Calya, seorang siswi yang terpikat pesona Rion—ketua OSIS tampan yang menyimpan rahasia kelam—mendapati hidupnya hancur saat kedua orang tuanya tiba-tiba menjodohkannya dengan Aksa. Aksa, si "cowok culun" yang tak sengaja ia makian di bus, ternyata adalah calon suaminya yang kini menjelma menjadi sosok menawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asma~~, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Calya tak menghiraukan perkataan Aksa. Ia terus melangkah, membiarkan tubuhnya basah kuyup oleh hujan. Ia tidak ingin lagi mendengar apa pun, apalagi dari Aksa. Ia hanya ingin sendiri.
Namun, langkahnya terhenti saat dua lengan kokoh melingkari tubuhnya dari belakang. Aksa memeluknya erat, menahan langkah Calya.
"Lepasin gue!" teriak Calya, memberontak. Ia memukul-mukul lengan Aksa yang melingkari perutnya, namun sia-sia. Aksa hanya mengeratkan pelukannya. Tangis Calya pecah, amarahnya meluap menjadi tangisan pilu.
"Nggak, aku enggak akan biarin kamu pergi!" bisik Aksa, suaranya parau ia kembali melunak.
Tanpa aba-aba, ia melepaskan pelukannya, membalikkan tubuh Calya, lalu menggendongnya. Calya terkejut. Ia memberontak sekuat tenaga, memukuli dada Aksa, namun kekuatannya tak sebanding dengan tenaga Aksa.
Aksa membawanya ke mobilnya dan mendudukkannya di kursi penumpang. Ia mengabaikan semua perlawanan Calya. Setelah memastikan Calya tidak bisa keluar, ia memutari mobil dan masuk ke kursi kemudi.
Hening. Calya menunduk, menangis dalam diam. Ia tidak lagi memberontak. Ia sudah kehabisan tenaga. Pandangannya kosong, menatap keluar jendela, membiarkan butiran air hujan membasahi kaca. Aksa hanya bisa menatapnya, ada perasaan lega karena akhirnya ia menemukan Calya, namun juga sedih melihat betapa hancurnya Calya saat ini.
Aksa menjalankan mobilnya, membelah jalanan kota yang kosong dan diguyur hujan. Suara petir bergemuruh di langit, seolah ikut meraung bersama badai. Aksa sesekali melirik ke samping, takut-takut Calya akan ketakutan. Namun, ia melihat Calya sudah terlelap, lelah setelah semua yang terjadi. Baju Calya masih basah, membuat Aksa merasa bersalah. Ia membiarkan Calya tidur, berharap itu bisa menenangkannya.
Sesampainya di apartemen, Aksa mematikan mesin mobil. Ia menggendong Calya keluar dari mobil, tidak peduli dengan hujan yang membasahi pakaiannya. Calya yang merasakan pergerakan itu, terbangun. Ia terkejut, memberontak, dan meminta untuk diturunkan. "Aksa, turunin gue! Gue mau pulang!" teriak Calya, suaranya parau.
Namun, Aksa tidak menggubrisnya. Ia tetap menggendong Calya, membawanya masuk ke dalam apartemennya. Ia hanya terus berjalan, tidak peduli dengan perlawanan Calya. Ia tahu Calya butuh istirahat, dan ia tidak akan membiarkannya pergi lagi.
Aksa membawa Calya ke kamar mandi. Diletakkannya handuk kering di dekat wastafel. "Mandi. Pakaian lo basah semua," ucapnya dengan nada lembut, namun diabaikan oleh Calya.
"Nggak usah peduliin gue!" teriak Calya. "Pergi lo!"
Aksa hanya bisa menghela napas pasrah. Ia tahu, memaksanya hanya akan memperburuk keadaan. Aksa memilih untuk keluar dan berjalan ke dapur. Ia mulai menyiapkan air hangat dan cokelat panas, berharap itu bisa sedikit menenangkan hati Calya yang sedang kalut.
Namun, beberapa menit berlalu, Calya tak kunjung keluar dari kamar mandi. Aksa mulai panik. Rasa cemas kembali menyelimutinya. Ia bergegas kembali ke depan pintu kamar mandi, menggedornya dengan kuat.
"Calya, lo baik-baik aja? Cepat keluar!" teriak Aksa, suaranya dipenuhi kekhawatiran.
Tak ada jawaban.
Aksa menggedor lagi. "Calya! Jawab gue! Atau gue dobrak pintu ini!" ancamnya, suaranya kini terdengar putus asa.
Di dalam, Calya duduk meringkuk di lantai yang dingin, memeluk lututnya. Ia mendengar semua teriakan Aksa, tapi ia tidak peduli. Ia merasa sangat sewot. Ia benci dengan Aksa. Bagi Calya, Aksa hanyalah seorang pengganggu yang datang di saat ia ingin sendiri. Ia merasa semua masalah ini terjadi karena Aksa, dan kini pria itu terus-terusan mengganggu hidupnya. Calya hanya diam, tidak berniat untuk keluar. Ia membiarkan Aksa khawatir, ia membiarkan Aksa marah. Ia hanya ingin Aksa pergi dan meninggalkannya sendirian.
