Ini kisah nyata tapi kutambahin dikit ya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Taurus girls, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Drtttt....drrrrtttr.....
"Hallo.."
"Lo kemana El? Kok bolos," suara Dita di telepon membuat Ella menghentikan langkahnya.
"Gue di rumah sakit gu---"
"Lo sakit?! Sakit apa?! Kok gue nggak tahu?!"
Ella mendesis kesal karena Dita memotong ucapannya dan banyak melontarkan pertanyaan. "Makanya kalo gue lagi ngomong tuh di dengerin. Kebiasaan suka motong pembicaraan orang,"
"Ya gue kan panik El. Emangnya lo sakit apaan?"
"Bukan gue yang sakit tapi Sendi."
"HAH..?! Se-sendi? Gu-gue nggak salah denger El?" suara Dita di seberang sana terdengar sangat terkejut dan Ella pun mengetahui akan itu.
"Tadi gue di anter sama Mas Dicky dan di perjalanan ke sekolah gue sama Mas Dicky nemu Sendi yang udah pingsan di pinggir jalan, gitu,"
"Terus lo bawa ke rumah sakit, gitu?"
"Nah iya." jawab Ella dia mulai melangkah lagi menuju kantin rumah sakit untuk membeli wedang jahe sesuai yang dia katakan pada Sendi dan juga di dengar oleh mas Dicky.
Kenapa belinya wedang jahe?
Kenapa bukan beli teh manis hangat saja?
Tentu saja Ella mempunyai alasannya sendiri. Dan apa alasannya?
Alasannya adalah, Dokter meminta Sendi mengkonsumsi obatnya dan kata dokter selama akan minum obat Sendi tidak boleh minum teh atau kopi. Jadi Ella memilih membelikan wedang jahe saja, dan itu kemungkinan akan aman, itu menurut Ella ya.
"Ooohhh... Oke. Ya udah deh nanti pulang sekolah gue ke situ, share lock ya El," kata Dita.
"Siap."
...----------------...
"Di minum dulu."
Ella meletakan segelas wedang jahe di atas nakas dekat barankarrr. Lalu membantu Sendi untuk duduk bersandar, tentunya Dicky juga ikut andil.
"Maaf udah merepotkan elo El, harusnya lo juga nggak perlu bawa gue ke rumah sakit. Gue baik-baik aja kok,"
Sendi meletakan wedang jahe di atas nakas setelah meneguk wedang jahenya hingga tersisa setengah. Jujur saja Sendi merasa tidak enak hati pada Ella karena sudah merepotkan Ella tapi Sendi juga merasa berterima kasih pada Ella karena Ella sudah peduli kepadanya dan mau membawanya ke rumah sakit ini. Padahal Ella itu bukan siapa-siapanya tapi Ella terlihat begitu peduli padanya. Berbeda dengan Ayah. Ayah justru malah mengusirnya di saat Sendi sedang tidak enak badan seperti ini.
"Baik-baik aja gimana? Orang lo sampe pingsan di pinggir jalan begitu kok. Kata dokter lo tuh tadi demamnya tinggi, Sen. Itu namanya lo nggak baik-baik aja. Elo tuh sakit Sendi," Ella tak habis pikir.
Padahal Sendi sampai pingsan di pingggir jalan lho, kok Sendi masih bisa ngomong kalau dia baik-baik aja? Heran deh.
Sendi terdiam. Sendi tidak bisa berkata apa-apa. Yang di katakan Ella tadi itu memang benar kok. Kalau Sendi memang sedang tidak baik-baik saja. Sendi memang sedang sakit. Dan harusnya Sendi itu istirahat di rumah saja bukan malah keluyuran di jalanan seperti tadi. Tapi di rumahnya, Ayahnya sudah mengusir Sendi dan kalau tidak ngeluyurrr. Sendi mau kemana lagi mencari tempat tinggal?
Ah
Sendi jadi teringat sama Agel dan Ridho. Tadi Sendi niatnya ingin ke rumah mereka tapi sudah keburu pingsan duluan di jalan karena saking pusingnya.
"El, hp gue ada di lo nggak?"
"Engg--"
"Ada di gue,"
Dicky yang sejak tadi hanya diam dan hanya menyimak obrolan Ella dan juga temannya itu bersuara. "Hp lo ada di gue kebetulan tadi jatuh di dekat lo yang pingsan, ini," Dicky memberikan ponsel milik Sendi.
