Aruna terjebak ONS dengan seorang CEO bernama Julian. mereka tidak saling mengenal, tapi memiliki rasa nyaman yang tidak bisa di jelaskan. setelah lima tahun mereka secara tidak sengaja dipertemukan kembali oleh takdir. ternyata wanita itu sudah memiliki anak. Namun pria itu justru penasaran dan mengira anak tersebut adalah anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fatzra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Raven memegangi kepalanya. Kesakitan, lalu jatuh tidak sadarkan diri. Dengan sigap Julian langsung menggendong anaknya berlari keluar, lalu masuk ke mobil.
Vincent langsung melajukan mobilnya dengan kencang. Kebetulan Hans melihat kejadian itu, ia ikut panik dan segera menyusul mereka ke rumah sakit.
Aruna menangis sepanjang jalan. Sementara Julian terus berusaha menyadarkan Raven. Namun, anak itu tidak bereaksi, membuatnya semakin panik dan cemas.
Setelah sampai di rumah sakit ia segera menggendong Raven masuk ke ruang IGD. dokter memeriksa anak itu di dalam cukup lama. Julian memeluk Aruna, berusaha menenangkannya. Namun, tidak bisa di pungkiri, ia sendiri juga panik.
Dokter keluar dari ruangan itu. Julian langsung menghampirinya. "Bagai mana kondisi anakku, Dok?" tanyanya dengan nada bergetar.
Dokter itu tersenyum. "Tidak perlu khawatir, Tuan. Anak anda baik-baik saja, nyeri di kepalanya karena bekas jahitannya belum kering dan dia sudah banyak gerak. Sebaiknya aktivitasnya di batasi dulu, ya. Jangan terlalu lelah," jelasnya, lalu kembali ke ruang IGD.
Julian memeluk Aruna sangat erat. Ia tidak tega melihat wanita itu sangat mencemaskan anaknya. Pria itu mengatur nafasnya, merasa lega karena tidak ada yang membahayakan. Namun, bagai mana, pun ia harus tetap waspada mengawasi anak itu.
Dokter kembali menemui Aruna dan Julian. "Tuan, Nyonya, anak kalian sudah saya berikan obat anti nyeri, saya juga sudah mengganti perbannya. Kalau bisa setiap hari di ganti, ya. Untuk menghindari infeksi. Sekarang pasien sudah sadar di dalam. Setelah ini boleh langsung pulang." jelasnya dengan ramah.
"Baik, dok. Terima kasih." Julian dan Aruna masuk ke ruang IGD.
Mereka melihat Raven sedang duduk, menyambut mereka dengan senyuman tipis. "Maaf, ya Ma, Ayah. Aku sudah membuat kalian khawatir," ucapnya.
Aruna dan Julian memeluk Raven secara bersamaan.
Di luar ruangan Hans mengintip dari balik kaca. "Itu cucuku," matanya berkaca-kaca, baru pertama kali melihat cucu yang selama ini di dambakan.
Tanpa sadar air matanya Hans jatuh. "Maafkan Opa, sayang. Kau harus hidup menderita seperti ini, sementara aku—" ia tidak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya. Ia segera mengusap buliran air matanya, lalu kembali ke mobilnya.
Anak laki-laki dari Julian akan menjadi pewaris keluarga Maverick. Namun, setelah Hans melihat anak itu, rasa sayangnya timbul begitu saja. Pria paruh baya itu sudah tidak perduli lagi dengan warisan itu. Lagi pula kekayaannya sudah banyak. Cukup untuk 7 turunan.
Julian dan Aruna membawa Raven pulang. Dan membiarkan anak itu istirahat di kamarnya. Namun, anak itu terus merengek ingin bermain. Pria itu berinisiatif, untuk membelikannya mobil-mobilan yang bisa di kendalikan lewat remot. Ia menyuruh anak buahnya untuk membelikan di toko mainan terdekat.
Setelah menunggu beberapa saat, Vincent masuk membawa mobil mainan itu. Raven terlihat sangat bahagia. Walaupun rebahan masih bisa bermain. Julian tersenyum melihatnya.
Saat mobil mainannya menabrak sesuatu, Raven langsung memanggil ayahnya untuk membenarkan posisi mainannya itu. Julian merasa seperti seorang ayah seutuhnya yang sigap untuk anaknya.
"Kalian asyik sekali bermain, ingat, ya Raven tidak boleh capek-capek." Aruna memperingatkan.
"Iya, ma. Raven tahu, yasudah sekarang Raven mau istirahat dulu, biar mama tidak marah-marah," ucap anak itu menggoda ibunya.
Aruna tersenyum, lalu mencium pipi putranya itu. "Baiklah, Mama dan Ayah keluar, ya."
Anak itu hanya menganggukkan kepalanya pelan. lalu merebahkan tubuhnya ke kasur. sementara Julian dan Aruna mereka keluar dari kamar Raven menuju ke ruang tamu.
Pria itu menatap tajam ke arah Aruna. "kenapa Raven bisa sampai kelelahan?" tanya Julian penasaran apakah wanita itu tidak menjaga anak mereka dengan baik?
Aruna menundukkan kepalanya. "Aku terlalu sibuk mengemas rumah, jadi tidak bisa memantau kegiatan Raven di kamar," jelasnya.
Julian mengembuskan napas panjang. "Kalau begitu biar aku suruh orang untuk membersihkan rumah. Tugasmu hanya menjaga anak kita." Ia meraih tangan Aruna, menatapnya lekat.
