Naomi harus menjalani hari-harinya sebagai sekretaris di perusahaan ternama. Tugasnya tak hanya mengurus jadwal dan keperluan sang CEO yang terkenal dingin dan arogan yang disegani sekaligus ditakuti seantero kantor.
Xander Federick. Nama itu bagai mantra yang menggetarkan Naomi. Ketampanan, tatapan matanya yang tajam, dan aura kekuasaan yang menguar darinya mampu membuat Naomi gugup sekaligus penasaran.
Naomi berusaha keras untuk bersikap profesional, menepis debaran aneh yang selalu muncul setiap kali berinteraksi dengan bosnya itu.
Sementara bagi Xander sendiri, kehadiran Naomi di setiap harinya perlahan menjadi candu yang sulit dihindari.
Akan seperti apa kisah mereka selanjutnya? Mari langsung baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 2 Apa Kamu Masih Per4wan?
“Dari mana saja kamu? Tumben sekali terlambat datang,” ucap James, menatap Xander yang baru saja muncul di ruang kerjanya.
James sudah berdiri di sana, memegang map berisi berkas yang harus Xander tanda tangani. Pria itu selalu tepat waktu, jadi keterlambatan Xander pagi ini cukup membuat James heran.
“Macet!” Dengan langkah santai yang penuh aura dominan, Xander melepas jaket, topi, dan maskernya satu per satu. Dia hanya menyisakan kemeja putih yang sedikit longgar, lalu dengan santai pula, Xander melepaskan kancing kemejanya.
Wajah tampan Xander langsung terlihat jelas, menampilkan rahang tegas dan mata tajam yang menjadi ciri khasnya. Rambut hitam legamnya sedikit berantakan, menambah kesan maskulin. Jangan lupakan delapan kotak sawah yang terlihat sempurna di perutnya, membuat siapapun yang melihatnya akan menelan ludah.
“Macet? Apa aku tidak salah dengar barusan?” ujarnya. “Seorang Xander Macet-macetan di jalan? Kamu biasanya naik helikopter kalau sudah mepet waktu!” James mengangkat alisnya, tidak yakin dengan jawaban Xander. Dia mengenal Xander luar dalam, dan Xander bukan tipe orang yang mau terjebak macet.
Xander membuka laptopnya tanpa menoleh, jari-jarinya mulai menari di atas keyboard dengan kecepatan luar biasa. “Aku naik bus.”
“What?!” pekik James nyaris menjatuhkan map yang ada di tangannya. Matanya membelalak tak percaya, rahangnya sedikit terbuka.
“Kamu naik bus?! Astaga, kamu itu CEO! Bos besar. Koleksi mobilmu ada banyak, bahkan helikopter milik pribadi. Kalau Nicholas tahu, dia pasti menertawakan kamu sampai guling-guling di tanah!” lanjut James menggelengkan kepala, membayangkan reaksi saudara Xander yang paling suka menggodanya.
“Berhenti bicara dan jangan berisik!” Xander mengangkat tangan, menyuruh James diam.
Nada suaranya terdengar tegas dan tidak ingin diganggu gugat. Xander tidak ingin mendengar omelan atau ledekan lebih lanjut.
“Dunia pasti kiamat hari ini,” gumam James, masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia kemudian meletakkan map di atas meja kerja Xander, lalu bersedekap, menatap sahabatnya dengan senyum geli bercampur iba.
“By the way, ini dia. Kandidat terakhir untuk posisi sekretaris. Dan setelah ini, aku menyerah. Sungguh, Der, aku menyerah!” James mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah.
Xander melirik map itu dengan malas, tanpa minat sedikitpun. “Kenapa seperti menyerah perang saja nada bicaramu? Memang sesulit itu mencari sekretaris?”
“Ini karena ulah kamu sendiri! Sudah berapa sekretaris yang kamu pecat, hah? Semua dengan alasan yang tidak masuk akal!” James mulai menghitung dengan jari-jarinya. “Sudah lebih dari sepuluh orang dalam dua bulan ini! Itu rekor, Der!”
“Alasanku sangat masuk akal. Mereka menatapku terlalu lama. Itu sangat mengganggu.” Xander mengatakan hal itu dengan nada datar, seolah itu adalah alasan paling logis di dunia.
“Oh my God! Jadi menurutmu, seseorang yang menatap matamu itu layak dipecat?!” seru James, tangannya terangkat ke udara.
“Kalau begitu semua orang di kantor, mulai hari ini harus pakai kacamata hitam! Bahkan aku pun harus pakai biar tidak dipecat olehmu!” James merasa frustasi dengan standar aneh dan keegoisan Xander.
“Aku tidak butuh penggoda. Aku butuhkan mereka yang mau bekerja. Yang fokus pada tugasnya, bukan pada wajahku.” Xander berdiri seraya menatap James tajam.
“Kamu bukan pangeran Hollywood, dimana semua orang akan langsung jatuh cinta hanya karena senyumanmu itu. Tolonglah, sadar diri sedikit!” sindir James, meski memang sebenarnya ya, Xander memang sangat tampan, dengan daya tarik yang sulit diabaikan.
