Seorang pria bernama Lorenzo Irsyadul, umur 25 tahun hidup seorang diri setelah ibunya hilang tanpa jejak dan dianggap tiada. Tak mempunyai ayah, tak mempunyai adik laki-laki, tak mempunyai adik perempuan, tak mempunyai kakak perempuan, tak mempunyai kakak laki-laki, tak mempunyai kerabat, dan hanya mempunyai sosok ibu pekerja keras yang melupakan segalanya dan hanya fokus merawat dirinya saja.
Apa yang terjadi kepadanya setelah ibunya hilang dan dianggap tiada?
Apa yang terjadi kepada kehidupannya yang sendiri tanpa sosok ibu yang selalu bersamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon A Giraldin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2: Hospital
Selimut putih yang menutupi tubuhnya ia singkap perlahan. Tampak jelas kini ia mengenakan baju biru khas pasien rumah sakit. “Baju ini...” gumamnya, tatapannya segera menyapu sekeliling ruangan.
“Rumah sakit,” bisiknya, seolah baru menyadari di mana ia berada. Matanya kembali menatap bajunya, lalu tanpa ragu ia membuka kancingnya. “Perban?” ujarnya pelan, melihat balutan putih yang melilit tubuhnya.
Bagian perut, pusar, dan dadanya terbalut perban putih. “A-apa yang terjadi...?” gumamnya dengan suara gemetar. Tatapannya beralih ke sisi kanan dan tanpa berpikir panjang, ia mencabut infus yang tertanam di tangan kanannya, juga selang oksigen yang menempel di hidungnya.
Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan pelan menuju pintu keluar yang tertutup rapat. Di dekatnya, tergantung sebuah cermin besar. Saat ia berdiri di hadapannya, matanya terpaku pada bayangan dirinya sendiri.
“W-wajahku...?!”
Rambutnya kini hitam legam dengan gaya spiky yang acak-acakan, sementara bola matanya berwarna merah menyala begitu mencolok, begitu asing. “Mata, rambut... tinggi badanku juga... bahkan wajahku...” Ia menatap lekat bayangan dirinya. “Semuanya berubah.”
Pandangannya menyapu sekeliling ruangan hingga tertuju pada sisi kiri, di ujung dekat pintu keluar, sebuah dinding putih dengan kaca tebal membentang di depannya. Ia segera berjalan cepat ke sana. Kaca yang tertutup itu ia geser ke kiri, dan pemandangan di baliknya langsung menyambutnya. Lingkungan yang asing, jauh berbeda dari yang pernah ia kenal.
Gedung-gedung tinggi menjulang, jalanan yang asing, dan arsitektur yang tak dikenalnya, semua terlihat berbeda, seolah bukan lagi negara tempat ia berasal. “Negara ini... Amerika Serikat... lebih tepatnya, Brooklyn, New York,” ucapnya pelan. Ia tahu pasti bahwa itulah kenyataannya.
Tiba-tiba...
Krekkk...
Pintu tiba-tiba terbuka dengan keras, membuatnya refleks membalikkan badan. Seorang wanita berdiri di ambang pintu. Berambut panjang lurus berwarna merah, bermata hitam, dan mengenakan gaun putih one-piece. Tatapannya membelalak kaget.
“AaAA—!” teriaknya panik.
Tanpa pikir panjang, wanita itu langsung menghampirinya dan memeluknya erat. Kepalanya secara tak sengaja bersandar ke dadanya, membuatnya sontak terkejut dan wajahnya memerah hebat.
“Si-siapa kau?!” teriaknya kencang, suaranya menggema hingga memenuhi seluruh ruangan.
Wanita itu langsung menangis keras, air matanya mengalir deras. “Uwa aaahhh... Widlie jahat!!” isaknya sambil berdiri tegak dengan emosi.
“Widlie... Jadi, itu nama pria ini?” pikirnya, tatapannya masih tertuju pada wanita yang menangis di depannya. “Lalu... siapa sebenarnya wanita ini baginya?” Ia menarik napas pelan. “Yang jelas, aku harus menenangkannya dulu.”