Suara Aksa yang menggantung di udara tiba-tiba ditelan oleh raungan petir yang memekakkan telinga. Seketika, kilat menyambar, menerangi ruangan sesaat, lalu kegelapan total menyelimuti segalanya. Lampu apartemen padam.
"AKSA!" teriak Calya dari dalam kamar mandi. Suaranya pecah, dipenuhi ketakutan yang mencekam. Calya fobia kegelapan dan suara guntur, dan sekarang ia terjebak di dalam kegelapan yang pekat. Jantungnya berdebar tak karuan, seolah-olah ingin melompat keluar dari dadanya. Ia tidak peduli lagi dengan amarahnya pada Aksa, ia hanya ingin seseorang menemaninya.
Pintu kamar mandi terbuka. Calya melihat bayangan Aksa berdiri di depannya. Tanpa pikir panjang, ia melompat, memeluk Aksa dengan erat. Tubuhnya gemetar hebat, isakannya terdengar pilu di tengah badai.
Aksa terkejut, namun ia segera membalas pelukan Calya, mendekapnya erat. Ia mengusap rambut Calya, mencoba menenangkannya. "Sst... jangan takut. Aku di sini," bisik Aksa, suaranya lembut, menenangkan. "Aku nggak akan pergi. Aku di sini."
Calya semakin menenggelamkan wajahnya di dada Aksa. Ia bisa merasakan detak jantung Aksa yang teratur, dan itu sedikit menenangkannya. "Gue takut," bisiknya, suaranya bergetar.
"Aku tahu. Tapi ada aku sekarang," balas Aksa, tangannya mengusap punggung Calya. "Enggak ada yang perlu kamu takutin. Aku janji, aku enggak akan biarin apa pun terjadi sama kamu. Aku di sini, Cal. Tenang, ya."
Pelukan mereka semakin erat, seolah-olah tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Di tengah kegelapan dan badai, mereka menemukan satu sama lain, dan di dalam pelukan itu, ketakutan Calya perlahan sirna, digantikan oleh kehangatan dan rasa aman yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Sinar rembulan yang masuk dari celah jendela menjadi satu-satunya penerangan di ruangan itu. Calya keluar dari kamar mandi, mengenakan jubah mandi Aksa yang kebesaran. Ia merasa sangat canggung. Pikirannya dipenuhi oleh satu hal: ia tidak mengenakan bra. Ia merasa sangat malu, tubuhnya mendadak terasa sensitif.
Calya berjalan pelan, mengendap-endap. Dari balik tembok, ia mengintip ke arah Aksa yang kini duduk di sofa, punggungnya menghadap ke arahnya. Aksa yang merasakan pergerakan, menoleh.
"Kenapa?" tanya Aksa, alisnya terangkat.
Calya gelagapan. Wajahnya seketika memerah. Ia merasa seperti anak kecil yang tertangkap basah. "Eng... enggak apa-apa," jawabnya, suaranya pelan sekali. Ia mengintip lagi, kali ini lebih lama.
Aksa mengerutkan kening. " mau ke kamar, kan? Sana ganti baju. aku di sini kok."
Calya tidak bergerak. Ia menggigit bibir bawahnya. Ini terlalu memalukan. "Temenin," bisiknya pelan, hampir tak terdengar.
Aksa berdiri dan berjalan mendekat. "Apa? aku enggak dengar."
Calya menelan ludah. Ia memberanikan diri menatap mata Aksa, yang kini terlihat lebih lembut tanpa kacamata tebalnya. "Temenin... temenin gue... ganti baju," bisik Calya lagi, kali ini lebih jelas.
Aksa terdiam. Matanya membulat. Ia mematung, seolah-olah seluruh sistem sarafnya berhenti bekerja. Permintaan itu... begitu tak terduga. Wajahnya yang semula tenang kini berubah merah padam.
"Hah?" Aksa berkata, suaranya tercekat. "aku? Nemenin kamu ganti baju?"
"Iya," jawab Calya, matanya menunduk. "Gue... gue takut gelap. Di kamar pasti gelap."
Aksa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ta-tapi... itu... loh..." Dia tak bisa merangkai kata-kata. Situasi ini membuatnya sangat canggung.
"Kenapa? Lo enggak mau?" tanya Calya, suaranya kini terdengar sedikit sedih.
"Bukan gitu," balas Aksa cepat. "Cuma... aku... aduh!" Aksa menghela napas, frustrasi dengan dirinya sendiri. "Iya. aku temenin. Tapi... kamu... beneran mau?"
Calya mengangguk. "Kenapa enggak? Bukannya kita mau menikah?" ucapnya, suaranya kembali terdengar ketus, seolah mencoba menutupi rasa malunya.
Aksa hanya bisa pasrah. Hatinya berdebar tak karuan. Ia tidak tahu harus merasa apa, antara cemas, canggung, dan sedikit bahagia. Ia melangkah maju, membiarkan Calya berjalan di depannya, menuju kegelapan yang entah akan membawa mereka ke mana.