James tahu betul bagaimana para wanita di kantor akan bertingkah jika Xander tersenyum sedikit saja.
Xander mengabaikan ucapan James dan duduk kembali di kursinya. Tangannya mengetuk meja, menunjukkan bahwa dia ingin segera cepat menyelesaikan masalah ini. Dia sudah lelah mencari sekretaris baru.
“Kalau begitu, bawa dia kemari, sekarang!” perintah Xander, tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi.
“Baiklah. Tapi jangan salahkan aku kalau dia pun nanti kabur karena kamu terlalu menyebalkan!” James mengangkat tangan, menyerah, dia sudah tak sanggup lagi berdebat dengan Xander.
Tanpa menunggu jawaban, James keluar dari ruangan, meninggalkan Xander sendirian.
—
Xander bersandar di kursi sambil memijat pelipisnya. Pikirannya masih berkelana pada kejadian pagi tadi, tentang gadis cerewet di bus yang membuatnya harus merogoh uang dari orang asing.
Dia masih bisa merasakan sisa kekesalan, namun entah kenapa, ada senyum kecil yang muncul di wajah Xander saat mengingatnya.
Gadis itu menyebalkan, kasar, dan tidak tahu sopan santun. Tapi, dia nampak berbeda. Ada sesuatu yang aneh tentangnya, yang entah kenapa, membuat Xander merasa... terhibur.
“Gadis berisik,” gumamnya pelan, mengulang julukan yang ia berikan.
Pintu diketuk dua kali.
James muncul kembali, kali ini bersama seorang gadis di belakangnya. Xander melirik sekilas, bersiap untuk sesi wawancara yang pasti akan membosankan lagi.
“Xander, kenalkan, ini sekretaris barumu. Namanya Naomi.”
Xander pun menoleh dan langsung membeku di tempat. Matanya membelalak kaget. Begitu pula Naomi. Wajahnya langsung pucat pasi, seperti melihat hantu di siang bolong.
“Kamu?!” Mereka berseru bersamaan, suara mereka saling menindih.
James mengerutkan kening, bingung dengan reaksi mereka berdua.
“Apa kalian sudah saling kenal?”
“Tidak. Saya tidak mengenalnya,” Naomi cepat-cepat memutar tubuhnya, ingin kabur, melarikan diri dari situasi canggung dan mengerikan ini.
Rasanya Naomi ingin menghilang ditelan bumi.
Namun, Xander sudah lebih dulu menghentikannya.
“Selangkah saja kamu keluar, aku akan mematahkan kakimu!” ucap Xander dengan suara rendah dan mengancam.
“Saya tidak mau bekerja dengan pria menyebalkan macam anda! Anda itu kan pengemis yang pura-pura kaya!” ucap Naomi tak gentar sama sekali seraya menunjuk Xander.
“Dan aku tidak mau sekretaris yang cerewet dan terlalu banyak bicara!” balas Xander, dengan suara meninggi, tak mau kalah.
“Tuhan, tolong selamatkan kantor ini,” James menatap mereka berdua bergantian, merasa seperti di tengah-tengah perang dingin yang tiba-tiba pecah. Ia hanya bisa menggelengkan kepala.
“Naomi, kamu sedang butuh biaya berobat ibu panti, kan? Apa kamu yakin ingin pergi begitu saja?” tanya James mencoba menyadarkan Naomi akan kenyataan pahit hidupnya.
Ucapan itu seperti sebuah tamparan bagi Naomi. Dia menggigit bibir bawahnya, matanya terus menatap lantai. James memang benar. Saat ini, hanya perusahaan besar seperti inilah yang mampu memberikan gaji layak dan tunjangan yang cukup untuk biaya berobat ibu pantinya.
Naomi tidak punya pilihan lain.
“Pikirkan baik-baik,” kata James, sebelum keluar, meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan yang kini dipenuhi aura tegang.
Ruangan menjadi sunyi seketika, hanya suara napas berat Naomi yang terdengar. Ia berusaha menenangkan diri.
Naomi menegakkan tubuhnya meskipun dalam hati ia gemetar, berusaha terlihat tegar di hadapan pria yang paling menyebalkan yang pernah ia temui.
Xander kini berdiri tepat di hadapannya, hanya berjarak beberapa jengkal. Matanya menatap tajam gadis itu, seperti berusaha menembus lapisan pikiran Naomi, mencari tahu apa yang ada di baliknya.
“Berapa usiamu?” tanyanya tiba-tiba, memecah keheningan yang mencekam.
“Dua puluh tahun,” jawab Naomi dengan suara sedikit bergetar.
Xander mengangguk kecil. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun. Namun, pertanyaan berikutnya membuat Naomi shock dan wajahnya langsung memerah padam.
“Apakah kamu masih per4wan?”
“Hah?” Naomi membelalak sekaligus merasa terhina dengan pertanyaan yang tidak pantas dan sangat pribadi itu.