Kania, gadis yang hidupnya berubah seketika di hari pernikahannya.
Ayah dan ibu tirinya secara tiba-tiba membatalkan pernikahan yang telah lama direncanakan, menggantikan posisi Kania dengan adik tiri yang licik. Namun, penderitaan belum berhenti di situ. Herman, ayah kandungnya, terhasut oleh Leni—adik Elizabet, ibu tirinya—dan dengan tega mengusir Kania dari rumah.
Terlunta di jalanan, dihujani cobaan yang tak berkesudahan, Kania bertemu dengan seorang pria tua kaya raya yang dingin dan penuh luka karena pengkhianatan wanita di masa lalu.
Meski disakiti dan diperlakukan kejam, Kania tak menyerah. Dengan segala upaya, ia berjuang untuk mendapatkan hati pria itu—meski harus menanggung luka dan sakit hati berkali-kali.
Akankah Kania berhasil menembus dinding hati pria dingin itu? Atau akankah penderitaannya bertambah dalam?
Ikuti kisah penuh emosi, duka, dan romansa yang menguras air mata—hanya di Novel Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28. APA TUAN BISA MEMBUNUH PERASAANKU?
Tuan Bram keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kaos dan celana pendek yang sebelumnya sudah disiapkan oleh Kania.
Kania menarik kursi dan mempersilahkan tuan Bram duduk. Pria itu sempat heran melihat suasana meja makan yang berbeda dari biasanya. Beberapa lilin sengaja dinyalakan di tengah meja, menciptakan suasana hangat sekaligus sedikit intim.
“Siapa yang baru mati?” tanyanya ketus, namun tetap saja ia duduk di kursi yang sudah dipersiapkan Kania.
Kania menarik napas dalam. Ia tak ingin berdebat, apalagi mencari masalah dengan pria dingin itu. Dengan tenang, ia mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan lauk yang tersaji di atas meja, lalu ikut duduk di samping Tuan Bram.
“Buka mulut,” ucap Kania sambil menyodorkan sendok ke mulut tuan Bram.
Namun pria itu menepis kasar dan berkata, ia bukan anak kecil yang harus disuapi, apalagi oleh anak kecil juga.
Kania kembali menarik napas panjang. Segala upaya sudah ia lakukan untuk menarik simpati pria itu, namun sifat keras dan ego tuan Bram tetap dingin terhadapnya.
Kania mengumpulkan semua ke keberanian mengulang untuk kedua kalinya menyodorkan sendok ke mulut tuan Bram.
"Aku bilang tidak mau, ya tidak mau! Kamu sudah bosan hidup, hah?" Suara Tuan Bram meledak, tangannya mencengkeram keras lengan kecil Kania. Seketika sendok terlepas dari genggamannya, membuat nasi dan lauk berhamburan ke lantai.
Mencoba tegar walau hati dan perasaannya seolah tercabik, entah kapan dan bagaimana semua itu bisa berlalu.
"Tuan, silakan menyiksaku, bahkan kalau perlu membunuhku sekalian... tapi apa tuan sanggup membunuh perasaanku? Perasaan seorang istri mencintai suaminya"
Suara Kania bergetar. Air matanya tak terbendung lagi, jatuh membasahi pipi, lalu menetes satu per satu ke lantai, pecah menjadi bulir-bulir kecil yang menyakitkan hati.
"Hah........."
Teriakan Tuan Bram menggema memenuhi ruangan, diiringi hempasan keras pada lengan kecil Kania. Guratan bekas kuku pria itu tampak jelas membekas di kulit putih Kania, meninggalkan rasa perih yang tak hanya di tubuh, tapi juga di hatinya.
Kania bangkit dan melangkah pergi, meninggalkan pria egois dan kasar itu. Mungkin hanya dengan cara ini, ia bisa melepaskan diri dari rasa sakit dan penyiksaan yang selama ini menjeratnya.
Kania melangkah menuju pembaringan, merebahkan tubuh mungilnya, lalu menutup diri dengan selimut. Tangisnya tertahan, hanya gerakan kecil selimut yang menunjukkan bahwa ia tengah menangis dalam diam.
Suasana terasa hening, seakan ikut mengejek Kania yang larut dalam kesedihan. Penderitaan itu seperti tidak pernah mau pergi dari hidupnya, selalu datang dan meninggalkan luka baru.
Suara langkah kaki perlahan mendekat, berhenti tepat di sisi tempat Kania berbaring.
“Bangunlah… lakukan apa yang kamu inginkan,” suara itu, lembut namun tetap terdengar tegas.
Dunia serasa berhenti seketika mendengar setiap kata yang keluar dari mulut tuan Bram. Ia terdiam, sulit mempercayai bahwa suara lembut itu benar-benar berasal dari pria sedingin es kutub utara. Karena itulah, kania tetap bertahan di balik selimut, ragu untuk bangun.
“Aku beri kau pilihan terakhir, bangun sendiri, atau ku buat kau bangun dengan caraku.”
