Beberapa orang terkesan kejam, hanya karena tak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Kata-kata mengalir begitu saja tanpa mengenal perasaan, entah akan menjadi melati yang mewangi atau belati yang membuat luka abadi.
Akibat dari lidah yang tak bertulang itulah, kehidupan seorang gadis berubah. Setidaknya hanya di sekolah, di luar rumah, karena di hatinya, dia masih memiliki sosok untuk 'pulang' dan berkeluh kesah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulbin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Pesta
Kini, Nayna bertemu kembali dengan gadis itu. Setelah waktu berlalu dan dia pergi jauh dari kampung halaman, meninggalkan kenangan pahit yang menjadi trauma tersendiri dalam hidupnya.
Kenapa harus ada dia lagi? Kukira, semua sudah terkubur di sana (kampung halaman), nyatanya seperti dejavu, berkumpul lagi di sini, di kota ini. Aksara, Vita dan aku. Kenapa?
Nayna menutup wajahnya dengan novel yang dia baca. Sementara dari luar kamar, terdengar suara sang ayah yang memanggilnya.
Gadis itu beranjak, membuka pintu dan menatap ayah dan ibunya yang rapi dengan pakaian yang serasi.
"Ayah, Ibu, mau ke mana? Tumben banget tampil keren gini."
Dengan cepat, Siti melemparkan tatapan maut ke arah putrinya sambil berkacak pinggang.
"Tumben? Kamu kira selama ini kami jelek? Iya?"
Rahmat ikut menimpali, "Ibumu udah cantik dari dulu, Nay. Makanya bikin Ayah jatuh cinta terus."
Nayna tertawa melihat rona merah yang muncul di kedua pipi ibunya.
"Cie, baper nih, ... aduh! Ampun, Bu!"
Gadis itu berlari ke belakang tubuh ayahnya, menghindari cubitan sang ibu yang kecil, namun bikin panas dingin rasanya.
Rahmat dengan cepat melerai dua wanita itu.
"Udah, Bu. Udah. Nanti gincumu ke mana-mana, bedakmu juga luntur kena keringat. Kita berangkat sekarang aja ya, takutnya telat."
"Ke mana, Yah? Kok aku nggak diajak?" tanya Nayna yang memeluk ayahnya dari belakang.
"Motornya nggak muat! Udah gede, masa ke mana-mana kudu ngikut." Siti merapikan pakaian dan bercermin untuk memastikan riasan wajahnya tidak belepotan.
"Mau ke tempat tante Fitri," jawab Rahmat sembari memutar tubuh dan berhadapan dengan anaknya.
Nayna terdiam, kemudian bergumam, "Ayah yakin mau ke sana? Aku ikut ya, Yah."
"Kamu di rumah aja, kami cuma sebentar kok. Buat setor muka aja, nggak enak kan, udah diundang tapi nggak dateng."
Rahmat dan Siti berlalu pergi, setelah menasehati putrinya. Sedangkan dalam hati dan pikiran Nayna, terus bersliweran segala pertanyaan yang membuatnya tersenyum kecil.
*
Orang-orang berdatangan dengan gaun juga jas yang elegan dan terkesan glamour. Rumah mewah itu penuh hiasan yang semakin menambah kemeriahan pesta.
Tepat di tengah ruangan yang luas, sepasang suami istri berdiri berdampingan. Senyum indah terlukis di wajah keduanya dan mereka pun sesekali menyapa, sedikit berbincang dengan para tamu yang berdatangan.
Namun, senyum itu lenyap kala sepasang suami istri muncul di ambang pintu. Bukan penampilan mereka yang berbeda, tapi sorot tajam dari wajah di belakangnya.
"Selamat ya, Git. Karirmu makin cemerlang. Semoga amanah dengan jabatan barumu." Rahmat menjabat tangan iparnya, bergantian dengan Siti yang turut memberi ucapan.
"Kenapa tu anak nggak suruh masuk aja, Mas?"
Fitri menatap kedua tamunya yang kini mengeryit heran.
"Anak? Anak siapa, Fit?" Rahmat menatap sekeliling, mencari objek yang dimaksud adiknya.
"Anakmu lah, masa iya anakku. Anakku jelas di Amerika, sekolah di sana," terang Fitri dengan nada meremehkan.
"Nayna di rumah, sengaja kami nggak ajak dia, biar belajar aja, sekalian tunggu rumah. Ya, meski rumah kami nggak mewah, tapi tetep aja itu tempat ternyaman yang hangat, bukan sekedar penginapan yang dingin. Apalagi isinya debat terus, udah kaya rapat dewan." Siti menyunggingkan senyum tipis sembari melirik tajam ke arah iparnya. Sedangkan Fitri terdiam, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain.
Acara dimulai, semua hening saat Bramantyo sebagai ayah dari Sigit, membuka suara.
"Terima kasih untuk kehadirannya, kami sungguh terharu akan semua ini ... "
Laki-laki itu mulai menceritakan perjalanan karir anaknya, hingga saat ini. Tak tertinggal pula, si pemilik acara yang memberi sambutan dan beberapa kalimat yang terkesan ... membanggakan diri.