"Makasih Kak,"
Sendi tersenyum tipis. Sendi merasa lega karena ponselnya tidak hilang. Sendi juga merasa sangat berterima kasih pada Ella dan juga kakaknya Ella itu.
Kakak?
Ah, Sendi tidak tahu cowok yang bersama Ella itu siapanya, yang jelas Sendi sangat berterimakasih kepada dia dan juga Ella.
"Maaf udah bikin repot kakak dan juga Ella. Maaf karena gue udah bikin repot kalian berdua." kata Sendi lagi tulus dari dalam hati.
Dicky mengangguk. "No problem."
"El, kita keluar dulu. Ada yang perlu aku bicarain sama kamu." kata Dicky lagi menatap Ella.
"Ayo Mas,"
Mas?
Sendi mengernyit tapi lebih memilih untuk tidak peduli. Mungkin Mas memang panggilan Ella untuk kakaknya. Sendi tak peduli. Sendi lebih memilih fokus untuk mengirim pesan pada Agel serta Ridho.
"Mau ngomong tentang apa Mas?" tanya Ella setelah mereka berdua berada di luar kamar rawat Sendi.
Dicky memepet Ella pada dinding yang di dekat pintu kamar rawat Sendi. Dicky menatap Ella dengan lekat, membuat Ella merasa sangat gugup.
"Mas, please jangan gini. Ini di tempat umum," Ella memalingkan wajah supaya tidak terlihat kalau dirinya itu merasa gugup.
"Yang di dalam sana itu dia teman kamu, El?" tanya Dicky.
"Iya. Teman."
"Sungguh?"
Ella menganguk. "Sungguh."
Dicky mendengus. Menjauhkan wajah dari Ella. Memasukan kedua tangan di dalam saku celananya. "Kok aku ragu ya kalau dia itu temen kamu,"
Ella bernapas lega karena Dicky sudah menjauh, membuat rasa gugup Ella itu perlahan memudar. Tapi perkataan Dicky yang sekarang justru membuatnya bingung.
"Ragu gimana, Mas?"
"Kamu kayak peduli banget sama dia. Aku nggak suka,"
Dicky melengos, kedua tangan yang tadi ada di saku celana, kini sudah terlipat di dada. Jelas kelihatan kalau Dicky ini sedang ngambek. Bagi orang yang peka. Sayangnya Ella ini tidak peka.
"Dih! Apaan sih? Mending kita makan yuk! Udah siang dan aku juga udah laper lagi."
Ella berjalan meninggalkan Dicky menuju kantin rumah sakit, membuat Dicky melotot tak percaya.
"Ya Allah Eeel, harusnya aku di bujuk atau apa kek. Lha ini malah di tinggal. Ck, dasar Ella nggak peka," Dicky mengacak rambutnya dengan kesal. "Tapi sayangnya aku cinta sama Ella. Huh,"
Dicky pun mengejar langkah Ella yang sudah jauh mungkin Ella malah sudah sampai di kantin sana.
...----------------...
Kiki membuka pintu rumah bapaknya tapi di dalam rumah itu kelihatan sangat sepi. Kiki menebak jika bapak dan juga adiknya tidak ada di rumah.
"Pak! Dek!"
Sambil melangkah lebih masuk ke dalam rumah lagi, Kiki berseru memanggil bapak dan juga adiknya itu.
"Pak! Bapak!"
"Iya! Kenapa Ki?"
Suara Roni terdengar dari belakang rumah. Kiki segera menuju ke sana. Dan menemukan bapaknya itu yang sedang memotong kayu.
"Sendi kemana Pak? Sekolah ya?" tanya Kiki pada bapaknya, Roni.
"Hmmm..." Roni menjawabnya dengan malas. "Kenapa Ki?"
"Mas Edi baru gajian dari membuat keranjang buah. Ini ada sedikit buat Sendi jajan. Nanti tolong kasihkan ke dia ya Pak." Kiki memberikan uang lima puluh ribu untuk Sendi pada bapak.
"Kalo yang ini buat Bapak." Uang merah satu lembar Kiki berikan pada Roni. Membuat Roni tersenyum senang.
"Terima kasih ya Ki." kata Roni.
Kiki tersenyum."Ya udah, aku pulang Pak. Ada acara sama temen di balai desa. Titipan buat Sendi jangan lupa ya Pak,"
"Iya."
Setelah Kiki pergi Roni menatap uang lima puluh ribu dan seratus ribu itu. Lalu menyimpannya di saku celana lusuhnya.
"Mending buat beli rokok daripada dikasih ke Anak itu. Cih! Bodo amat!"