Tanpa berpikir panjang, ia memeluk wanita itu kembali, mencoba menenangkannya. Tangisnya perlahan mereda, lalu wanita itu justru memeluknya lebih erat.
“A-apa aku... melakukannya dengan benar?” pikirnya gugup, wajahnya memerah. “Se-sepertinya, iya. S-sekarang... a-apa yang harus ku-katakan?”
Ia terdiam sejenak, berpikir singkat, lalu membalas dengan senyum kecil. “Si-siapa ya?” ujarnya, mencoba bercanda di tengah kebingungannya.
“Eeehh?” Ia segera menarik tubuhnya sedikit menjauh, lalu menatap wajah pria itu dengan kaget. “Widlie, kamu lupa aku?! Ini aku, Scarlett—istrimu! Kamu benar-benar lupa?!”
Melihat Scarlett hampir menangis lagi, Widlie refleks memeluknya lebih erat, mencoba menenangkannya. Ia tersenyum lebar, meski wajahnya tampak gugup.
“T-tentu saja tidak...” gumamnya pelan. Lalu, dengan wajah memerah, ia memberanikan diri mengucapkan kata yang terasa asing tapi familiar di lidahnya.
“Ho-ho-honey...”
Apa yang dikatakannya membuat Scarlett langsung mundur beberapa langkah. Wajahnya memerah terang, nyaris seperti tomat, dan seolah-olah asap mengepul dari kepalanya. Tubuhnya mulai goyah, kehilangan keseimbangan... lalu jatuh pingsan.
“Ehehehe...” Senyum kecil masih tergurat di wajahnya saat ia ambruk, bahkan... sempat mimisan saking malunya.
Tanpa pikir panjang, Widlie segera melangkah mendekatinya. Ia berjongkok di samping tubuh Scarlett yang pingsan, lalu mulai mencari-cari di mana ponsel milik wanita itu disembunyikan.
Srek, srek, srek...
Ponselnya ternyata berada di saku kanan celana hitam yang dikenakan di balik gaun putih one-piece itu. Setelah menemukannya, Widlie segera mengambilnya, lalu berdiri dan menghadap ke depan. Tanpa membuang waktu, ia menekan tombol daya untuk menyalakannya.
“Password!” gumamnya kaget, melihat enam digit yang harus diisi.
“Jangan-jangan...” Ia langsung mencoba menuliskan sesuatu yang terlintas di pikirannya.
“Ternyata benar,” bisiknya pelan. “Sepertinya... wanita ini memang benar-benar istrinya.” Begitu ponsel terbuka, ia segera mencari aplikasi catatan. Setelah menemukannya, ia langsung menekannya tanpa ragu.
Salah satu judul catatan menarik perhatiannya: “Catatan Keluarga.” Tanpa ragu, ia membukanya, berharap bisa mendapatkan petunjuk lebih.
Tertulis di dalamnya:
Widlie Martin — pria, 25 tahun
Scarlett Victoria — wanita, 26 tahun
Carina Johanson — ibu Widlie, 50 tahun
Ia membaca dengan seksama, mencoba mencerna hubungan mereka satu per satu.
Tak ada lagi informasi penting yang bisa dibaca dari catatan itu. Ia menutupnya dan segera menelusuri daftar catatan lainnya, berharap menemukan sesuatu yang lebih berguna.
Sebuah judul menarik perhatiannya: “Catatan Keluarga #2.”
Ia menekannya dan mulai membaca:
“Aku adalah istri dari Widlie, dan anak angkat dari ibu Widlie, Carina Johanson. Nyonya Carina sangat cantik, dan aku sangat menghormatinya.”
Ia melanjutkan pencariannya, hingga menemukan satu lagi catatan dengan judul mencolok: “Ayah Fucking Shit.”
Meskipun terdengar kasar, Widlie tetap menekannya tanpa ragu. Ia ingin tahu lebih banyak, judul tak akan menghentikannya.
