Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 — Home Sweet Home
DAVIN menemukan tiga fenomena baru Umbral dalam eksplorasi “iseng” ke kolam renang tadi—dan ketiganya cukup mencengangkan. Pertama, katak yang sekarat di kolam utama tadi bukan tanpa sebab. Kedua, halusinasi yang menyerang Rayan jelas merupakan efek energi Umbral—dan nyaris berujung fatal. Dan ketiga, pola gelombang suara Umbral ternyata tak bisa diutak-atik sembarangan. Dia sama sekali tak bisa menebak apa yang akan terjadi kalau dia tetap nekat menyentuhnya.
Dia melarikan mobil menuju rumah Rayan nyaris tanpa suara. Mereka sudah berpisah dengan Sasha dan Elisa. Sasha tak bisa ikut singgah karena dia ada acara keluarga dari sore sampai malam. Elisa juga memilih pulang ke rumah karena tak ingin terus-terusan berdiskusi tentang “hantu.”
“Gue beneran belum bisa fokus gara-gara kejadian di kolam renang tadi,” ujar Rayan memecah keheningan. “Padahal hari ini kita harus nyiapin vlog berikutnya. Kita nggak bisa fokus “kerja” pada hari sekolah.”
“Mungkin hari ini kita break aja dulu, Bro,” saran Davin tenang. “Besok toh masih libur.”
Rayan hanya sedikit mengangkat bahu. “Gue masih kepikiran kejadian tadi. Bayangin aja, gue halu—dan itu bukan rekayasa.”
“Semua ini baru buat kita, Bro.” Davin tersenyum kecil lewat kaca spion dalam. “Sampai dua belas episode kemarin, semua aman-aman aja. Baru di episode tiga belas ini, kita ngalamin hal-hal aneh yang lebih nyata. Tapi paling nggak, lo pernah halu gara-gara Umbral.”
Rayan tertawa masam. “Bangga banget gue, ya, Prof. Tapi beneran, rasanya kita kayak keseret masuk ke adegan Friday the 13th. Parahnya lagi, yang nongol lebih serem dari Freddy Krueger.”
Tari merobek bungkus keripik kentang yang tadi dibelinya di kafe. Sebetulnya dia ingin menjelaskan kenapa hanya Rayan yang terjerat halusinasi—setidaknya, menurut versinya. Tapi dia sengaja memilih diam. Dia tahu, ucapannya hanya akan memicu dua reaksi. Meskipun Davin tak menolaknya mentah-mentah, namun dia bisa menebak cowok itu menganggap versinya tidak logis—sementara Rayan akan menanggapinya dengan skeptis. Rajah, tulisan Arab gundul, mantra tradisional, aksara Jawa kuno, mandala—semua itu bagi mereka seperti dongeng. Ironisnya, justru fenomena Umbral sendiri sudah melampaui nalar mereka.
Davin menghentikan mobil di halaman. Home sweet home. Kata-kata itu berkelebat di kepalanya seperti ejekan sinis, bukan penghiburan. Perjalanan pulang dari lokasi angker memang selalu diwarnai sisa-sisa ketegangan. Tapi biasanya begitu roda mobil berhenti di depan rumah Rayan, atmosfer berubah. Suasana hangat, aroma pewangi ruangan, dan cahaya lampu ruang santai keluarga seperti membungkus mereka dengan perasaan aman—seolah “markas” itu adalah tembok pertahanan terakhir dari bayangan suram dan seram di luar.
Namun sore ini berbeda. Bukannya lega, mereka justru merasa seperti membawa sesuatu pulang. Fakta bahwa Umbral seakan menempelkan GPS tracker ke laptop Davin membuat rumah itu tak lagi terasa netral. Empat dinding yang biasanya melingkupi mereka kini terasa transparan, seakan mata entitas nonfisik itu bisa menembus lapisan bata dan semen—mengintai setiap gerakan mereka. Tempat paling aman sekalipun mendadak terasa seperti ruang terbuka tanpa perlindungan.