"Cih, sombongnya Iparmu, Yah. Nggak inget dulu yang bantuin keluarga mereka bangkit itu siapa, pak Bram juga lirikannya gitu banget, sok kaya, padahal kita juga tahu siapa dia sebenarnya." Siti terkikik geli di samping suaminya yang memberi kode untuk tetap tenang.
Entah siapa yang mulai, saat acara santai berlangsung. Fitri datang dengan suaminya dengan wajah angkuh.
"Mas, pergi aja sana! Pulang! Ganggu pemandangan, dari tadi mereka lihatin kalian, kami yang malu. Dah sana, pulang, pulang!" Fitri sedikit mendorong tubuh kakaknya, sementara Siti mencekal tangan iparnya dengan kuat.
"Heh, kami bisa pulang sendiri tanpa perlu kekerasan. Inget ya, dia kakakmu, pengganti orang tua kalian yang lama tiada. Nggak usah sok garang di depanku, Fit. Aku tahu siapa kamu, siapa keluarga mertuamu juga. Omongan kalian tak lebih dari sampah busuk!"
Siti melepas cekalannya, lalu menarik tangan Rahmat untuk berlalu. Namun, saat itu juga, seseorang dengan sengaja menjulurkan satu kakinya, membuat Siti dan Rahmat terjatuh.
"Ratna?"
Rahmat bangkit lalu menolong istrinya. Tatapan mereka tertuju pada seorang wanita bergaun merah yang berdiri di samping laki-laki yang tengah tertawa kecil.
"Hai, Mas. Apa kabar? Kok kamu tambah jelek aja ya, kucel mirip gembel. Eh iya, Mbak ipar, gimana kabarnya? Masih jualan? Duh, nasib kalian kok gitu-gitu aja, nggak ada kemajuan ya?"
Kini, Rahmat dan Siti diteror oleh dua pasang suami istri yang terus menghina, merendahkan dan mempermalukan mereka di tengah keramaian acara yang belum selesai.
Kata-kata pedas yang menyayat, membuat Rahmat menekan dadanya. Mencoba meredakan pedih itu, namun sia-sia. Mereka semakin gencar membuat kakak dan istrinya kehilangan muka di depan umum.
"Halo semua!"
Suara nyaring memecah keheningan dengan atmosfer tegang yang terasa kuat. Semua menoleh, termasuk Rahmat dan Siti. Keduanya terbelalak tak percaya.
"Nayna? Ngapain ke sini?"
Gadis itu tersenyum, berjalan mendekat, lalu menggandeng tangan orang tuanya. Tatapan tajam tak lepas dia lemparkan pada orang-orang yang telah ikut andil menghina 'rumah' tempat dia pulang.
Nayna berdehem pelan, lalu menatap mata Fitri dengan sorot tajam, seakan tersembunyi amarah yang berkobar di sana.
"Hai Tante, hai Om. Eh ada Tante Ratna sama ... ini siapa, Tant? Suami baru lagi? Ya Allah, orang kok kerjaannya nikah-cerai mulu. Ini yang ke berapa, Tant? Terakhir yang aku tahu, Tante udah nikah tiga kali lho, buset! Dapet rekor tuh."
Nayna tertawa di tengah suasana yang menyesakkan dada. Namun, demi ayah dan ibunya, dia datang dan bersiap mengungkap rahasia yang sudah lama dia simpan sendiri.
Fitri mendorong bahu Nayna dengan kasar, membuat gadis itu sedikit mundur beberapa langkah. Rahmat dan Siti dengan sigap menahan tubuh anaknya agar tak terjatuh.
"Santai aja, Tante. Malu tuh sama tamu-tamu yang 'berkelas', beda sama Ayah dan Ibu yang katanya mirip gembel. Ih, lucu ya. Gembel teriak gembel ... oh ya, maaf aku dateng ke sini, Tant. Tapi aku nggak makan atau minum kok, aku tahu diri, bukan tamu undangan kalian. Aku ke sini, karena tahu, pasti kalian akan bikin masalah, ternyata bener kan? Ckck, malu tuh sama Pak Bram. Eh, beliau juga menikmati pertunjukan ini ya, bagus, bagus. Orang kaya mah bebas!"
Rahmat menarik lengan putrinya, namun Nayna melepasnya lembut. Sementara Siti tersenyum menatap anak semata wayangnya.
Bramantyo merasa tersinggung, dia menatap Nayna lalu berteriak dengan suaranya yang menggelegar.
"Keluar!"
Nayna tertawa, lalu berjalan mendekat ke arah pria tua dengan tubuh tambun dan rambut yang hampir habis dimakan usia.
"Jangan marah-marah, Pak. Nanti darah tinggi, trus kena stroke lho."
Sebelum pria itu menjawab, Nayna kembali berbisik.
"Pak, coba tanya ke anak sama mantunya, apa bener yang di Amerika itu anak kandung mereka?"
Setelah itu, Nayna pamit dan menggandeng tangan kedua orang tuanya. Mereka pulang, meninggalkan Bramantyo yang kini menatap Sigit dan Fitri dengan sorot tajam.
***