"Baiklah," ucapnya, lalu tersenyum tipis.
"Jaga kesehatanmu, juga. Jangan capek-capek," ucap Julian, lalu tersenyum.
Aruna menganggukkan kepalanya. "Ya, terima kasih kau melakukan semua ini untuk Raven,"
"Itu sudah kewajiban ku, jangan berterima kasih." Julian menarik tubuh Aruna sehingga lebih dekat dengannya. Ia mendekap wanita itu ke dalam pelukannya, membuat Aruna canggung.
"Kau bisa melepaskan aku?" tanya Aruna dengan ekspresi wajah datar.
Julian tersenyum. "Melepaskanmu? yang benar saja!" desisnya di akhir kalimat.
Aruna mengerutkan keningnya. Namun, pria itu justru merebahkannya ke sofa, menaikkan dua tangan Aruna ke atas dan di pegang sangat erat.
Dengan sengaja pria itu mendekatkan wajah mereka, lalu mencium belakang telinga Aruna, membuat napasnya memburu. Julian semakin liar mendengar desahan lembut yang keluar dari mulut Aruna.
Semakin lama mereka tidak terkendali. Pria itu meninggalkan beberapa bekas merah di leher Aruna. Suasana semakin memanas, tapi mereka masih bisa mengontrol agar tidak melakukannya terlalu jauh. Julian menarik tubuhnya.
Aruna beringsut duduk, mencoba mengontrol napasnya, seraya merapikan pakaiannya. Ia menelan salivanya kasar, merasa semakin canggung. Sementara Julian terus memandanginya dengan senyuman penuh arti.
"Bagai mana kalau kita menikah?" tanya pria itu tiba-tiba.
Aruna menoleh cepat ke arah pria itu. Namun, ia kembali menundukkan kepala, lalu magelang pelan. Entah kenapa rasanya masih belum yakin untuk memulai hubungan yang lebih serius dengan pria itu.
Padahal selama ini julian sudah menunjukkan keseriusan nya dan ketulusan nya untuk membangun hubungan yang lebih dekat dengan arjuna dan juga Raven. Namun, semua itu kembali lagi kepada keputusan Aruna.
Alunan sendiri tidak mengerti kenapa banyak pertimbangan di dalam hatinya seharusnya perjuangan julian selama ini sudah cukup menunjukkan niat serius dengannya.
Julian hanya menganggukkan kepalanya, lalu tersenyum. "Aku akan menunggu sampai kau mau," ia memahami, bagaimana perasaan wanita itu pasti berat menerimanya.
Dengan penolakan halus yang dilakukan Aruna, sepertinya Julian harus berusaha lebih keras lagi untuk membuktikan kesungguhannya, agar bisa menjadi Ayah Raven seutuhnya. Tidak peduli bagaimanapun caranya ia akan lakukan.
suasana canggung di antara mereka menciptakan keheningan di hari yang semakin larut. sepertinya malam ini, Julian akan menginap di rumah Aruna. Ia mencemaskan Raven.
"Kau mau menu makan malam apa? " tanya Aruna, memecah keheningan malam itu.
Julian mengernyitkan keningnya berpikir sejenak, "Terserah kau saja, yang penting itu hasil masakanmu,"
Aruna memutar bola matanya malas. "Kau suka spaghetti?"
Julian menganggukkan kepalanya. "Lumayan suka, aku harap kamu membuatnya dengan rasa yang paling lezat."
Aruna berdiri, lalu mengangkat satu alisnya. "Kau meremehkanku?"
"Tidak, ayo aku temani di dapur." Julian menggendong Aruna sampai ke dapur.
Apakah itu salah satu usaha Julian meyakinkan wanita itu? Terkadang pria itu bertindak seenaknya sendiri. Namun, itu bentuk perhatiannya kepada Aruna.
Sayang sekali wanita itu masih meragukannya, mungkin masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, yang tidak bisa ia utarakan. Bagai mana pun, ia terlihat menyimpan perasaan dengan pria itu.
Saat sedang memasak Julian terus menggoda Aruna, membuatnya kesal. Mereka bagaikan kucing dengan tikus, yang tidak pernah akur. Salah satu tukang jahil, dan yang satunya lagi tukang marah. Ya, begitulah, mereka saat ini.
Setelah melewati gangguan yang tidak dapat di hindari, Aruna berhasil menyelesaikan masakannya. Tenaganya serasa terkuras habis karena ulah Julia yang terus menerus menggodanya.
"Cepat makan!" Aruna menyodorkan sepiring spaghetti ke arah Julian, dengan ekspresi wajah kesal.
"Kelihatannya enak. Tapi, lebih enak kalau makannya di suapi," Julian tersenyum miring, lalu menyodorkan kembali piringnya ke arah Aruna.
Kesabaran wanita itu benar-benar di uji San sekarang sudah berada di ubun-ubun. "Buka mulutmu," perintahnya dengan wajah datar.
Dengan senang hati Julian membuka mulutnya dengan lebar. Aruna tersenyum sinis, lalu menyuapkan spaghetti dengan satu sendok penuh, membuat mulut pria itu sesak dan sulit mengunyah.
"Bagai mana, enak?" tanya Aruna, lalu tersenyum sinis. Ia menyiapkan makanan itu ke mulutnya.
"Ayah, tolong,"
Terima kasih.