Kania tidak salah dengar itu memang suara tuan Bram. Dengan ragu ia membuka selimutnya sedikit demi sedikit, hingga pandangannya menangkap sosok pria itu berdiri angkuh di hadapannya.
“Cepat lakukan keinginan gila mu itu, jangan buang percuma waktuku.” gertak tuan Bram yang masih terdiam di tempat.
Kania mengangguk patuh. Perlahan ia beranjak kembali ke meja makan, tangannya meraih sendok baru dengan gerakan hati-hati, seolah sedang menyiapkan diri untuk sesuatu yang sangat berat.
Tuan Bram kembali duduk, sikapnya tenang namun berwibawa. Dengan mata yang masih basah, Kania menyuapi pria itu layaknya seorang ibu yang menyuapi anaknya. Sesekali tatapan mereka beradu, membuat dada Kania berdegup kencang. Terlihat ia berulang kali mengalihkan pandangan, berusaha melawan gejolak hatinya yang terus berkecamuk.
“Buka mulutnya, sayang.”
Kalimat itu lolos begitu saja dari bibir Kania, tanpa sempat ia kendalikan, lahir dari kekagumannya pada pria yang kini tengah mengoyak habis perasaannya.
Nasi yang baru saja masuk ke mulut tuan Bram malah terhambur keluar, menyemprot tepat ke wajah Kania. Suasana pun berubah mendadak, meninggalkan keheningan yang janggal di antara mereka.
Kania meraih selembar tisu, perlahan mengusap wajahnya sendiri. Dengan hati-hati ia mengambil tisu baru dan mengusap lembut mulut tuan Bram. Menghilangkan sisa makanan yang menempel disana.
Gerakannya penuh kehati-hatian, seolah sedang merawat kulit Bayi. Sesekali, kumis tipis nan kasar milik Tuan Bram menyentuh kulitnya, membuat Kania merasakan getaran halus yang tak mampu ia abaikan.
"Kamu sungguh tampan suamiku," Kania dalam hati mengagumi pria yang ada di depannya.
Begitu besarlah rasa cinta Kania pada pria itu, pria yang bahkan tak sedikit pun menganggapnya ada.
Tuan Bram yang merasa canggung dengan perhatian berlebihan, pura-pura berdehem lalu meminta air. Tanpa ragu, Kania segera menuangkan air ke dalam gelasnya dan menyerahkan pada tuan Bram.
“Sekali lagi,” ucap Kania lirih sambil menyodorkan sendok terakhir.
“Aku sudah kenyang,” jawab tuan Bram singkat, memalingkan wajah tanpa menatapnya.
Kania terdiam, menghembuskan napas panjang. Raut kecewa jelas tergambar di wajahnya.
“Kenapa malam ini kamu begitu aneh, suka sekali memaksakan kehendak mu padaku,” omel tuan Bram, meski akhirnya tetap membuka mulut.
Kania tersenyum manis, senyum yang tulus bercampur rasa lega. Dengan penuh kelembutan, ia menyodorkan suapan terakhir itu ke mulut tuan Bram, seakan suapan kecil itu memiliki arti besar baginya.
“Habis sudah, Tuan boleh beristirahat,” ucap Kania lembut, membantu tuan Bram berdiri.
“Dasar menyebalkan,” gumam Tuan Bram, namun kakinya tetap melangkah menjauh, meninggalkan Kania menuju meja kerjanya.
Kania mengambil piring dan mulai menyantap hidangan di atas meja. Sejak tadi rasa lapar menderanya, namun ia menahannya demi melayani tuan Bram terlebih dahulu. Pengorbanan itu tidak sia-sia meski banyak drama menyedihkan yang harus ia lalui, tetap saja ada kepuasan tersendiri di hati Kania ketika Tuan Bram menurutinya.
Usai membereskan piring di atas meja, Kania melanjutkan membersihkan lantai dari tragedi kecil yang sebenarnya tak perlu terjadi.
Begitu selesai, ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Namun belum lama ia duduk, pikirannya kembali melayang pada ajang yang akan diadakan MARLIN Grup. Kania menoleh ke arah tuan Bram yang sibuk menatapi layar laptop, dalam hati, Kania yakin pria itu tidak akan mau menyetujui idenya.
Dicoba tidak mengapa, gagal pun akan menjadi pengalaman berharga. Dengan segenap keberanian yang berhasil terkumpul, Kania melangkah perlahan mendekati tuan Bram.
Namun, sebelum ia benar-benar sampai, tatapan tajam bagaikan dua mata pisau sudah lebih dulu menyambutnya seolah hendak menguliti setiap lapis kulit Kania.
apa perlu Kania pergi jauh dulu baru menyadari perasaan nya, kan selalu seperti itu penyesalan selalu datang terlambat aseekk..
tapi aku juga penasaran sama kanaya yng mirip Kania apakah mereka kakak adek?
akhirnya ada second lead aku harap si Bram liat interaksi Dirga sama Kania
jangan sampe nanti Tuan Bram menyesal klo Kania pergi.