Davin menghempaskan tubuhnya di kursi. Rayan menyelinap masuk ke kamarnya. Tari menatap Davin sebentar, lalu dia melangkah ke dapur sambil mengunyah keripik kentangnya. Dia menguap kecil. Pada jam-jam seperti sekarang memang paling enak beristirahat siang barang satu-dua jam.
Davin menoleh ketika melihat Tari muncul lagi sambil membawa sebotol minuman dingin. “Ada dua hal yang ngeganjal di kepala gue, Ri,” gumamnya.
“Aku heran cuma dua,” celetuk Tari sambil menjatuhkan tubuh di sofa. “Tapi nggak papa, aku dengerin.”
“Pertama,” Davin menatap kosong ke layar TV yang mati, “gue baru ingat kalau laptop gue tadi masih online. Dan kedua…, jarak kafe itu cuma beberapa kilometer dari kolam renang. Gimana kalau offline? Dan gimana kalau jaraknya empat puluh kilometer lebih? Apa masih bisa diintervensi Umbral?”
Tari mengangkat alis. “Aku tahu kamu pasti nggak bakal mau menyerah.”
“Otak Prof D memang harus terus mikir,” potong Rayan dengan seringai lebar, sambil keluar dari kamar. Dia sudah mengganti pakaiannya dengan kaos dan celana boxer. “Itu tugas hidupnya untuk kita. Gue sendiri nggak bakal kepikiran hal-hal ribet begituan. Oke, Prof, terus kenapa kalau offline? Dan kenapa kalau jaraknya cukup jauh?”
Davin menyandarkan diri di kursi. “Jawaban itulah yang gue mau tahu, Bro.”
Rayan menatap sahabatnya agak lama, lalu menarik napas. “Hmm, feeling gue nggak enak. Lo pengen ngelakuin uji coba lagi—di sini?”
“Jangan bilang lo keder, Bro.”
Rayan menyeringai masam. Dia menghempaskan tubuhnya di kursi. “Gue? Keder? Kita nggak mungkin bikin video horor kalau gue keder, Prof. Lagian, gue udah ngalamin halu barusan. Lo dan Tari belum. Tapi jangan lupa, kita sekarang di tengah kota. Sekitar dua ribu jiwa di sekitar sini pasti bakal panik kalau Umbral nongol di sini. Kalau para tetangga gue halu massal, Jakarta pasti heboh.”
“Bisa juga kamu lebay, Ray,” ujar Tari tanpa maksud bercanda.
“Gue cuma mau ngelakuin uji coba kecil,” ujar Davin datar. “Dan paling cuma beberapa menit. Kalau hipotesis gue benar, intervensi Umbral cuma terkoneksi lewat network. Kalau koneksi diputus, bisa jadi node anchor dia hilang. Dia cuma dormant code—kayak data tidur tanpa akses. Kalau benar begitu, maka distorsi resonansi dan resonansi reversal gue nggak nyolek apa-apa. Tapi hipotesis ini harus dibuktiin.” .
Rayan pura-pura berdecak kagum. “Lo luar biasa, Prof—selalu sukses bikin gue pusing. Tapi anggap aja gue paham. Gue pikir mungkin nggak ada risikonya. Di kafe tadi, lo setengah jam lebih ngutak-atik pola gelombang suara Umbral. Dan dia cuma “melotot” marah dari jauh. Lagian, dia butuh portal untuk nongol, kan?”
“Lo jenius, Bro.”
Rayan menyeringai bangga. “I know. Sayangnya, Sasha nggak liat itu.”
Tari menggelengkan kepala. Dia yakin bahwa itu juga salah satu penyebab mengapa Rayan terseret dalam halusinasi. Ketika orang lain berdoa untuk melindungi diri, Rayan justru membiarkan pikirannya kosong tanpa tameng apa pun. Dia sudah berkali-kali mengingatkan Rayan, Tapi sahabatnya terlalu keras kepala berpegang pada keyakinannya, meskipun itu tidak salah.