Isi catatan itu terbuka:
“Aku dan Widlie tidak memiliki sosok ayah. Nyonya Carina memilih untuk tidak menikah lagi setelah suaminya, Chorus Cleftrik, meninggalkannya tak lama setelah melahirkan Widlie. Sejak saat itu, aku selalu menganggap sosok ‘ayah’ sebagai sesuatu yang menjijikkan.”
Ia terus menelusuri catatan demi catatan, hingga matanya tertumbuk pada satu entri baru: “Hari ini, 16 Mei 2003.”
Ia membacanya perlahan.
“Ini... kemarin,” gumamnya, mata membelalak.
“Berarti... Widlie tak sadarkan diri selama satu hari penuh... dan aku...”
Ia terdiam sejenak, napasnya tertahan. “...aku mati kemarin.”
Rasa penasarannya memuncak. Tanpa menunda lagi, ia menekan catatan itu dan mulai membacanya.
“Hari ini adalah hari pertama kami menikah... dan aku berniat menjebaknya. Aku berhasil—Widlie sudah mati! Ahahaha!”
Ia menelan ludah saat membaca baris berikutnya:
“Kalau dia hidup lagi, bagaimana, ya? Hmm... gampang. Akan ku tipu lagi.”
Widlie terdiam, matanya terpaku pada layar. Kata-kata itu menghujam keras, antara kenyataan dan pengkhianatan yang tak bisa ia pahami sepenuhnya.
Begitu selesai membaca catatan itu, wajahnya seketika pucat. Rasa takut menyergap, membuatnya buru-buru mengembalikan ponsel itu ke tempat semula, seolah tak ingin ketahuan pernah membukanya.
Tak lama kemudian, Scarlett mulai membuka matanya perlahan. Ia bangkit dalam posisi duduk, lalu berdiri tegak dengan ekspresi canggung.
“Aaaa... Widlie, maaf,” ucapnya lirih sambil menundukkan kepala, tak berani menatap wajah suaminya.
Rasa bersalah yang terlihat jelas dari wajahnya membuatnya bahagia. “Tidak apa-apa kok, Scarlett.”
Tanpa berkata apa-apa, Scarlett melangkah cepat ke arahnya. Tiba-tiba, ia menariknya dalam pelukan dan menciumnya dalam, penuh gairah, seolah semua emosi meledak dalam satu momen. Widlie membalas ciuman itu dengan sama brutalnya.
Begitu keduanya melepaskan diri, napas mereka memburu... dan wajah mereka memerah hebat.
Setelah menyelesaikan semua urusan biaya di Billing Office, Widlie langsung melangkah keluar menuju mobil milik mereka berdua.
“Widlie, ayo masuk!” seru Scarlett dari kursi pengemudi sambil tersenyum cerah. “Aku yang nyetir kali ini!”
Widlie segera menolak tawarannya. “B-biar aku saja yang nyetir!” ujarnya cepat, nada suaranya terdengar gugup tapi bersikeras.
“Eehh... o-oke,” jawab Scarlett sedikit bingung, namun menuruti permintaannya.
Mereka berdua kini sudah berada di depan sebuah SUV Ford Explorer berwarna hitam. Widlie segera masuk ke kursi pengemudi dan mulai menjalankan mobil.
“Aku... tak bisa menyetir mobil,” gumamnya dalam hati, menyadari sesuatu. “Berarti... hanya jiwaku saja yang berubah. Tubuh ini benar-benar milik pria bernama Widlie.”
Ia melirik sekilas ke arah Scarlett yang duduk di sebelahnya.
“Sekarang... apa yang akan dilakukan wanita ini padaku? Kalau tadi aku saja sudah panik waktu dicium... jangan-jangan, kalau aku terlihat takut lagi... nyawaku yang dalam bahaya.”
“Yah... nggak usah dipikirkan lagi,” gumamnya. “Sekarang waktunya fokus nyetir, ikuti saja arahan yang muncul di kepala ini.”
