dalamnya ada satu tempat tidur besar terbuat dari kayu, dilengkapi lampu tidur di kedua sisi. Ada meja dan kaca rias serta lemari pakaian. Di sudut, Kirana melihat sofa baca dan meja kayu kecil. Jendela besar memberikan cahaya alami dan pemandangan ke taman bunga di halaman.
Barra merebahkan Kirana di atas kasur. "Istirahat dulu, bu Wulan sedang menyiapkan makan siang. Aku harus ke kantor sebentar. Panggil bu Wulan kalau kamu membutuhkan sesuatu," jelas Barra.
Kirana mengangguk lalu mencium punggung tangan Barra. "Hati-hati," ucap Kirana pelan.
Barra mematung menatap Kirana sebelum akhirnya keluar dari kamar.
Kirana merebahkan diri dan memejamkan mata. Kepalanya masih berdenyut karena tanpa sadar Kirana mencoba mengingat asal muasal rumah ini.
********
Perut Kirana berbunyi... Kirana membuka mata. Sinar matahari sudah tinggi. Kirana melihat jam dinding. Jam 2 siang. Pantas saja ia lapar. Ia tertidur cukup lama hingga lebih dari 3 jam.
Kirana melihat kursi rodanya terbuka di samping tempat tidur. Ia duduk di sisi kasur. Bangkit perlahan. Ia melangkahkan kakinya menuju kursi roda.
1...2...3...4...5 sampai! Kirana duduk di atas kursi roda. Memutar roda dengan kedua tangannya keluar dari kamar. Sebelum pulang dari rumah sakit, Kirana sudah belajar bagaimana mengontrol kursi roda.
"Bu... Bu Wulan!" Kirana mencari bu Wulan.
"Iya Mba, saya di sini. Di dapur!"
Kirana memutar rodanya ke arah belakang, melewati ruang TV, tiba di dapur sekaligus ruang makan. Ia kembali terpana.
Nuansa kuning berpadu dengan krem membuat ruangan terasa nyaman dan ceria. Meja makan kayu dengan enam kursi empuk di tengah. Dapurnya bergaya minimalis dengan dengan kebinet putih, kulkas stainless, kompor tanam dan peralatan dapur yang sudah tertata rapi di rak terbuka.
"Sudah bangun Mba?"
Kirana tidak menggubris pertanyaan bu Wulan. Ia terus memutar roda membuka pintu geser yang memisahkan dapur dengan halaman belakang. Semilir angin sejuk memenuhi dapur. Suara gemercik air dari kolam ikan terdengar.
Halaman belakang rumah ini sama luasnya. Sebuah teras dengan meja makan outdoor berada tepat di belakang pintu kaca geser. Di samping teras, ada petak tanah yang ditanami bunga matahari dan tanaman hias lain, memberi warna ceria pada suasana rumah.
"Mas Barra betul-betul sedetail ini. Bagaimana dia bisa tahu? Semuanya persis seperti yang kuimpikan," bisik Kirana pada dirinya sendiri.
"Mba mau makan?" tanya bu Wulan memutus lamunan Kirana.
"Ini sudah siang! Mba Kirana belum boleh telat makan! Tadi saya mau bangunkan gak tega. Tidur kok kayak orang pingsan!" omel bu Wulan.
"Iya bu, aku juga udah lapar," kata Kirana sudah terbiasa mendengar omelan bu Wulan.
Kirana menempatkan diri di meja makan. Bu Wulan menyiapkan hidangan makan siang. Nasi, capcay, ayam goreng, tempe bacem dan kentang balado. Air liur Kirana menetes.
"Kata dokter, Mba gak ada pantangan. Boleh makan apa saja. Tapi, kata Mas Barra tetap harus dijaga. Tetap makanan sehat. Kalaupun harus ada yang pedas belum boleh banyak-banyak. Jadi makan kentangnya sedikit saja," jelas bu Wulan panjang lebar.
"Iya Bu," angguk Kirana. Sekali lagi, Barra tahu kebiasaan makan Kirana, harus ada makanan pedas.
Kirana lalu menghabiskan makan siang yang terlambat. Ternyata masakan bu Wulan cocok dengan lidah Kirana. Ia melahap semua makanan yang ada di piring.
"Aduh Mba! Kok dihabiskan semua. Kentangnya juga! Gimana kalau sakit perut. Saya bakal kena tegur Mas Barra kalau begini!" Kirana kembali mendapat omelan.
*********
Kirana baru saja selesai membersihkan badan dengan dibantu bu Wulan. Ia lalu bergerak ke arah lemari pakaian. Kirana termanggu, ia bingung mau memakai pakaian apa.
"Kok bengong Mba? Ayo, cepat pakai baju, nanti masuk angin. Repot!!" ketus bu Wulan.
"Bu, ini semua baju siapa?" Kirana memilih-milih pakaian yang tergantung.
"Ya baju Mba Kirana-lah! Masa baju saya! Kebagusan Mba, gak pantas buat saya. Hahahaha."
"Baju saya Bu?" Matanya membulat melihat bu Wulan.
"Kenapa? Gak ada yang bagus? Mau beli baju lagi?!" Kali ini suara bu Wulan meninggi.
"Bukan bu, bajunya bagus-bagus. Tapi semuanya terbuka begini. Aku kurang nyaman kalau pakai baju begini."
Mata bu Wulan membesar. "Gak nyaman? Kemarin-kemarin nyaman-nyaman saja," sindirnya.
"Kemarin kapan Bu? Sebelum kecelakaan?"
"Lha, iya. Dari sejak Mba nikah sama Mas Barra, bajunya sudah begitu."
Giliran mata Kirana yang membesar. Sejak kapan selera pakaiannya berubah? Dan apa yang membuatnya berubah? Seingat Kirana, ia selalu pakai baju yang sopan, yang sedikit tertutup. Panjang dress-dressnya selalu di bawah lutut. Ia pun lebih memilih menggunakan celana panjang yang sedikit lebar daripada celana ketat.
Tapi apa ini? Semuanya dress-nya pendek sepaha. Roknya pun sama. Kaos dan blousenya lebih banyak bertali spagheti atau berkerah rendah. Celana panjangnya.... Kirana akan merasa tidak menggunakan celana saat memakainya.
"Aku pakai ke mana baju-baju seperti ini?" gumam Kirana.
"Ya, ke mana-mana!" sahut bu wulan.
"Baju mas Barra di mana, Bu?" Kirana melihat di dalam lemari hanya ada pakaiannya.
"Di kamarnya! Di atas!" tunjuk bu Wulan ke arah lantai dua.
"Kamar Mas Barra bukannya di sini juga?"
"Hehehehe, sejak kapan Mba Kirana mau sekamar dengan Mas Barra," jawab bu Wulan sekenanya sambil tertawa getir.
"Apa, Bu?" Kirana memutar roda kursinya agar berhadapan dengan bu Wulan.
Pada saat itulah bu Wulan tersadar sudah terlalu banyak berbicara.
biasa namanya juga dalam rumah tangga