--
Laptop Davin sudah dikoneksikan ke layar kaca raksasa di ruang santai keluarga. Dia sengaja melakukan itu agar mereka bertiga dapat melihat grafik gelombang suara Umbral dengan jelas, dan suaranya yang nyaring juga mudah disimak tanpa perlu headset.
“The moment of truth,” gumam Rayan sambil menatap layar televisi yang menampilkan screensaver laptop Davin. “Gue harap lo nggak ngusik macan tidur kayak tadi, Prof.”
“Gue harap juga begitu.”
“Sebentar, Dev,” potong Tari tiba-tiba.
Davin dan Rayan menoleh ke arahnya.
“Coba bukan file simbol di catatan Prof A sebentar,” pinta Tari. “Aku mau nunjukin sesuatu sama kamu.”
Davin mengernyitkan alisnya tapi menurut. Tanpa suara, dia mengklik file satu per satu sampai menemukan simbol yang dimaksud Tari. Di layar, tampak satu lingkaran dengan coretan asing di tengahnya.
“Kalian tahu itu tulisan apa?” tanya Tari.
Davin menggeleng. “Gue nggak tahu. Itu cuma simbol nggak dikenal.”
Rayan menatap lekat layar TV, lalu menoleh pada tari. “Tanda tangan alien?”
Tari menarik napas dalam. “Itu aksara Jawa kuno. Aku nggak ngerti artinya. Tapi aku ingat jelas pernah lihat huruf-huruf seperti itu di rumah eyangku. Ada di kain doa, dan di pintu lumbung yang katanya nggak boleh dibuka. Coba buka file lain.”
Davin mengklik lagi.
“Stop,” ujar Tari.
“Nah, kalau ini gue tahu,” cetus Rayan sambil menyeringai puas. “Itu tulisan Arab gundul.” Dia mengangkat wajah dengan kaget. “Wow, maksud lo—?”
“Bukan maksud aku, Ray,” sela Tari penuh intonasi. “Tapi file seorang ilmuwan jenius yang “ngomong” itu. Waktu Davin nunjukin file-file itu di taman sekolah kemarin, aku tahu kalau Umbral nggak bisa dilawan hanya pakai logika sains atau adu nyali secara konyol. Bahkan ilmuwan sekelas Prof A pakai perlindungan non-ilmiah. Dan buktinya, aku nggak kena efek energi Umbral di kolam tadi.”
Hening sejenak.
“Lo ada… bawa jimat atau rajah?” tanya Rayan pelan.
“Aku selalu bawa itu ke mana-mana. Aku dikasih Eyang waktu umur sebelas tahun. Tapi bukan jimat kayak yang kamu bayangin. Aku yakin kamu lupa baca yang biasa kamu baca. Kamu santai banget tadi. Mungkin kamu merasa aman. Padahal seluruh aktivitas kita nggak pernah aman.”
“Gua tahu simbol-simbol yang Papa bikin bukan tanpa makna,” gumam Davin. “Tapi kepala gue nggak cukup gede untuk ngerti semua dalam satu malam.”
Ya, tentu saja dia ada menyimak huruf-huruf Arab di buku catatan Adrian. Ada juga simbol-simbol tradisional yang sepertinya dari keyakinan lain. Tapi dia tidak fokus pada hal itu. Dia bukan ahli agama. Dia hanya fokus pada hal-hal yang bisa dia olah secara teknis—pola, algoritma, noise, glitch dan data.
Namun interupsi Tari seolah menggugah kesadarannya bahwa Umbral tidak cukup dilawan hanya dengan kekuatan sains dan teknologi. Ada satu celah lain untuk melumpuhkan entitas nonfisik yang mematikan itu.
Dia menatap Tari agak lama tanpa suara—persis seperti ketika dia pertama kali mengakui bahwa kepekaan sahabatnya sejalan dengan getaran grafik pada EMF detector-nya.
Sejenak Tari membalasnya dengan wajah nyaris tanpa ekspresi, dan dia tahu, Davin membutuhkan kearifan tradisionalnya untuk melawan Umbral.