Ia keluar dari gerbang Rumah Sakit Incheon, membelok ke kanan, lalu melaju lurus melewati deretan bangunan, kendaraan lalu lalang, dan pejalan kaki yang sibuk dengan aktivitas mereka. Setelah menempuh jarak sekitar lima kilometer, akhirnya Widlie dan Scarlett tiba di rumah.
Sebuah rumah bergaya Fachwerk berdiri anggun di hadapan mereka, lengkap dengan taman kecil yang asri dan area parkir pribadi—tempat tinggal keluarga ini.
“Ayo masuk ke dalam!” ajaknya sambil menggenggam tangan kanan Widlie dengan lembut.
Widlie hanya tersenyum kecil. “Ayo,” jawabnya singkat, membalas ajakannya tanpa ragu.
Scarlett membuka pintu, dan... pemandangan mengerikan langsung menyambut mereka.
Seorang wanita terbaring dengan tubuh menganga. Organ-organ dalamnya menjulur keluar dari perut yang terbuka lebar. Ginjalnya tinggal satu, paru-parunya masih utuh namun penuh noda darah, usus berserakan tak beraturan. Tatapan matanya membeku dalam ketakutan, sementara jantungnya... lenyap. Seluruh tubuhnya dilumuri darah yang telah mengering sepenuhnya.
Scarlett dan Widlie, masih dengan senyum kecil di wajah mereka, perlahan menatap sosok wanita itu. Namun senyuman mereka berubah. Mata mereka kini menatap dengan tatapan mengerikan, dingin, dan penuh sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
“IBUUU!!!” teriaknya kencang, berlari ke arah tubuh itu. Ia langsung meraih kepala sang wanita dan meletakkannya di atas pahanya, gemetar.
“AAA—!”
Tiba-tiba, dari mulut Scarlett menyembur darah dalam jumlah banyak. Wajahnya berubah drastis. Mengerikan, matanya melotot penuh kemarahan.
“WIDLIEEEE... HARUSNYA KAU MATI SAJ—”
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, tubuhnya mendadak lemas dan terjatuh terlentang di lantai.
Di belakangnya terbaring ibu kandungnya tak bergerak, sunyi. Sementara di depannya... Istrinya. Sosok Scarlett tampak mengerikan, dengan darah mengalir dari setiap inci tubuhnya, seolah keluar dari pori-pori tanpa henti. Pemandangan itu begitu nyata... dan begitu mengganggu.
Widlie gemetar ketakutan, matanya masih terpaku dengan tatapan yang sama—tak percaya, campur panik.
“Ibuku dan... Scarlett?” bisiknya pelan. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini?”
Kepalanya terasa penuh. “Sekarang... aku harus sedih? Atau justru... bahagia?”
“Saat ini... di ruang tamu ini... aku adalah tersangka,” gumamnya, suara lirih penuh tekanan.
Tubuhnya bergetar, ketakutan merambat cepat ke seluruh tubuhnya. Ia perlahan membalikkan badan, napasnya memburu. “A-aku harus pergi dari sin__i,” bisiknya, nyaris tak terdengar, sebelum kakinya mulai melangkah mundur dengan gemetar...
Seorang wanita muncul di hadapannya. Berambut pirang bergelombang panjang, berkulit putih bersih, dan bermata biru tajam. Ia mengenakan blouse sederhana dan celana jeans, berdiri dengan tenang namun penuh tanda tanya.
Dengan ekspresi datar, ia menatap Widlie dan bertanya pelan, “Kenapa kau terlihat ketakutan?”
"Si-siapa...?” tanyanya dalam hati, masih dalam kondisi yang sama—gemetar, diliputi ketakutan dan kebingungan.
Pertemuan yang seharusnya tak pernah terjadi... justru terjadi. Entah hasilnya baik atau buruk, semuanya tetap harus ditanggung. Itulah konsekuensinya.
Bersambung...
Tulisanmu bagus, Loh... semoga sukses ya...
ayo, Beb @Vebi Gusriyeni @Latifa Andriani